Selaras 3

21 4 0
                                    

Bulir-bulir ingatan itu hadir seperti hujaman air terjun, mencocok pori-pori kulit yang bebas tanpa perlindungan. Sabetan sebilah pedang tidak membuat sosok lelaki berambut cokelat terang itu gentar. Ia tetap berdiri, bersiap dengan kuda-kuda untuk siap berlari. Namun, ketika ia masih menggaungkan nama Sang Agung dalam doanya, sebuah anak panah memelesat dan menghujam tepat di jantungnya. Sekali lagi … jiwa terpilih dalam takdir seorang Grenda Argavel harus berpulang.

Rest In Peace, Axel Granger.

🌺🌺🌺

Debaran jantung yang nemacu, membuat kesadaranku seolah-olah ditarik untuk keluar, melihat betapa senja memekik dari ufuk di ujung cakrawala.

Perlahan aku mengerjap, berusaha menarik napas dalam demi mengisi paru-paruku yang terasa kosong. Ingatan itu kembali menyeruak dalam sebuah mimpi buruk yang membuatku selalu teringat akan karma yang tercipta akibat kematian ia yang dicintai. Kalau Jarrel bilang, itu adalah pengorbanan dalam kebodohan.

Aku mengedarkan mataku ke seluruh batas pandang ruang dalam putaran mata, hingga menemukan helaian rambut pirang yang sudah lebih pendek dari sebelumnya ada di sebelah kiri tengah pulas memunggungiku. Aku mencoba untuk duduk, menarik tubuhku yang remuk redam perlahan. Kulihat pakaianku yang sudah berganti, lalu beralih pada sinar kemerahan yang menembus pepohonan dan membentur kaca jendela tanpa teralis di sisi kanan.

Aku menghela napas kuat-kuat, kemudian beranjak turun untuk ke kamar mandi. Saat aku kembali, pria yang terlelap di sisi ranjang sudah tidak lagi terlihat, dengan selimut yang tampak berantakan seperti ditarik paksa. Kaki membawaku berjalan ke arah meja, menatap onggokan biola rusak yang bahkan tidak dibungkus oleh apa pun. Strip merah yang melingkar di pinggirannya memantulkan cahaya dari lampu yang temaram. Aku bahkan bisa melihat bayanganku di sana.

"Elle …."

Suara yang tidak asing menyapa dari balik punggungku. Aku tidak merespons, tetap asyik dengan kecamuk pikiran dan serpihan kayu cendana berukir yang teronggok tak berdaya.

Langkah pelan itu terdengar mendekat, lalu berbisik, "Apa kau baik-baik saja?"

Tanpa menoleh, tanpa harus bersembunyi di balik kepura-puraan aku menyahuti. "Tidak."

Embusan napas pelan terdengar begitu dekat dengan telinga, sebuah rengkuhan ringan mengunci pergerakanku. Aku bahkan tidak memiliki cukup tenaga untuk memberontak.

"Tinggalkan aku sendiri," pintaku pelan.

Sebuah kecupan mendarat di kepalaku, membuatku memejamkan mata untuk menyesap setiap kekuatan yang ia salurkan, kemudian pelukan itu terlepas. Ia menjauh. Namun, sebelum ia mencapai lorong, aku memberanikan diri untuk menoleh ke arahnya.

"Arthur …."

Sosok menawan yang akhir-akhir ini kembali mengisi hariku setelah sekian lama itu berhenti dan menoleh.

"Terima kasih."

Ia mengangguk, kemudian pergi.

🌺🌺🌺

Jeblakan pintu mengagetkan lamunku, cukup keras hingga membuat debaran menakutkan itu muncul tanpa bisa kucerna. Aku refleks meletakkan bross cantik dengan permata hijau kembar itu ke atas kabinet di samping sofa, kemudian melirik ke asal suara yang kini tengah menuntut perhatian.

"Brielle! Apa yang kau lakukan saat temanmu sedang terbaring di rumah sakit, hah?!"

Mataku memelotot, menatap sosok pria berambut pirang yang mirip dengan Jarrel tengah berdiri dengan angkuh di hadapanku. James, mantan pelatih memanahku itu tengah menatapku dengan pandangan menghakimi.

Selaras RasaOù les histoires vivent. Découvrez maintenant