Selaras 8

19 2 0
                                    

Entah ini hari ke berapa aku tidak bisa tidur. Jarrel yang sedari tadi berada di sofa, bersandar sembari memainkan ponselnya. Ia menepuk-nepuk punggungku yang memang terasa pegal akibat tidak membiarkan diri sendiri beristirahat barang sedetik pun. Ke-overthinking-anku seolah-olah mencegah tubuh untuk sekadar berbaring nyaman dan terpejam.

"Elle, istirahatlah. Ini sudah larut."

Aku menoleh ke arahnya, sedikit menguap untuk membebaskan oksigen di otak. "Jam berapa sekarang?"

"Setengah dua belas."

Aku kembali memandang Sera yang masih lelap tertidur. "Aku masih ingin menjaganya."

Dengan helaan napas pelan, Jarrel mengelus kepalaku, kemudian kembali pada sofa. "Abang istirahatlah, besok harus bekerja."

Ia hanya mengangguk, kemudian membaringkan dirinya yang terlalu panjang itu dengan kaki ditekuk.

Kembali aku memperhatikan pergerakan di dada Sera. Masih teratur. Hal itu membuatku mengembuskan napas lega. Aku pun kembali menggenggam tangannya, meletakkan dahiku di atas untaian hangat yang tercipta.

Kumohon, berjuanglah untuk sembuh.

Senyap menguasai masa, menyelimuti setiap detik pergerakan waktu yang menjaga keberadaan setiap jiwa. Aku terpejam untuk sesekali merasakan detak nadi di lengan gadis yang lebih pendek dariku ini. Aku tersenyum.

"Kita tidak pernah seintim ini sebelumnya. Ini pertama kalinya aku menyentuhmu dengan sengaja."

Namun, senyumku tak bertahan lama. Baru saja bisikanku usai, tubuh mungil itu bergerak. Tidak, bergetar hebat.

Aku yang panik pun segera bangkit, tetapi sebuah genggaman menahanku untuk tidak beranjak dari sana.

Aku menoleh, menatap wajah kesakitan dengan mata terpejam yang kini tengah mengejang. Panik menguasaiku.

"Ab-abang!"

Mendengar panggilanku yang cukup lantang dengan suara bergetar, lantas membuat Jarrel langsung terbangun dan menatapku. Matanya menyipit dengan kantuk yang makin menggelayut.

"T-tolong Sera!!!"

Seketika ia memelotot dan berlari ke sisi seberang ranjang. Ia meraih tombol yang ada di sisi kepala si gadis berambut cokelat ini dan menekannya. Aku meringis, remasan di tanganku menguat disertai kuku-kukunya yang menancap.

Tidak ada suara yang keluar dari kerongkonganku di tengah kesakitan yang meremat tulang-tulang jemari kurusku. Bagiku, kesakitan ini tidak seberapa dibandingkan dengan yang Sera lakoni.

Dengan satu tangan kanan yang bebas dari cengkeraman, dengan sebelah mata yang terpejam menahan sakit, aku mendekati Seraphine, lalu memegang pundak ringkihnya.

"Sera … Sera!"

"Dokter!!!"

Tidak lama, pintu terbuka dengan grusa-grusu. Seorang berjubah putih yang kuketahui bernama Dokter Fritz itu datang bersama dua orang perawat yang membawa sekotak berukuran nampan berisi peralatan medis. Ia berdiri di sebelahku, menatap intens.

Aku yang paham dengan apa yang beliau inginkan pun menunjuk tanganku yang tengah dicengkeram dengan gugup, membuatnya tersenyum mengerti.

"Permisi, ya," izinnya.

Aku hanya terdiam, menatap nanar pada apa yang tersaji di hadapanku. Seorang Seraphine seolah-olah tengah meregang nyawa di depan mataku.

🌺🌺🌺

"Bagaimana kondisinya, Dokter?" Jarrel kini berada di depan pintu bersama Dokter Fritz.

"Tidak apa-apa. Paralysis. Biasa dialami oleh Sera."

Selaras RasaWhere stories live. Discover now