Selaras ....

43 4 0
                                    

Ia tidak tahu apa yang ia lakukan. Mungkin saja itu ego yang begitu besar sampai-sampai membuatnya kecil dan kembali memenuhi angan yang terbelenggu oleh rasa pesimis. Tapi …, kenapa?

Aku tertegun ketika pak pos datang pagi ini untuk mengantarkan surat. Papaku yang menerimanya, kemudian mengacungkan benda itu di depan mukaku. Aku menghela napas, kemudian berkata, “Aku tidak ingin membacanya.”

Ia tersenyum sebentar, kemudian membawa masuk ke ruang kerjanya, diikuti oleh Mama yang sedari tadi hanya memandangi kami dari seberang kursi busa yang kududuki. Dadaku sesak. Perasaan tidak suka menggelayut tanpa sebab.

Dengan gontai, aku melangkah, menaiki tangga menuju kamarku untuk bergelung dengan selimut kembali. Bukan. Bukan untuk tidur, tetapi untuk melanjutkan sesi mari berpikir berlebihan dan berdebat dengan diri sendiri.

Selama berjam-jam tanpa jeda. Mungkin jika aku bisa mengartikan sedikit ocehan yang ada dalam kepalaku, ia akan berkata, “Ini semua salahmu karena kau terus menerus terjebak dalam egomu.”

Alisku mengerenyit tak suka. Baiklah, anggap saja semua salahku karena terlalu banyak memiliki perasaan abstrak yang didorong keinginan untuk melebihi apa yang kulihat. Aku memiliki kecemburuan tanpa ujung.

Suara gemerisik di luar kamar masih samar-samar terdengar, membuat semua hal yang ada di dalam kepalaku menjadi semakin bergemuruh. Aku merasa bersalah. Teramat sangat bersalah. Namun, berbagai prasangka terhadapku itu tidak akan pernah usai untuk mengusik kedamaian yang ada. Aku masih mencoba untuk tidak memedulikan hal itu. Aku merasa begitu kecil.

“Biar aku bicara dengan Elle.”

Aku sudah tahu! batinku menjerit.

“Sayang, ini bukan hanya soal Elle, tapi Melissa juga.”

“Jarrel bisa menangani Melissa, tapi bagaimana dengan Elle?”

“Kita tidak bisa berbuat apa-apa. Biarkan dia menyendiri dulu. Dia butuh ketenangan. Nanti malam akan kucoba bicara dengannya.”

Kenapa? Kenapa harus berdebat di depan pintu kamarku seolah-olah tidak ada orang di dalam? Aku mendengar semuanya. Baru saja keluargaku tenang dan merasa aman dari segala kekacauan, kini pikiranku sama sekali tidak bisa untuk tidak peduli dengan masalah baru yang sebenarnya hanya berdampak padaku.

Ini membuatku membenci diriku sendiri. Membenci semua orang, bahkan membenci nasib.

"Baiklah, Em."

Setelahnya, mereka senyap. Hanya isakan yang terdengar samar-samar dari balik lubang kunci. Tidak ada seorang pun yang akan dengan keras kepala masuk ke kamarku untuk menginterupsi sesi kontemplasi—atau lebih tepatnya bisa kusebut meratapi penyesalan tak berujung ini.

Aku memejamkan mata, meresapi seluruh rasa yang menguar tidak karuan. Aku berharap setidaknya ada satu keajaiban saja yang akan terdegradasi di pelupuk. Aku kembali merasa kesepian.

Senyap dalam lamunan penghukum asa. Kakiku beranjak dari tempat tidur untuk mengambil sebuah biola yang tersandar di atas kabinet di sebelah jendela kaca besar tanpa ambang. Napasku terembus kencang, mencoba mengutarakan semua emosi tanpa kata. Namun, semua itu malah membuatku semakin sesak.

Tanganku terangkat, mengapit pangkal biola di antara dagu dan bahu. Ujung jari-jariku menekan senar, menerjemahkan susunan nada yang hendak kumainkan. Gesekan pelan kutorehkan, melantun mengiringi atmosfer hangat yang terasa menyedihkan. Seolah-olah musim semi kali ini hanyalah maya.

Pelan mengalun seperti angin di Bulan April, gesekan not yang kumainkan seolah menguarkan perasaan lara yang mendera begitu dalam. Bagaimana bisa aku harus sesakit ini merasakan kehilangan?

Selaras RasaWhere stories live. Discover now