Selaras 13

6 1 0
                                    

Dedaunan menari-nari diterpa angin yang berembus dari arah barat daya, mengirimkan ribuan pesan melalui nyanyian pada seluruh insan. Tidak ubahnya seperti sebuah nada rindu yang melekat dalam jajaran awan yang menampilkan diorama berpualam di baliknya.

Mataku terpejam sesaat menikmati hening yang tercipta. Sesekali tersenyum bangga atas pencapaian yang nyata. Dua hari lalu, setelah aku dengan tanpa belas ampun dan rasa sungkan mengumpati Sera, kami berbaikan dan hingga kini kami masih berbalas pesan.

Bukan tanpa alasan aku bersikap anarkis. Rasa syok dan kesal yang luar biasa menghanyut dalam dada ketika Rosela mengatakan padaku bahwa Sera sudah menyerah dengan kondisinya. Dia tidak berharap sembuh. Dalam otaknya, yang dia tunggu adalah sebuah momen di mana ia terlepas dari belenggu kehidupan. Mati. Tentu saja aku marah. Aku tidak ingin dia jadi sebodoh itu hanya karena rasa lelah berada di dunia sebagai manusia. Kita diberi kesempatan hidup, diberi dua tangan oleh sang pencipta adalah untuk berusaha. Kita telah diberi sebuah ruang dalam hati kita untuk mengukir harapan adalah untuk meminta.

Apa yang Sera lakukan itu bagiku bukan berpasrah dengan apa pun keputusan Tuhan dan melepas rasa takutnya terhadap kematian dan takdir. Tidak! Karena jauh di lubuk hatinya aku tahu dia masih terikat dengan janji kehidupan sebelum ia dilahirkan, dan ia menjadikan hal itu beban. Dia belum ikhlas. Yang seperti itu bukan berserah, tapi suicidal.

Kemarahan atas dirinya di kehidupan sebelumnya, menjadikan penyesalan sebagai tolak ukur penebus dosa. Tidak, aku sama sekali tidak setuju. Sejak aku dilahirkan, aku selalu berpikir bahwa kehidupan kita di dunia ini adalah sebuah tugas untuk entah apa. Namun, memang ketika hidup berada pada titik nadir, semua bayangan itu akan lenyap hingga membuat isi pikiran kita selalu menginginkan mati. Dan aku pernah mengalaminya. Itulah sebab aku tidak ingin Sera sepertiku. Masih banyak hal yang berharga dalam hidupnya, masih banyak misi yang belum dia jalankan, dan masih banyak orang yang begitu mencintainya.

Aku mendengkus ketika mengingat bahwa hari ini adalah puncak di mana aku dan Rosela harus melakukannya. Sebuah eksekusi untuk menentukan seberapa jauh gadis itu mampu bertahan. Yang aku inginkan adalah kebahagiaanya, tidak peduli jika aku harus mengorbankan diriku sendiri.

Aku meraih kantong besar berwarna hitam yang teronggok di sisi meja. Kantong sampah yang teronggok sejak semalam di sana membuatku benar-benar … entahlah. Aku tidak tahu apa yang kurasakan masih menyimpan sampah itu di sana sejak seminggu yang lalu. Mungkin … aku belum ikhlas.

Aku memanggulnya keluar dari kamar, berjalan menuruni tangga perlahan agar tidak kepeleset. Aku punya ingatan buruk tentang anak tangga. Langkahku terasa berat, tapi aku tidak bisa tetap menyimpan rongsokan yang memang sudah kuhancurkan tersebut.

"Elle …."

Suara yang tidak asing dari sosok yang sudah cukup lama tidak kutemui. Seorang adik yang telah hidup bersamaku selama bertahun-tahun dan menjadi bagian dari deretan nama yang tertanam di hatiku. Adam. Pemuda sembilan belas tahun yang kini telah mendapatkan ayah baru dari keluarga Ruenovich. Ya, masih berada pada deretan nama keluarga Seraphine R. L. Ruenovich.

Ingatan itu menguar. Betapa lucunya hubungan dua keluarga yang hanya terikat pada hubungan diplomatik, kini terikat dalam nama keluarga yang cukup dekat akibat bertukar anak? Ingin tertawa rasanya.

"Apa itu, Elle?"

Aku mengerenyitkan alis, kemudian teringat pada benda yang kupanggul. Kuturunkan onggokan hitam itu sembari mengendikkan bahu. "Sampah."

Alis adam terangkat, seolah-olah mempertanyakan kembali jawaban yang kulontarkan. "Kenapa tidak meminta tolong maid untuk membuangnya? Tumben sekali kau menyimpan sampah di kamar."

"Kau datang dengan siapa?" tanyaku sembari melewati dirinya yang kini tengah berada di tanjakan terbawah anak tangga. Mengabaikan pertanyaan yang ia ajukan.

Selaras RasaWhere stories live. Discover now