Selaras 19

2 1 0
                                    

Seperti biasanya aku yang selalu tenggelam dalam sendu. Agaknya, merenung adalah rutinitas wajib yang tidak akan pernah bisa kutinggalkan. Tentang hidup, tentang betapa cinta berperan atas segala sesuatu, tetapi harus berjuang begitu keras untuk melepas jika ingin membuatnya abadi. Belum lagi, aku yang terlalu mendewakan ego seumur hidupku harus mati-matian meluruhkan semua itu agar mendapatkan senjata terbaik seantero jagad. Kepercayaan. Bahwa sebenarnya tidak masalah ketika tak seorang pun mempercayaimu jika masih ada dirimu sendiri yang bisa. Namun, bagaimana jika aku sendiri tak sanggup?

Terlatih untuk pesimis terus menerus membuatku seolah-olah hidup dalam bentangan keraguan dan kehampaan. Entah itu hukuman untuk siapa. Aurora yang bahkan belum ada hilal mengenai dosa yang ia lakukan, Aeron yang berkhianat dengan dalih menegakkan keselarasan atas dasar kemanusiaan, Renon yang begitu genius tetapi penuh ketamakan dan gila hormat, Zelda yang tak pernah bisa melepaskan dan terlalu erat menggenggam, Grenda yang membodohi dirinya demi mendapat kepercayaan bila membuktikan kebenaran, ataukah Brielle pertama yang keras kepala, egois, dan tidak bisa dikritik?

Tarikan napasku kembali memenuhi relung terdalam jeda antara dinding paru-paru. Kepalaku yang masih bersandar pada pundak tegap Arthur membiarkan tatapan senyap penuh analisa menembus cakrawala. Burung-burung bertaburan di angkasa, merpati milik Kakek yang dibiarkan bebas membumbung secara bergerombol mengelilingi rumah. Di sana, yang terbang di tengah, menabrak beberapa ekor yang melayang stabil, kemudian menukik sendirian sebelum kembali melambung. Seekor merpati putih dengan corak cokelat di atas kepala dan sayapnya. Terbang secara acak tak mematuhi peraturan yang ditetapkan sang pemimpin. Dia, jika kuperhatikan rupanya mirip seperti Jarrel, namun lihat tingkahnya ….

"Kau memperhatikannya? Merpati itu mirip denganmu."

Aku terkekeh, lalu mengecup punggung tangannya yang bertengger di pundak kananku. "Sepertinya iya. Kami memang mirip—aku dan Abang. Seperti pinang dibelah dua."

"Tidak. Sama sekali tidak, kecuali rupa kalian berdua," sanggahnya dengan gelengan kecil.

"Secara harfiah wajahku memang mirip dia, ya!" Aku menoleh ke arahnya, menatap sorot tajam pria kecintaanku tersebut.

Seandainya …, seandainya saja sebuah kebebasan berlaku di dunia ini tanpa hukum dan karma, mungkin aku akan mengambil jalan lain untuk kebebasanku tanpa harus melibatkan pria ini. Karena semakin aku berpikir tentang benang yang mengikat jari kelingking kami, aku merasa kisahku menjadi semakin mirip dengan seseorang yang namanya selalu memenuhi pikiranku, terlebih saat nasib menyatakan hal yang sama persis. Bak cermin. Kami sama-sama seringan angin, sama-sama serapuh kayu, sama-sama sepanas api. Namun, pengendaliannya jauh lebih baik dariku yang sekeras batu.

Aku tak tahu setua apa diriku jika dibandingkan dengannya. Mungkin sama, mungkin ia lebih tua. Aku tak yakin. Karena pada dasarnya, sekuno apa pun usia jiwa seseorang, jika dibandingkan kematangannya, maka yang lebih berpengalamanlah yang bijak. Acap kali aku berpikir jika aku lebih tua, aku tak sekali pun mengambil pelajaran hidup yang singgah. Malah, aku terlalu bodoh amat dengan segala sesuatu kecuali hasrat diri. Jikapun aku lebih muda, mungkin petualanganku kurang jauh karena aku tak cukup berani untuk mengambil risiko.

Keheningan kembali menyelimuti hingga seseorang mengetuk pintu kamar dan menginterupsi keromantisan—bagiku—yang fana ini.

Paul muncul dari balik dinding lorong, kemudian menunduk di hadapanku sesaat. "Nona, ada tamu untuk anda."

Aku mendengkus sesaat. "Paul, sudah berapa ratus kali kubilang jangan memberiku hormat seperti yang kau lakukan pada Santana!" Ia mengangguk, masih dengan wajah sedatar permukaan sauce pan. "Persilakan dia masuk, Paul."

"Sebaiknya aku keluar. Kalian mungkin ada hal penting yang harus dibicarakan," bisik Arthur, kemudian aku mengangguk.

Namun, belum sampai pemuda itu turun dari tempat tidurku, dua sosok yang begitu kukenal memasuki ruang kamar. Sepasang, seperti merpati yang sedang jatuh cinta—istilahnya—lovey dovey. Si wanita menghampiriku, sedangkan sang suami berdiri di sisi Paul, berbicara dengannya sebentar sebelum pelayan itu pergi, digantikan oleh Arthur yang kini tampak akrab dengannya.

Selaras RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang