Selaras 18

2 0 0
                                    

Aku duduk di tempat tidur, berhadapan dengan mata cokelat yang menyorotkan kekhawatiran, tetapi juga rasa penasaran. Ia mendengkus. Sudah yang ketiga kalinya karena selama sepuluh menit kami bersitatap, tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut kami berdua. Pun aku hanya menunjukkan senyum beserta tatapan memuja pada pria di hadapanku ini. Rambut bergelombangnya yang ditata rapi kini tampak berantakan. Entah apa yang terjadi padanya selama aku tidak sadarkan diri. Irisnya masih menyelidik tentang apa yang kupikirkan.

"Apa yang kau lakukan?" tanyaku penasaran.

"Apa yang terjadi padamu?"

Aku mendengkus, pertanyaan dijawab dengan pertanyaan pula. Aku pun kembali bertanya, "Kenapa?"

"Kenapa bertanya lagi?"

Sudah cukup! Aku tidak tahan.

"Ck. Aku hanya kelelahan. Tahu, 'kan, lukisan, buku, dan lainya. Semuanya. Aku sedang berusaha menyelesaikan pekerjaan," jelasku dengan gamblang, meski ada sedikit kebohongan di sana.

"Apa karena kau terus menerus menungguinya?"

Aku tahu aku tidak pandai berbohong. Arthur akan tahu serapat apa pun aku menyembunyikannya. Namun, bukan itu jawabannya.

"Jangan menyalahkan dia. Ini mauku," ketusku.

"Kau mencintainya?" Kali ini dia bertanya, seolah-olah menunjukkan kecemburuan yang ketara. Namun, tidak. Tidak ada gunanya dia bermain peran seperti itu. Dia hanya akan membuatku terpojok dan terus menerus mencoba berbohong. Tidak ada salahnya meniru siasat Jarrel saat menghadapi lawan bisnisnya dalam rapat tender. Tidak harus dengan kebohongan lain untuk mengikuti sebuah alur, bukan?

"Tentu. Seperti halnya aku mencintaimu." Aku tersenyum. Tanganku terulur untuk mencoba meraih pundaknya, membawa ia mendekat dalam pelukan mesra yang … tidak biasa kulakukan.

Arthur tahu betul siapa Brielle. Seorang gadis yang bahkan tidak pernah berani menggoda dengan serius bahkan pada kekasihnya sendiri. Ia menatapku tajam, tak menemukan rona maupun hawa panas yang menyebar di permukaan kulit wajahku. Oke, dia tahu aku tidak serius, jadi dia melepaskan tautan tanganku dan menjauhkanku dari tubuhnya—benar-benar mendorongku perlahan—hingga membuatku sedikit terkejut dan merasakan sesuatu yang tidak nyaman pada dadaku.

"Tapi kau tak percaya padaku," hardiknya.

Aku menarik lengan, kemudian mundur perlahan dan menunduk sejenak untuk mengatur napas. Lekat mataku tak beralih dari kedua tanganku yang kini saling bertaut, memainkan untaian satu sama lain. Pikiranku melayang pada sebuah masa di mana aku terdidik untuk menanamkan ketidakyakinan terhadap degala hal. Membangun rasa pesimis yang berlebihan, tidak peduli seberapa keras aku berteriak, "Aku bisa!"

Aku mendongak, kemudian mengembuskan napas perlahan, menatap iris cokelat terang yang masih setia menanti jawaban terang dari seorang pemudi tersesat yang tengah menanti cahaya. "Kau tahu, Arthur. Aku tak mudah percaya pada orang yang baru kutemui. Krisis kepercayaanku begitu besar. Tapi, untukmu aku mencoba untuk menyelesaikan jejak kesalahan kita di masa lalu."

Ia pun tampak merileks, tangannya terulur untuk membelai pipiku yang kini terasa memanas. Entah karena malu atau malah sedih. "Aku tahu. Aku akan bersabar."

"Terima kasih," responsku singkat.

Keheningan tercipta, menyeruak bagaikan rembesan karat yang bersemayam dalam permukaan besi. Rasanya, aku tidak pernah bisa untuk meraih angan tentang dia. Seperti dahulu saat Aurora berusaha untuk menggapai sebuah asa yang tercipta dari hasrat diri. Aku mengembuskan napas perlahan. Suntuk, kesal, sedih, semuanya menjadi satu tanpa bisa kupilah. Yang mana perasaanku sesungguhnya pun aku tidak tahu karena semua bersatu padu layaknya partikel polusi yang mengotori atmosfer.

Selaras RasaWhere stories live. Discover now