Selaras 9

8 2 0
                                    

"Kalau begitu, saya permisi."

Aku mengangguk kepada Dokter Fritz dan perawat yang mendampinginya. Setelah mereka keluar, atensiku kembali pada Sera yang kini tengah menatap kosong ke arah jendela. Kulit pucat itu masih setia menghiasi wajahnya.

Melihatnya seperti ini, membuatku sedikit lega karena setidaknya, dia masih membuka mata. Aku bersyukur pada Tuhan yang masih memberiku kesempatan untuk bisa berada di sampingnya. Bagaimanapun, aku tidak bisa memilih, bagaimana hatiku harus menuntun. Yang bisa kulakukan adalah memilih untuk mengikutinya atau menolak dengan kehendak yang kupunya.

Aku kembali pada kursi yang berada di sebelah kiri ranjang. Duduk tegap menatap ke arah tanganku sendiri yang merangkak naik ke atas kasur, menyusuri setiap inci jarak yang tertera untuk memperpendeknya. Tanpa bisa kutolak, jemariku kenbali merengkuh bulir-bulir tulang yang terbungkus kulit tersebut dan menggenggamnya perlahan. Seolah-olah takut membuatnya remuk dalam sekali remasan.

Aku menunduk, mengamati satu demi satu freckles di lenganku. Isi kepalaku bergolak kembali memikirkan bagaimana reaksinya sekarang. Rasa takutku mendominasi, menusuk derap hati yang tadinya berani, kini telah menciut lagi. Kecamuk asa yang dibalut rasa pesimis kini menghujani. Bahkan, aku tidak tahu apa yang ia simpan di dalam sanubari.

"A-pa …."

Kenapa …? Kenapa otakku tiba-tiba kehilangan akalnya hanya untuk berbicara? Aku bahkan tidak punya gambaran tentang apa yang harus kukatakan padanya, tetapi dada ini seolah-olah didobrak paksa untuk segera mengungkapkan apa yang kurasa. Setidaknya sapalah dia, Elle!

Mata dan pipiku terasa panas.

"Kenapa …."

Kerongkonganku seperti tidak bisa diajak berkompromi. Daging-daging lunak itu seolah menghimpit pita suaraku untuk tetap diam menghayati pikiran yang absurd. Embusan napas meluncur, mengosongkan beban yang mengendap di paru-paru. Beban yang menghambat pergerakan otot pita suara dan otakku karena oksigen tidak berjalan dengan lancar.

Menyerah. Bahkan setan-setan di dalam kepalaku pun ikut senyap. Sama sekali tidak bisa dijak berkompromi.

"A-aku akan menunggumu di sini. Abang dan Bang Zo sudah … berangkat bekerja. Jadi … aku … biarkan aku di sini menungguimu."

Sebuah kalimat yang menampakkan kecanggungan laur biasa. Aku bahkan harus menahan napasku untuk mengatakannya. Sesulit inikah diriku menghadapi rasa takut untuk bisa berbaikan dengan seseorang yang tengah berbeda pendapat denganku?

Berbeda pendapat? Apa kejadian kemarin yang menyebabkan kehebohan itu hanya sekadar perbedaan pendapat?

"Itu sebuah pertengkaran, Bodoh!"

Setan laknat! Dari mana saja kau?! Kenapa malah muncul di saat aku tidak lagi membutuhkan bantuanmu?!

"Kau … ingin sesuatu?"

Sera menggeleng, dengan sedikit garis bibir yang terangkat dan kedipan mata bertempo lambat.

Senyap kembali hadir, membuat atmosfer seakan menahan kesunyian ini dalam waktu yang terhenti. Kami saling menatap dalam diam, kucoba menyalurkan kerinduan yang membuncah, lalu menarik tuas pintu yang telah berkarat. Dalam benakku aku berpikir. Apakah … Sera juga merindukanku?

Bahkan, selama lebih dari setengah jam kami hening tanpas suara, menyampaikan setiap patah kata dalam sorot mata. Hingga retina cokelat itu perlahan menutup dengan embusan teratur di hidungnya. Aku tersenyum, seolah-olah rasa canggung yang menggelendoti dadaku lenyap begitu saja. Seperti … beban saat menjadi pusat perhatian di muka umum terangkat dan seketika di panggung opera ini tak ada siapa pun. Hanya aku … hanya aku yang berdiri di tengah panggung tanpa adanya penonton satu pun.

Selaras RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang