Selaras 6

15 4 0
                                    

Setidaknya, kedatangan Rosela hari ini mampu membuatku sedikit mengikis ketakutan dalam benak. Namun, meski ia berhasil mendorongku dengan kekuatan, Rosela sendiri tampak gamang pada keyakinannya. Dari sorot matanya yang lembut itu muncul guratan dan sorot yang berbeda.

Aku tahu ... dan itu membuat ingatanku berputar pada garis waktu semu yang membatu. Rencana besarnya untuk bertindak akan sesuatu yang meragu.

"Ro ...."

"Aku tahu kau merasakannya."

"Keraguanmu terlalu besar, padahal tadi siang saat bicara di telepon kaulah yang paling optimis."

Helaan napasnya terembus sempurna, meniup pori-pori keningku yang terbebas dari helaian keriting di kepalaku.

"Mungkin ... karena ini tindakan berisiko, Elle."

Aku mengangguk mengiyakan. Dekapanku mengerat pada tubuhnya. "Aku akan membantumu sebisaku."

Pembicaraan kami terhenti ketika pintu yang dibuka terdengar nyaring. Suara kaki yang lebih dari sepasang melintasi sepanjang lantai menuju ke arah kami berdua. Aku dan Rosela menoleh, menangkap dua sosok pria dengan tinggi badan yang hampir sama mendekat.

"Kalian sudah siap?" Razel bertanya, sembari menilik mesin waktu yang ada di pergelangan tangannya.

Jarrel mendekat padaku, mengelus wajahku pelan, menyusuri jejak-jejak air mata yang telah mengering.

"Kita berangkat sekarang," ucapnya pelan.

"Di mana Melissa?"

"Di kamar. Paul berusaha menahannya untuk tidak keluar."

Rosela mengangguk, kemudian menghampiri Razel, suaminya. Aku berdiri, kemudian menatap dalam iris kehijauan yang mirip denganku ini. "Aku mau ke kamar mandi sebentar untuk mencuci muka."

Ia mengangguk perlahan, kemudian melepaskan tangannya dari wajahku.

Berjalan rasanya begitu berat. Bukan karena keengganan, tetapi tubuhku rasanya seperti tengah menuntut untuk beristirahat. Sayangnya, aku tidak akan bisa tidur, seperti malam-malam sebelumnya yang terus membuatku terjaga akibat overthinking. Hal itu hanya akan membuatku lebih menyiksa diriku sendiri.

Aku hanya mencuci wajah cepat dan mengeringkannya dengan handuk. Merapikan sedikit bentuk pakaianku yang agak kusut di bagian rok. Aku menarik napas, kemudian mengembuskannya guna mengisi ruang di paru-paruku untuk mengembang dan mampu memberiku kekuatan jika tiba-tiba aku menahan napas akibat ketakutan.

Saat aku keluar, semuanya menatap, membuat nyaliku seketika menciut. Namun, mereka sama sekali tidak menghakimi, sehingga aku masih tetap mampu melangkah ke depan untuk menghampiri mereka.

🌺🌺🌺

Suasana di dalam mobil begitu senyap. Jarrel kembali terdiam sembari merangkulku. Sesekali ia menjawab pertanyaan dari Rosela dan Razel. Aku yang hanya menyimak sedari tadi, merasa bahwa nyala lampu di jalanan tampak lebih menarik di mataku.

Laju lalu lintas ramai lancar, sehingga tidak kesulitan bagi mobil Razel melaju meski tidak bisa menyalip kendaraan lain.

Tanganku gemetar menahan gejolak menakutkan yang mneyeruak dalam dada. Setan-setan di kepala seolah meracuni pikiranku lagi setelah sehari dibiarkan tenang. Kugenggam jaket yang Jarrel kenakan hingga membuatnya kusut dan tak beraturan. Pria itu langsung menatapku. Hanya beberapa detik yang disertai senyuman sebelum kembali menanggapi pertanyaan Razel di dalam mobil. Tangannya mengelus lenganku secara terus menerus, bahkan hingga kami sampai di pelataran rumah sakit.

Turun dari mobil, aku kesulitan melangkah. Satu kakiku terpaku begitu yang lainnya mencoba terangkat, membuatku limbung dan hampir menghantam permukaan tanah. Beruntung, Jarrel dengan sigap menangkap dan menuntunku untuk berjalan menuju ke mana kami akan singgah.

Selaras RasaWhere stories live. Discover now