Selaras 4

24 4 0
                                    

Selepas kepergian Jarrel, aku kembali termenung. Embusan napasku jauh lebih ringan ketika aku melepas semua uneg-unegku ke dalam lembar kalimat singkat yang terkirim.

Aku pun menutup pintu kamar, kemudian turun dan berjalan ke luar rumah. Langkahku menuntun menuju gazebo taman berpilar putih di halaman belakang. Terdapat patung sepasang merpati di bagian atas atapnya, membuatku betah menatap hasil seni arsitek itu berlama-lama dan terpapar panas matahari yang sedikit lebih menyengat dari biasanya.

Bunga apel mulai berguguran, membuat suasana romantis penuh cinta tercetak jelas di atas sana. Embusan napasku kembali menguar. Rasa-rasanya hal itu sudah menjadi pekerjaan tetapku selama beberapa hari terakhir.

Di sana … sosok menawan malaikat yang akhir-akhi ini sering kutemui, tengah duduk dengan satu kaki menopang pada kaki lainnya. Ia menatapku dengan senyum menyejukkan di tengah terik srenge. Senyum yang langsung merasuk dan menembus batin terdalam. Aku berjalan cepat ke arahnya, menghambur ke dalam tubuh sosok yang begitu kurindukan setelah beberapa bulan tidak bertemu. Dialah malaikatku.

"Aku rindu Kakek …," lirihku di antara rengkuhan lengannya yang lebih besar dariku.

Ya, sosok itu kupanggil kakek. Sosok yang tidak memiliki emosi, tetapi selalu merefleksikan semua itu padaku. Dialah yang tanpa pernah mengeluh menghadapi kenakalanku. Dialah … guardian angel-ku.

"Kakek juga merindukanmu."

Senyumku mengembang di balik lipatan jas putih yang dia kenakan. Rambut yang putih pucat terurai bebas menyapu wajahku. Aku pun melepaskan diri darinya, menatap wajah penuh perhatian dan kehangatan seperti sentuhan malaikat.

"Kakek sudah mendengar tentang kau dan Sera."

Aku menunduk, menatap ujung kakiku dengan gugup dan takut. "Apa … kakek akan memarahiku?"

Ia menggeleng. Tangan besarnya terulur untuk mengusap lembut pipiku yang memerah akibat terlalu banyak menangis, membuat freckels yang menyebar di antara hidung dan pipi tersamar. "Bukan wewenang kakek untuk melakukan itu. Kami tidak memiliki hak untuk menyentuh masalah ini, tetapi …."

Masih merunduk dengan perasaan takut, aku menunggu dia untuk melanjutkan kalimatnya. "Kakek hanya bisa berbicara padamu untuk meyakinkanmu atas pilihan-pilihan besarmu."

Aku mengangguk, kemudian duduk di seberang kursi kakek, menumpu daguku pada meja dengan tangan yang memainkan kuku di depan muka.

"Maafkan aku, Kek. Anakmu ini tidak pernah belajar dari kesalahan. Kenakalanku memang keterlaluan."

Pria tua itu tersenyum lembut. Senyuman yang sebenarnya jarang terlihat dari wajah itu hanya sesekali muncul di saat aku memang sering dalam keadaan tidak baik. Sehingga ketika melihatnya, degup jantungku berubah teratur. Sebuah ketenangan yang nyata kurasakan dalam relung terdalam ketika berhadapan langsung dengan sosoknya.

Ia menarik kursinya mendekat hingga berhadapan denganku. Tangan putih pucat itu terulur untuk mengelus kepalaku, membuat aku seketika memiringkan untuk menatapnya. Memandang sosok menawan itu dalam rengkuhan kerinduan yang begitu pekat, mengingatkanku dengan dia yang pernah hidup dan dibangkitkan berkali-kali entah untuk tujuan apa. Yang di mana lembar ketujuh nya malah menjadi sosok yang tidak pernah bersyukur akan hidup.

Pandanganku memburam, tetapi aku berusaha untuk menahannya. Tarikan dan embusan napas yang teramat berat itu sedikit membuang resah yang menjalar.

"Anakku, menangislah jika ingin menangis."

Rasa sesak ini menahanku untuk tidak meledak dan membuat seseorang yang tengah pergi entah ke mana itu kesakitan. Ikatan saudara yang menyebalkan.

"Kau lihat itu? Sebuah pohon saat ditebang akan memunculkan tunas baru selama akarnya tidak dicabut," ucapnya sembari menunjuk batang pohon bekas dipotong di ujung timur halaman, tidak jauh dari tempat kami berada.

Selaras RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang