Kontes Debat

52.3K 5.2K 268
                                    

"Ona, ini..." Mataku berkedip sebentar, menatap orang yang baru saja masuk. Setelah itu aku tersadar dan berlari ke kamar. Ku ambil sebuah sweater yang kebetulan tergantung di belakang pintu. Sungguh, aku khilaf tadi. Aku lupa fakta bahwa dia bolak-balik seenaknya ke sini.

Beberapa hari lalu saat aku memutuskan untuk tinggal di apartemen bersama Fiona, Mas Arash yang menemaniku ke kontrakan untuk pamit pada pemiliknya. Padahal sebelumnya aku tak sempat mengatakan apapun pada ibu pemilik kontrakan. Ia tampak bingung dengan keputusanku yang tiba-tiba.

Untunglah alasan yang aku buat bisa meyakinkannya. Aku mengatakan kalau aku dapat pekerjaan dan diharuskan tinggal di rumah yang disediakan. Gak sepenuhnya benar sih, tapi bukan sesuatu yang salah juga. Aku memang disuruh pindah ke sini oleh bosku, sekaligus calon suamiku. Jadi aku tak sepenuhnya berbohong bukan?

Namun Mas Arash malah kesal karena aku mengakui dirinya sebagai mantan dosenku sekaligus bos baruku. Dia tak terima karena aku tak jujur perihal pernikahan kami yang akan dilangsungkan dalam waktu dekat. Sempat terjadi perdebatan diantara kami sebelum akhirnya dia mogok bicara.

Mogok bicara adalah jurus andalannya setiap kali aku tak nurut. Tapi memang dasarnya dia itu sudah terlanjur bucin padaku, mana bisa dia tahan ngambek lama-lama? Tak pernah aku berniat untuk membujuknya. Pada akhirnya dia akan kembali membuka mulutnya sendiri.

Setelah meneliti penampilanku di cermin, aku keluar dari kamar dengan langkah canggung. Pria itu masih berdiri di tempat tadi seakan kakinya sudah melekat pada tempat ia berpijak. Rambutnya yang basah menandakan kalau ia baru saja selesai mandi.

Kami belum lama pulang. Hari ini selain bekerja, Mas Arash juga mengajakku untuk fitting baju. Beberapa baju sudah aku coba tadi. Namun belum ada keputusan pasti karena aku masih bimbang.

Mas Arash memintaku untuk memesan kebaya sesuai dengan keinginanku. Ia yang akan mengurus semuanya supaya kebaya itu selesai tepat waktu. Namun setelah aku selidiki, ternyata memesan kebaya dalam waktu yang mepet itu menghabiskan uang yang lebih besar. Tentu saja aku menolak. Lagian hanya untuk dipakai beberapa jam.

"Kamu pakai pakaian begitu kalau di sini?" Aku menggigit bibirku lalu mengangguk. Memang apa salahnya?

"Lagian aku sama Fiona doang di sini. Aku kira tadi Fiona yang datang. Dia pergi beli bahan makanan." Aku hanya mengenakan tanktop dengan tali kecil dengan rambut dijepit sehingga mengekspos bahu dan leherku. Selama aku bersama Mas Arash, baru kali ini aku memakai pakaian yang begini.

Untungnya aku mengenakan celana longgar yang panjang, tak seperti saat hendak tidur yaitu dengan celana pendek. Sengaja, karena panas. Maklum, aku tak terlalu biasa dengan AC. Orang kampung memang lebih suka AC alami.

"Lagian Mas kenapa gak ngetuk sih? Nyelonong masuk aja. Ini area perempuan tau." Kesalku.

Aku kembali ke meja dapur dan melanjutkan kegiatanku memotong-motong sayuran. Hari ini seperti biasa kami akan makan bertiga. Hanya saat pagi dan malam. Sementara siangnya sudah pasti aku makan bersama Mas Arash karena ini adalah hari kedua aku kembali bekerja sebagai asistennya.

"Lain kali jangan pakai begituan. Bahaya." Kalau hanya ada aku dan Fiona, tak akan berbahaya. Beda halnya jika ada dia, baru bahaya.

"Iya. Lain kali Mas jangan main masuk aja. Ngucap salam dulu kek." Dia persis seperti jelangkung, datang tak dijemput, pulang tak diantar. Apartemennya hanya diperuntukkan sebagai tempat mandi dan tidur. Selebihnya ia pasti mendekam di sini.

Selesai dengan kegiatanku mengurusi bahan-bahan untuk memasak, aku duduk di meja makan sembari menopang dagu, menunggu Fiona datang. Kenapa dia lama sekali? Padahal tak banyak yang ia beli. Pasti dia berlama-lama di minimarket sambil makan es krim.

Arash [END]Where stories live. Discover now