Berakhir?

50.9K 6.1K 177
                                    

Menurut tanggal undangan yang aku lihat waktu itu, hari ini adalah hari dimana Pak Arash akan bertunangan. Aku tak ada membahas apapun mengenai hal ini dengannya, karena dia yang lebih dulu menyembunyikannya dariku. Kalau saja aku tak melihat undangan milik Pak Bayu waktu itu, mungkin aku tidak akan tau apa-apa sampai sekarang dan bertindak seperti orang bodoh.

Pak Arash dan Nadin, selalu bertengkar setiap kali ada aku di dekat mereka. Bahkan aku pernah jadi korban karena pertengkaran mereka. Padahal aku tak salah apapun, aku cuma bernafas aja. Mereka berdua yang adu urat leher.

Aku mengira hubungan mereka memang buruk sejak awal. Tapi tak ku sangka semuanya malah seperti ini. Kenyataan bahwa mereka akan bertunangan membuat hatiku sedikit tak terima.

Memang apa yang salah dengan diriku? Aku tau mungkin aku tak bisa berdandan dengan cantik, memakai pakaian mewah nan menggoda, dan tidak memiliki harta yang berlimpah. Aku hanya perempuan biasa yang juga memiliki perasaan. Tapi aku tak sepantasnya diperlakukan seperti ini. Apa tujuannya memacari ku kalau dia sudah mau tunangan?

Seharusnya kemarin aku kembali bimbingan tapi aku membatalkannya dengan alasan aku belum selesai mengerjakannya. Pak Arash tentu saja heran karena selama ini aku selalu melakukan semuanya dengan cepat, tapi aku berhasil meyakinkannya kalau aku belum menyelesaikannya.

Padahal sebenarnya semua itu sudah kelar dua hari yang lalu, tepat sehari sesudah aku melihat undangan itu. Sejak saat itu aku selalu mencari kesibukan agar tak teringat akan berita pertunangan yang mengejutkan itu. Pergi ke perpustakaan di pusat kota hanya untuk membaca dan menghabiskan waktu, lalu keliling mall setelahnya. Tapi lagi-lagi aku tak bisa melupakan seutuhnya. Setiap kali tak ada aktivitas, pikiranku lagi-lagi menuju kearah sana.

Dengan naifnya aku masih beranggapan kalau itu bukanlah berita yang benar. Aku mengajak Pak Arash untuk pergi hari ini, di jam yang sesuai dengan undangan itu, meskipun malam hari. Jika ia mengiyakan berarti undangan itu hanya rekayasa belaka. Namun, ia justru menolak dengan alasan kalau ada yang harus ia lakukan.

Ingin rasanya aku berteriak menanyakan apa yang ia lakukan sehingga ia menolak ajakanku. Karena selama ini ia tak pernah seperti itu. Sesibuk apapun dirinya, penolakan tak pernah aku terima. Baru kali ini aku mendapatkan penolakan sekaligus memperjelas kalau pertunangan itu memang benar akan terjadi.

Apa maksud dari semua ini? Itulah yang aku pertanyakan tapi aku tak kunjung menemukan jawabannya. Ia sudah memperkenalkanku pada almarhumah ibunya, pada sahabat-sahabatnya, tapi ia malah bertunangan dengan orang lain. Dia mempermainkanku? Apa artinya hubungan kami selama ini?

Ia memang sudah lama hidup sendiri dan butuh orang yang mendampinginya. Tapi seharusnya ia mengatakan semuanya padaku agar aku tak merasa tersakiti seperti ini. Harusnya ia jujur kalau semua ucapannya hanya omong kosong belaka. Semua tindakannya hanya bentuk rasa kasihan semata. Ah, atau mungkin hanya karena penasaran padaku? Setelah ia mendapatkan apa yang ia inginkan, maka ia pergi begitu saja. Bukankah begitu kebiasaan para pria?

Aku sudah menduga ini sejak awal. Kepercayaan adalah sesuatu yang mahal yang tidak bisa aku berikan kepada orang yang baru aku kenali.

Ku hempaskan tubuhku di ranjang dan menutup kepalaku dengan bantal. Tak terhitung sudah berapa kali helaan nafas berat lolos dari mulutku. Belum lagi decakan kesal yang keluar tanpa henti. Bantal dan guling selalu menjadi bahan amukanku, mereka tak pernah berteriak sakit saat menerima pukulan dari tanganku. Makanya aku semakin gencar melakukannya.

Hanya satu yang belum aku lakukan, yaitu menangis. Aku masih menahan semuanya sampai aku mendengar sendiri kejujurannya terkait pertunangan itu. Sampai ia mau terbuka dan menjelaskan maksud dari semua ucapan dan tindakannya yang mungkin telah aku salah artikan.

Arash [END]Where stories live. Discover now