Sahabat Pak Arash

59.6K 6.6K 198
                                    

"Emang udah berapa bulan umur anaknya, Mas?" Tanyaku saat kami sedang asik celingak-celinguk memperhatikan berbagai macam perlengkapan bayi yang terpajang diatas etalase.

Karena tak kunjung mendapatkan jawaban aku berbalik. Hampir saja tubuhku bertubrukan dengan tubuhnya yang menjulang tinggi itu. Untungnya Pak Arash berhasil mengerem dengan baik sehingga ia tak membuat tubuhku terdorong ke belakang. Salah Pak Arash sih, jalannya terlalu dekat denganku.

Saat mencium aroma tubuhnya, aku kembali teringat kejadian kemarin. Pagi-pagi sekali aku terbangun dan sadar kalau aku tidak tidur di sofa, melainkan di kamar. Kali ini bukan kamar Kila, tapi kamar Pak Arash.

Kamarnya benar-benar terlihat rapi dan tertata, dengan warna monokrom kesukaannya. Pantas saja semalam aku tidurnya seperti orang mati tanpa terbangun sedikitpun, karena sepanjang tidur aku menghirup aromanya yang menempel di kamar ini.

Aku bangun dan mencuci muka, kemudian merapikan bajuku yang agak kusut. Aku bahkan masih mengenakan pakaian kemarin. Setelah itu aku keluar mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan.

Pak Arash masih tertidur di sofa dengan posisi terlentang serta kedua tangan yang menyangga kepalanya. Hanya satu selimut tipis yang membungkus kakinya, yaitu selimut yang ia berikan padaku semalam. Kenapa dia menggendongku ke kamarnya lalu ia tidur di luar?

Aku berjalan mendekat dengan perlahan supaya tidak membangunkannya lalu duduk di bawah tepat di samping kepalanya. Pak Arash yang tertidur terlihat sangat damai. Tak ada lagi wajah yang datar dan kaku itu, tapi hanya wajah polos.

Tanpa sadar aku tersenyum simpul menatapnya. Ia tampak nyenyak dalam tidurnya. Hembusan nafasnya terdengar teratur. Aku menaikkan selimut yang hanya menutupi kakinya hingga dadanya ikut tertutup. Apa dia tidak kedinginan tidur begini?

"Arisha, jangan liat saya seperti itu. Saya tau kok saya tampan." Itulah kalimat singkat yang ia katakan hingga membuat aku mencubit lengannya sekuat tenaga hingga ia berteriak kesakitan. Dia ternyata pura-pura tidur. Menyebalkan sekali.

Ternyata malamnya, Pak Arash ingin memindahkanku ke kamar Kila. Tapi Kila mengunci kamar itu dan membawa kuncinya. Makanya Pak Arash terpaksa mengalah dan membiarkanku tidur di kamarnya sedangkan ia tidur di sofa. Kali ini Pak Arash berani bersumpah kalau kejahilan yang satu itu murni ide dari Kila.

"Berapa ya? Sekitar 6 bulanan deh kayaknya." Aku menganggukkan kepala, kembali memperhatikan deretan peralatan bayi yang terpajang.

Sejujurnya aku tak pernah pergi mengunjungi teman, saudara, ataupun kerabat yang baru saja memiliki anak. Segitu sempitnya hubunganku dengan manusia hingga aku tak terlalu paham harus berbuat bagaimana.

Hari ini Pak Arash memintaku untuk menemaninya ke rumah sahabatnya yang belum lama ini dikaruniai anak. Sebenarnya dia malas pergi karena ujung-ujungnya akan jadi bahan olok-olokan, makanya ia mengajakku. Katanya, dari beberapa orang temannya, hanya ia yang belum menikah. Makanya kalau datang sendiri, ia hanya akan jadi obat nyamuk. Jadi, daripada jadi obat nyamuk sendiri, mending berdua.

Setelah lama memilih, akhirnya pilihan kami jatuh pada popok dan beberapa helai baju bayi. Kenapa popok? Karena Pak Arash itu anti mainstream. Malah ia sengaja membeli popok yang dikemas dalam plastik besar.

Mobil Pak Arash berhenti di sebuah rumah yang tampak lumayan mewah. Dari luar nampak kalau rumah ini terdiri dari dua lantai. Halaman depannya tampak sangat asri dengan ditanami berbagai macam tanaman. Posisi rumah yang agak jauh dari gerbang depan sehingga tidak terlalu bising.

Mataku membulat saat melihat seorang pria yang memakai kaos dengan celana katun selutut yang menyambut kedatangan kami. Tanganku yang hendak melepas seatbelt sontak membeku. Pak Arash gak serius kan mengajakku ke sini? Dia salah rumah kan?

Arash [END]Where stories live. Discover now