Yakin

54.8K 6.6K 464
                                    

Arisha, jangan tinggalkan aku sendiri. Jangan pernah berfikir untuk pergi.

Aku bisa mendengar suara itu samar-samar. Tapi aku tak yakin siapa yang mengucapkannya. Memang ada yang akan kehilanganku kalau aku pergi? Tak ada siapapun bukan?

Kamu sudah tidur berhari-hari, sementara aku cuma tidur beberapa jam. Kamu gak kasihan sama aku? Tolong bangun supaya aku bisa tidur dengan nyenyak tanpa terus-menerus khawatir sama keadaan kamu.

Aku merasakan seseorang menggenggam tanganku, tapi kelopak mataku enggan untuk terbuka. Aku tak mampu melakukannya.

Adek harus hidup lama dan bahagia ya. Jangan seperti Ibu.

---

Mataku mengerjap pelan. Rasanya sangat berat hingga hanya bisa terbuka sedikit. Aku tak tau siapa yang aku lihat. Yang jelas aku menatap sepasang mata yang menyorot kearahku.

Aku tak bisa melihatnya dengan jelas karena wajahnya membelakangi sumber cahaya. Tapi wajah itu tampak tak asing buatku.

"Arisha?" Ya, itu memang namaku. Tapi siapa yang memanggilku? "Sayang?" Sayang? Siapa yang memanggilku 'sayang'? Apakah masih ada orang yang menyayangiku di dunia ini?

Aku menggerakkan tubuhku. Tapi seketika itu pula aku merasakan sakit pada punggungku. Langkah kaki terdengar bersaut-sautan. Aku merasakan ada orang yang menggenggam tanganku. Sementara tangan lain membuka mataku dan memberikan cahaya yang menyilaukan mataku. Aku dimana?

"Mbak? Mbak bisa dengar saya?" Aku menganggukkan kepalaku dengan tempo yang sangat lambat. Kepala ini terasa sedikit pusing. "Mbak bisa jawab saya?"

"Haus." Keluhku. Tenggorokanku sangat kering hingga untuk berbicara saja terasa begitu berat. Sebuah sedotan dimasukkan ke mulutku. Aku menyedot airnya hingga tenggorokanku terasa segar.

"Mbak, tau nama Mbak kan?" Kepalaku bergerak membentuk sebuah anggukan tatkala mataku kembali menutup untuk menyesuaikan cahaya lampu yang menyilaukan. Sepertinya aku sekarang berada di rumah sakit. Siapa yang membawaku ke sini?

"Arisha." Ucapku lemah. Aku merasakan genggaman di tanganku semakin kuat. Tangan siapa ini? Rasanya sangat hangat.

"Arisha?" Suara itu adalah suara yang sangat aku kenal. Tapi aku tak yakin itu adalah dia.

"Kamu siapa?" Genggaman tangan itu melonggar. Wajahnya mendekat padaku hingga aku bisa melihatnya dengan jelas.

"Arisha, ini aku Arash. Kamu gak lupa aku kan? Saat sadar di ICU, kamu nyebut nama aku loh. Please jangan becanda." Aku bahkan bisa melihat mata yang memerah itu. Kenapa dia menangis?

"Aku gak kenal kamu." Pria itu bukanlah dia karena wajah Mas Arash yang aku tau sangat tampan.

"Mbak gak ingat siapa dia?" Suara lain ikut menimpali. Aku menggeleng pelan.

"Arisha, kamu gak mungkin lupain aku. Kamu nyebut namaku tadi. Aku dengar dengan jelas. Dokter juga dengar kan? Dia nyebut nama saya tadi kan, Dok? Arisha, kamu gak boleh lupain aku. Kita mau nikah loh, Sha." Kekehan di mulutku keluar beriringan dengan air mataku yang jatuh tanpa komando. Kenapa tiba-tiba aku merasa sedih seperti ini?

Tak mungkin aku lupa pada kebawelannya. Aku masih ingat wajah datar yang senantiasa nyerocos itu. Mengapa saat aku sakit dia masih saja cerewet?

"Calon suamiku ganteng tau, gak kayak mayat hidup." Suara tawa yang aku yakini adalah suara dokter terdengar olehku. Ia pamit undur diri sebelum kedua mata elang itu kembali mengarah padaku.

"Arisha..." Aku sangat merindukan suara yang sering sekali menyebut namaku.

"Kamu gak mau meluk aku?" Tanganku hanya mampu terbuka sedikit karena rasanya sangat kaku. Sedetik kemudian tubuh itu menempel dengan lembut padaku. Dia sangat berhati-hati karena takut menindih tubuhku yang masih tampak rapuh.

Arash [END]Where stories live. Discover now