'Katanya' Keluarga

46.7K 5.6K 282
                                    

"Gak perlu bawa apapun. Cukup datang aja." Dari kemarin aku sudah mengatakan kalau aku ingin membawakan sesuatu sebagai buah tangan. Tapi Mas Arash menolak mentah-mentah. Masa iya datang ke rumahnya tanpa membawa apapun alias hanya tangan kosong? Aku jadi sungkan.

Sebenarnya sejak ia mengatakan kalau ingin mengenalkanku pada Papanya, aku jadi tidak tenang. Semalam saja tidurku tak nyenyak seperti biasanya karena terus kepikiran.

Apa yang harus aku lakukan di sana? Bagaimana caraku bersikap? Apa saja yang harus aku katakan? Aku tak tau sedikitpun.

Pakaian yang aku kenakan hari ini adalah kemeja polos berwarna coklat muda dan celana katun berwarna hitam beserta sepatu kets hitam. Jujur, aku tak tau harus memakai apa, makanya memilih untuk memakai pakaian ini.

"Kenapa gugup gitu?" Mas Arash bertanya seraya menahan senyumnya.

Yaiyalah gugup, namanya mau ketemu calon mertua. Dia saja yang terlalu santai saat bertemu dengan Ibu. Bahkan saat ia mengenalkan aku pada Mamanya waktu itu, aku gugup setengah mati.

"Ma, ini Arisha calon pacar Arash." Itulah kata-kata yang ia gunakan saat mengenalkanku dengan Mamanya beberapa waktu yang lalu. Perkataan itu sontak membuatku tertawa.

"Mas, aku pengen balik lagi rasanya." Jam baru menunjukkan pukul sebelas siang. Kata Mas Arash, mereka biasanya makan siang jam dua belas. Makanya ia mengajakku datang ke sini, di hari Minggu pula. Mumpung Papanya juga sedang berada di rumah.

Jujur, aku tak siap bertemu dengan Papanya. Apalagi aku tau kalau Papanya sejak awal gencar menjodohkannya. Apa aku akan diterima dengan baik? Apakah aku sesuai dengan kriteria seorang menantu yang diinginkan Papanya?

Aku beda jauh dengan Nadin, perempuan yang pernah dijodohkan dengan Mas Arash. Dari tampilannya saja, ia terlihat berasal dari keluarga terpandang walaupun attitude-nya patut dipertanyakan.

Aku hanya perempuan biasa, yang datang dari keluarga miskin dengan segala keterbatasan yang aku miliki. Aku tak punya siapapun yang mendampingiku jika suatu saat pernikahan ini memang benar terjadi. Aku akan berdiri di pelaminan tanpa ditemani satu pun keluargaku. Ah, keluarga ya? Aku bahkan sudah lupa apa itu keluarga sejak aku kehilangan Ibu.

"Mas, kalau..."

"Arisha, jangan berandai-andai dulu. Kalaupun banyak kalau-kalau di pikiran kamu, hilangkan saja kalau itu. Aku maunya hanya sama kamu, itu yang harus kamu tanamkan di kepala kamu. Paham?" Dia tau apa yang aku pikirkan tanpa perlu aku jelaskan. Kepalaku hanya bisa mengangguk walaupun hatiku masih sedikit resah.

Apa yang harus aku katakan pada mereka jika pertanyaan tentang keluarga meluncur dari mulut mereka? Bagaimana aku menjelaskan tentang diriku sementara aku sendiri tak yakin bagaimana diriku yang sebenarnya? Aku harus bagaimana?

Rumah keluarga Mas Arash berada di daerah yang tidak asing lagi bagiku, bahkan aku masih sangat ingat area ini. Dulu saat kami masih hidup berkecukupan, keluargaku juga tinggal di area komplek ini. Walaupun berada di blok yang berbeda dengan arah rumahnya.

Gerbang yang tinggi menjulang saja sudah menggambarkan bagaimana mewahnya rumah ini. Percayalah, maling aja kalau mau masuk ke sini pasti mikir dua kali mengingat tingginya gerbang depan rumah ini.

Rumah yang tampak mewah dan besar yang sepertinya terdiri atas tiga lantai. Halaman yang besar dan asri yang ditanami puluhan tanaman. Belum lagi deretan mobil yang terparkir rapi di parkiran. Bukan satu atau dua, tapi ada tujuh mobil. Aku tau deretan mobil itu bukanlah mobil sembarangan, sama dengan mobil Mas Arash.

"Yuk." Ajaknya saat mobil itu sudah berhenti tepat di depan rumah.

Bahkan ada pula orang yang bertugas memarkirkan mobil itu. Ini rumah apa hotel sih? Keluarganya memang bukanlah keluarga sembarangan.

Arash [END]Where stories live. Discover now