Apa?

799 55 42
                                    

"Aku tak tahu apapun tentangmu, aneh tidak, jika aku mencintaimu?"

***


Yaya menatap sekeliling rumah, terhitung sudah satu bulan dia tidak menginjakkan kaki di rumah ini. Suasananya masih sama dan ada beberapa hiasan baru di ruang tamu.

"Yaya, sekali lagi, papa minta maaf, ya. Papa janji akan buat kamu bahagia," ucap Bima.

"Eh, nggak apa-apa. Harusnya Yaya yang minta maaf karena ngerepotin papa. Dan, terimakasih, ya, Pa," balas Yaya.

Bima turut tersenyum, lega rasanya melihat anaknya kembali pulang ke dalam pelukannya. Yaya adalah prioritas.

Langkah kaki terdengar berat, dua orang menatap datar kedatangan Yaya. Ah ... Baginya anak itu memang merepotkan.

"Halo? Apa kabar?" Yaya tersenyum canggung dengan mama dan saudara tirinya.

"Baik."

"Kalo gitu, aku masuk kamar, ya, Pa," pamit Yaya. Setelah mendapat anggukan dari Bima, dia berjalan ke kamarnya.

"Lihat anak kamu, Mas, nggak ada sopan-sopannya sama aku. Main pergi aja," ketus Shelina.

Bima hanya menghela napas, kapan sih, Shelina bisa menerima adanya Yaya.

"Coba kamunya lembut sedikit sama dia. Jangan ketus. Ami juga, sama saudara harus rukun, papa sayang sama kalian," tegas Bima. Lelaki paruh baya itu pergi meninggalkan mereka berdua.

"Tuh, 'kan, papa jadinya bela Yaya terus. Kayak nggak sayang sama aku. Ma, gimana dong? Aku nggak suka kalo papa gitu," adu Ami. Gadis manja itu menyilangkan tangannya di depan dada.

"Kamu pikir mama akan suka kalo papa kamu gitu?" Shelina pun pergi meninggalkan Ami di ruang tamu sendiri.

"Yaya ... kenapa sih, ada manusia kayak Lo? Udah ngerebut papa, terus BoBoiBoy juga. Gue benciii banget sama Lo," umpat Ami.

***

"Hah ... Sepi, ya?" ucap Gempa.

"Biasanya juga gini, Kak," balas Ice. Mereka tengah duduk di ruang keluarga. Ice yang bersantai, dan Gempa yang mengutak-atik laptopnya.

"Kenapa Yaya nggak tinggal di sini aja coba. Ngapain dia pulang," lanjut Gempa.

"Nikahin aja, biar bisa sama Lo, terus, Kak. Lagian ya, dia juga punya rumah kali," ketus Ice. Memangnya, mereka siapa sampai meminta Yaya untuk terus bersama.

"Biasa aja kali. Lo galau 'kan?" tebak Gempa. Wajah Ice semakin datar, menyebalkan.

"Nggak usah sok tau deh, mending lanjut aja kerjanya."

"Iya iya, dasar!"

"Bodo amat! Dah, ah, gue mau ke kamar," ucap Ice. Dia meninggalkan Gempa sendiri.

Gempa menatap Ice yang berjalan. Sebagai seorang kakak, Gempa tidak ingin Ice merasakan rasa sakit. Baginya, Ice harus selalu baik baik saja.

"Gue juga tau kok rasa sakit patah hati, gue pernah ngalamin apa yang Lo rasakan sekarang. Semoga bahagia, Ice."

***

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 05, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Hei, Boy!Where stories live. Discover now