Nabila 34 • Minggu yang Sibuk

3.9K 538 8
                                    

Yuk komen!
Biar aku tau ceritanya gimana 🤭

Selamat membaca

***

Minggu ini adalah minggu yang sibuk bagiku dan juga mahasiswa di kampus. Minggu-minggu UTS yang memaksa kami untuk setidaknya belajar dan sedikit mempelajari apa yang sudah didapat selama tujuh minggu perkuliahan. Meski tidak terlalu ambis terhadap nilai, at least aku tetap menyempatkan diri untuk belajar agar tidak terlalu kebingungan ketika mengerjakan soal. Kalo bahasa Renanya sih, belajar itu tetep ada urgensinya tersendiri. Karena ngarang cantik pun perlu dasar dan nggak bisa dilakuin sembarangan.

"What? Lo beneran nglakuin hal semacam itu?" Tanya Rena tidak percaya pada kalimat singkat yang aku ucapkan barusan. Aku mengangkat bahu acuh, tak menggubris kalimat retorisnya yang tidak membutuhkan jawaban. Orang gila mana yang akan mencontek saat diawasi oleh dosen yang ke-kiler-rannya sudah melegenda seantero zaman? Setidaknya aku masih waras meskipun hidup seringkali membuatku tidak merasa demikian.

Gocar pesanan kami akhirnya tiba dan berhenti tepat di depan gerbang fakultas. Aku dan Rena segera menghentikan obrolan ngalor ngidul kami dan bergegas masuk dan meluncur pulang, tentunya karena ingin segera melepas penat setelah seharian memanaskan otak dengan mengerjakan UTS yang soalnya sungguhan membuatku ingin menggeleng-gelengkan kepala.

"Jadi gimana?" tiba-tiba Rena mempertanyakan hal random yang tidak kupahami maksudnya.

"Soal apa?" jawabku sembari membenarkan letak totebag yang tadi aku letakkan di samping tubuh.

"Perasaan lo ke Mas Gilang."

"Ya gitu-gitu aja." Aku tidak akan mengelak jika aku sedang berusaha untuk tidak mengakui bahwa dia, Mas Gilang punya tempat yang istimewa di hatiku. Meskipun aku ragu dan mulai mempertanyakan keseriuasannya, aku tidak bisa menampik fakta bahwa setiap perkataan manis yang keluar dari bibirnya selalu memiliki efek yang luar biasa.

Awal-awal dia memperlakukanku mungkin memang terasa cringe. Tapi lambat laun, justru membuatku bisa berguling-guling di kasur dan tidak bisa tidur.

"Bukannya gini-gini aja, Na. Tapi lo nya aja yang ngak mau kemana-mana."

Aku tertawa pelan. Dengan sangat sadar mengakui bahwa yang Rena katakan barusan memang benar adanya. "Hm-mm," Aku menggumam panjang.

"Just stop expecting from someone then, Na."

"Expectations come naturally, Ren. Dan ya, gue nggak bisa denial buat berhenti nggak berekspektasi terhadap seseorang selagi punya harapan dan tujuan tertentu." Jelasku menyanggah perkataannya barusan.

"Iya bener, gue juga setuju soal yang lo katakan barusan. Cuma mungkin yang perlu lo perhatiin lagi, jangan terlalu membabibutakan ekspektasi aja, Na." Rena mengambil napas panjang,

"Jangan biarin ekspektasi itu bikin lo underpreasure. Padahal sebenarnya itu kita bisa atur. Tinggal lo sesuain aja sama realita dan gimana cara kita buat memenuhinya. And the last, kalo pada akhirnya ekspektasi yang kita tetapkan ternyata nggak sejalan sama yang kita prediksikan, ya kita tinggal legowo aja kalo bahasa jawanya mah." Rena memberikan petuah-petuahnya yang dengan berat hati harus aku akui kebenarannya.

Aku tau pasti apa yang dikatakan Rena barusan memang benar. Hanya saja pengalaman hubunganku di masa lalu memang mau tidak mau harus aku akui memberikan pertimbangan dan ketakutan yang begitu besar. Apalagi dengan sifat Mas Gilang dulu, tentusaja itu sedikit mengkhawatirkanku.

Aku hanya mengangguk-angguk mendengarkan. "Bukannya lo yang sering bilang ya kalau manusia cuma bisa berencana? Tapi apapun hasilnya itu tetep Tuhan lah yang menentukan? Intinya lo cuma harus menerima kalo misalnya hati lo sendiri udah bilang oke buat Mas Gilang." Rena mengakhiri wejangannya dengan tepukan pelan di atas pahaku.

***

"You look beautiful." Nah, mungkin ini cuma bisa dilakukan oleh seorang Gilang saja. Bertemu dengannya dibalik pagar rumah, mana ada yang berani terang-terangan melempar flirting semacam ini? Aku baru mendegus saat lagi-lagi Mas Gilang kembali menimpali. "Jadi nggak disuruh masuk nih, Na?" Tanyanya sekal lagi, saat aku tak kunjung juga membiarkannya masuk.

"Opps, sori." Aku menggeser tubuhku bermaksud membiarkannya masuk.

Yang kulihat dari ekor mataku sekarang, Mas Gilang keliatan begitu mempesona seperti biasa dengan setelan kaos hitam yang dipadukan dengan celana dengan warna senada. Dan alasan itu juga yang barusan membuatku hilang fokus untuk bebera saat tentunya.

"Sini aja ya, Mas? Nggak ada orang soalnya di rumah." Pintaku saat aku meminta Mas Gilang untuk duduk di bangku yang tersedia di halaman depan. Hanya senyum dan anggukan kepala pria itu yang bisa kuamati saat aku mengarahkan kepadanya untuk duduk terlebih dulu.

"I told yu the truth, Na!" Lagi-lagi Mas Gilang berujar kepadaku.

Alisku menyatu heran, "Soal apa?"

"Soal yang tadi. Lo beneran keliatan cantik." Dan satu kalimatnya barusan mampu membuat pipiku merona seketika.

Kudengar Mas Gilang tertawa renyah di sebelahku, lalu ia larikan tangannya untuk mengacak sisi depan rambutku, yang efek sampignya tentu membuat ambyar perasaan.

"Jadi ada perlu apa kesini?" Tanyaku setelah berhasil untuk mengedalikan self controlku kembali.

"Mau ngajak keluar sebentar, bisa?"

"Kemana?"

"Nonton, maybe."

"Eh, belum ada tujuan maksudnya?"

Mas Gilang mengangguk membenarkan. "Tumben."

"Soalnya tiba-tiba kepikiran kepengen ngajak jalan aja. Kangen." Jawabnya dengan enteng.

Dan seolah sudah pasti terjadi, semuanya pasti akan berakhir seperti ini. Mengobrol ringan dengannya mampu membahayakan cara kerja organku sendiri.

Point OutHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin