Nabila 6 • Pasar Malam

7.5K 1.1K 25
                                    

Belakangan ini slogan 'local pride' banyak digaung-gaungkan oleh masyarakat. Apalagi semenjak viralnya pedagang dari negeri bambu yang digadang-gadang berpotensi mematikan UMKM itu. Netizen +62 mulai saling mengingatkan untuk cinta produk dalam negeri, dan semoga bentuk konkritnya juga mulai untuk dilakoni.

Menurut pendapatku, istilah smart consumer harus mulai diaplikasikan dalam tahap ini. Bukan hanya tentang selektif dalam barang-barang yang berkaitan dengan ekologi, tetapi juga mempertimbagkan dari daerah mana produsen itu berasal.

Aku pribadi masih cukup sulit untuk melakukan hal yang demikian. Golongan menengah dengan penghasilan bergantung dari uang saku bulanan jatah orangtua, aku akui memang harga adalah hal pertama yang aku lihat sebelum memutuskan membelinya. Alih-alih memikirkan siapa yang memproduksinya, tentu aku lebih memilih seberapa besar penghematan yang bisa aku lakukan dengan memilih produk tersebut. But the end of the situation, aku mulai berfikir tentang pentingnya menginterpretasikan 'lokal pride' yang sesungguhnya. Bukan hanya berkoar-koar di media sosial dan berlagak seperti orang paling suci yang sangat mencintai produk dalam negeri, tapi lebih berkompromi pada diri sendiri dan berusaha mengubah hal-hal sederhana yang sudah menjadi kebiasaan selama ini. Mulai memfilter daerah jika melakukan pencarian barang via online shop, atau bahkan tidak perlu gengsi untuk berbelanja produk lokal di pasar tradisional. Selagi ada, kenapa gak dicoba? Putusku pada akhirnya.

"Mbak," Kudengar suara Aldo memanggilku yang masih sibuk berselancar di dunia per-twitteran.

''Kenapa?" Jawabku tanpa menoleh padanya.

"Mau ikut nggak?" Aku langsung menoleh padanya yang memang sudah berada di ujung tangga.

Aldo sudah terlihat rapi dengan kaus pendek berwarna hitam dan bawahan jeans panjang.

Aku yang duduk di depan TV sedari tadi membalas, "Kemana?" Selepas solat maghrib bersama, orang-orang rumah memang pergi dan hanya menyisakan kami berdua.

"Pasar malam,"

"Sama siapa?" Tanyaku kembali.

"Reno."

"Berdua doang?"

"Mau ikut apa nggak, Mbak? Ish!"
"Kalo nggak gue tinggal nih." Aldo mungkin sudah sangat geram melihatku bertanya terus.

"Ya elah Do, Mbak kan cuma nanya." Aku tersenyum melihatnya yang mencebik kesal.

"Ya udah bentar, ganti baju dulu. Tungguin!" Aku meletakan ponselku ke atas meja, lalu bergegas berdiri dan menaiki tangga menuju kamar.


***

"Ngapain deh kalian berdua muter-muter mulu. Nggak ada yang mau dibeli emang?" Kesalku pada dua bocah ingusan ini.

Bagaimana tidak, rasanya sudah lebih dari sepuluh menit kita sampai di tempat pasar malam, tapi keduanya malah hanya keliling-keliling saja tanpa tujuan yang jelas.

"Gue bingung, Mbak," Jawab Reno.

Aku melirik ke arah Aldo, dan si bocah itu malah meringis dan mengatakan "Sama."

Aku menghembuskan napas lelah, "Ya udah. Mbak aja deh yang nentuin mau kemana-mananya. Gimana?" Kulihat kedua bocah itu mengangguk semangat.

***

"Kok kesini sih?" Protes Aldo saat aku menyeret mereka berdua menuju mas-mas tukang sosis bakar.

"Mbak laper tau, ya kali nggak beli makan dulu. Lagian tadi kalian udah oke-oke kan kalo mbak yang mimpin tempat tujuan?" Kulirik Aldo dan Reno hanya menampilkan wajah menyesal.

"Ya udah kalian yang nunggu ya, Mbak mau duduk disana dulu bentar," Lanjutku sambil menunjuk sebuah bangku yang tidak jauh dari si masa sosis bakar mangkal.

"Bentar doang astaga, kaki gue pegel banget," Buru-buru aku tambahkan sebelum Aldo dan Reno memprotes keputusanku.

"Ya udah Mbak, ati-ati. Jangan kemana-mana. Disitu aja! Bahaya udah malem," Teriaknya karena aku sudah mulai berjalan meninggalkan keduanya.

Aku mengangkat ibu jari kananku sebagai isyarat bahwa aku akan menuruti perkataannya barusan.

Meski masih SMA, Aldo akan berubah menjadi lelaki dewasa jika sedang keluar bersamaku. Entah apa yang diajarkan Mas Panca padanya, tapi semenjak dirinya mulai sering mengajakku keluar sikapnya tidak jauh berbeda dengan sikap Mas Panca padaku. Terkesan protektif dan sangat hati-hati. Alhasil, meski pada faktanya aku anak kedua, realitanya justru aku seperti menjadi adik kecil mereka berdua.

"Nih! Lima belas ribu ya, Mbak!" Ucap Aldo sembari mengangsurkan styrofoam yang berisi pesananku.

Aku memutarkan kedua bola mata, "Ini gue suruh ngganti beneran?" Tanyaku memastikan.

Aldo hanya mengangguk-angguk, lalu melirik styrofoam yang dipegangnya agar aku segera mengambilnya. "Ya Allah dek, pelit amat sama mbak sendiri."

"Ya Allah Mbak, lima belas ribu doang masa nggak mau bayar," Jawabnya begitu pintar.

Adikku ini memang sangat perhitungan denganku. Jika bukan karena dia baru mengalami hal baik dalam hidupnya, jarang sekali dia akan membelikanku sesuatu dengan cuma-cuma.

"Ya elah, Do. Masa timbang lima belas rebu doang elo nggak mau bayarin? Sini gue aja yang ngganti sosisnya Mbak Nana." Timbal Reno sambil mengeluarkan uang dari dalam dompetnya.

Kontan mataku langsung berbinar senang. Bagaimana tidak, setidaknya uang lima belas ribu ku akan tetap aman.

Aku bukan tipe orang yang malu-malu tapi mau. Makanya aku senang-senang saja jika Reno akan menggantikanku membayar ke adik laki-laki tidak tau diri ini. Lagian, dia juga sudah kuanggap seperti Aldo di kehidupanku.

"Ya udah, yuk naik kora-kora!" Ucapku setelah masalah perduitan itu selesai.

Belum juga kami beranjak dari situ, suara bariton seseorang menghentikan langkah kami.

"Aldo, Reno?" Reflek kami semua menoleh ke arah sumber suara

"Mas Gilang?" Beo keduanya.

Aku mengernyitkan dahi, karena merasa tidak asing dengan nama ini. Setelah beberapa saat, aku membekap mulutku karena terlalu kaget setelah mengingatnya, "Alamak, temennya Mas Panca yang kemarin. Mati lo, Na!" Batinku yang tidak kusuarakan

"Berdua doang?" Tanyanya setelah bertos ria dengan kedua bocil ini.

"Bertiga," Jawab Reno sambil melirik ke arahku.

Kulihat si Gilang-Gilang ini ikut melirik ke arahku. Tersenyum smirk, lalu mengalirkan alarm peringatan bahwa kebohongaku sepertinya akan segera terungkap.

"Nabila?" Ucapnya sambil memandangku, lalu memfokuskan kembali pandangannya ke Aldo dan Reno.

Astaga dragon, dia masih inget gue!

"Mas Gilang kenal sama Mbak Nana?" Kali ini Aldo yang merespon pertanyaannya.

Laki-laki berkaos hitam itu hanya mengangguk-angguk, "Jadi dia sudah sedekat itu sama keluarga lo?" Jawabnya entah dengan maksud apa

Aldo dan Reno hanya tertawa-tawa, mungkin karena tidak paham juga akan maksud pertanyaannya. "Lo lucu banget tau, Mas. Ya masa anak nggak deket sama keluarganya," Timpal Reno sambil memegang perutnya yang mungkin keram karena tertawa.

"Maksudnya?" Balasnya dengan suara agak merendah

"Mbak Nabila ini mbak kandung gue Mas, adiknya Mas Panca yang pertama," Jelas Aldo.

Oke. Di sini aku sudah benar-benar tidak berkutik.

"Kalian bersaudara?" Dan anggukan dari Aldo benar-benar membuat kebohonganku terkuak seketika.

Mama!!!!

Point OutWhere stories live. Discover now