Salah satu perspektif dalam psikologi sosial adalah perspektif interaksionis, dimana perspektif ini menyanggah perspektif sebelumnya yaitu perspektif struktural.
Jika dalam perspektif struktural menyatakan bahwa perilaku individu merupakan refleksi dari kebiasaan masyarakat, maka perspektif interaksionis mengatakan sebaliknya. Individu punya peranan untuk ikut andil dalam menentukan struktur itu, and for the example are influencer.
Belakangan ini muncul istilah baru bagi mereka yang punya kemampuan untuk meng-influence para follower-nya. Mulai dari selebgram bagi mereka yang famous di instagram, atau para youtuber yang memanfaatkan media platform youtube sebagai wadah konten-konten nya.
Aku pribadi tidak punya pandangan khusus terkait fenomena ini, but sometimes aku merasa bahwa mereka-mereka yang terkenal ini tidak memberikan pengaruh yang cukup baik bagi anak-anak yang belum cukup mampu untuk menyeleksi apa-apa yang diterimanya.
"Mbak, Na!" Aku menghentikan gerakan jariku di atas keyboard laptop.
Menoleh ke belakang untuk mengetahui siapa yang baru saja meneriakan namaku.
"Ya?" tanyaku pada Reno. Tetangga sebelah yang hampir setiap hari memang datang ke sini.
"Aldo, di rumah Mbak?" tanyanya lagi setelah berhasil memperoleh atensi ku.
Aldo adalah adik laki-laki ku satu-satunya, dan merupakan sahabat karib bocah yang kini berdiri tidak jauh dari tempatku. "Di kamar kayaknya. Langsung masuk aja gih, tumben banget nanya dulu." Reno meringis pelan mendengar jawabanku.
"Pengen nanya aja, Mbak. Abisnya lo serius banget gue liat-liat!" Jelasnya mengapa bertanya kepadaku.
Saking seringnya dia datang, aku kadang sampai lupa bahwa dia bukanlah penghuni tetap di rumah ini. "Dasar!" Aku mendengus mendengar alasannya barusan.
"Ya udah gue masuk dulu, Mbak! Thank you." Tukasnya sebelum bergegas masuk rumah untuk menemui teman baiknya.
***
Anyway, aku belum menjelaskan diriku sendiri. Sedikit personal info, namaku Nabila, Nabila Sesa Putri. Dan ya, orang-orang rumah biasa memanggilku Mbak Na, atau kadang-kadang juga Mbak Nana.
Aku seorang mahasiswi semester lima di salah satu kampus ternama di daerah Yogyakarta. Kota pelajar sekaligus kota budaya yang memang adalah kampung halamanku sendiri.
Ngomong-ngomong soal kegiatanku barusan, aku memang sedang membuat artikel opini tentang pengaruh influencer di kalangan masyarakat. Dan kedatangan bocah samping rumah itu benar-benar membuatku tersadar jika sudah hampir sejaman ini aku duduk di kursi depan rumah hanya untuk mengerjakan tugas.
Merasa sedikit suntuk, aku bergegas menyimpan tugas yang baru setengah aku kerjakan. Mematikan laptop dan memasukkannya ke dalam ransel berwarna hitam hadiah dari Mas Panca di ulang tahunku tahun lalu.
Bangkit dari kursi, lalu merapikan sedikit penampilan melalui kaca jendela yang ada di depan rumah. "Mah, Mbak mau ke janji jiwa depan dulu ya, sebentar!" Teriakku dari halaman supaya tidak perlu repot-repot menemui Mama yang sedang asik berkutat di dapur.
Bukannya tidak sopan, tapi jika aku datang langsung pasti akan berbuntut panjang. Ada saja hal yang harus dilakukan terlebih dulu sehingga keinginanku nongki aka nongkrong asyik pasti akan tertunda.
"Jangan sore-sore baliknya." Teriak Mama tak kalah kerasnya.
"Siap," Jawabku sambil menguncir rambut dengan model ponytail.
Mengambil tas yang sudah tertata apik diatas meja, menyampirkannya ke sisi bahu kiri, lalu berjalan menuju garasi dan mengambil sepeda untuk alat transportasi menuju janji jiwa.
Jarak rumahku dengan janji jiwa tidaklah jauh. Sekitar lima belas menit perjalanan jika berjalan kaki, atau lima menit dengan menggunakan sepeda.
Kulirik jam tangan di pergelangan tangan kiriku. 15.08, semoga janji jiwa nggak seramai biasanya- batinku sambil terus mengayuh sepeda.
***
"Halo, Na?" sapa Mas Bram tepat setelah aku mengatakan pilihan minumanku.
Bisa dikatakan aku adalah pengunjung setia janji jiwa semenjak bangunan ini berdiri. And the statement also explain why he looks like so friendly with me.
"Thanks, Mas." Ucapan terimakasihku saat menerima minuman darinya.
"Duluan ya, mau nyantai dulu di depan." Lanjutku sembari tersenyum sopan padanya.
Aku tau kebiasaan ku minum kopi ini tidak lah baik. Apalagi aku sudah merasa di tahap adiktif yang membuatku benar-benar harus mulai menguranginya.
"Enjoy your time, Na." Mas Bram mengangguk-angguk paham, karena memang seperti itulah skema kegiatanku jika datang.
Pesan, membayar, dan duduk manis di kursi pojok depan selama berjam-jam.
Aku membuka resleting tasku, mengeluarkan isinya dan mulai kembali fokus untuk mengerjakan tugas yang baru setengahnya ku selesaikan.
Otakku sudah bisa diajak berpikir kembali, dan kegiatan menulis pun bisa aku lakukan dengan baik.
Mengabaikan keadaan di sekitar, tidak ada yang ku perhatikan lagi selain layar laptop dihadapan. Satu-satunya kegiatan yang berhasil menginterupsi hanyalah sesekali menyeruput minuman diatas meja ini menggunakan sedotan.
"Hai," Tiba-tiba aku mendengar sapaan seseorang yang kurasa mungkin berada tepat di seberang ku.
Aku mendongak untuk memastikan, lalu mengernyitkan dahi heran karena tidak merasa kenal dengan sosok lelaki di depan ini.
Apa temen gue, ya?
Satu kalimat dalam otakku yang barusaja berhasil aku pikirkan.Pasalnya aku ini memang hobi untuk melupakan orang. Jadilah begini, seringkali menemukan orang yang sebenarnya aku tidak merasa mengenalnya, namun ternyata orang tersebut adalah temanku di sekitar komplek rumah atau yang lebih parah adalah teman sekolah.
Poor you, Na!
"Gilang," Ucapnya sembari mengulurkan tangannya mengajak salaman denganku.
What what?
Aku benar-benar heran dengan apa yang dilakukannya itu.
Apa dia sedang berusaha mengingatkanku tentang siapa dia sebenarnya?
Pikirku yang termanifestasi kan menjadi senyum yang pasti terlihat aneh.Alisku mungkin kini sudah menyatu, karena sedang mengingat-ingat apakah sosok tampan di depan ini sungguhan adalah salah satu teman lamaku.
"Nabila," Aku akhirnya menerima uluran tangannya karena dia (mungkin) sudah cukup pegal menunggu respon dari ku.
Lagian aku juga tidak berhasil untuk mengingat identitasnya, so i decided to act like stranger with him.
"Gue numpang duduk disini ya, yang lain penuh." Ucapnya setelah melepaskan tautan tangan kami.
Oooo, bukan teman ternyata!
Aku mengangguk. Lalu mengedarkan pandangan ke kursi di sekitar. Dan benar saja, memang semua terisi penuh oleh orang-orang yang sedang asik mengobrol.
Mataku lalu melirik ke arah dalam, hanya ada satu orang. Tapi mungkin memang laki-laki berkaus marun ini ingin duduk di luar. "Silahkan," Respon ku pada akhirnya.
Tanpa menghiraukan keberadaannya, aku kembali melanjutkan mengerjakan tugas. Membiarkan laki-laki yang duduk satu meja denganku ini fokus terhadap ponselnya.
Tidak perlu membangun obrolan dengan orang baru, prinsip hidupku yang sudah masuk di dalam top list untuk segera dilakukan perubahan.
Gimana part duanya?
Jadi cerita ini sebelumnya udah selesai dengan judul Kakak Tingkat.
Tapi karena satu dan lain hal, akhirnya aku unpublish dan ganti judul juga wkwk
Mohon maaf untuk semua yang lagi proses membaca 🙏
YOU ARE READING
Point Out
ChickLit"Kalo gue nggak salah inget, lo udah ada cewek kan pas pertama kali kita ketemu?" "Baru putus kemaren, " Jelasnya tanpa ku minta "Wow. lancar banget ya ngomongnya." Lagi-lagi aku berdecak kagum mendengar ucapannya. Dia benar-benar manusia langka ya...