Nabila 26 • Kesel!

4.1K 648 7
                                    

"Gimana Na acara temu kangennya?" Tanya Mas Panca yang tentunya aku acuhkan.

Bibirku mengerucut kesal. Lalu melengos dan melangkah naik sambil mengehentak-hentakkan kaki sebagai tanda jika aku sangat kesal dengannya.

Bagaimana bisa ketika aku membuka pintu tadi, Mas Panca malah sedang asik duduk sambil bermain ps di ruang tamu, dan dengan sengaja malah meninggalkanku bersama Mas Leo tanpa ponsel dan uang sepeserpun.

Benar-benar kakak jahanam!

"Ayo Na spill dikit lah," Mas Panca mengikutiku naik tangga untuk menuju kamar.

Kamar Mas Panca, aku, dan Aldo memang sama-sama di lantai atas. Kamarku bersebelahan dengan kamar Mas Panca, dan berhadapan dengan kamar Aldo.

Aku menghentikan langkah. Mas Panca sedari tadi masih dibelakangku dan terus berbicara hingga membuatku ingin benar-benar menyumpal mulutnya. "Sumpah ya Mas, gue benci banget sama lo!" Kataku setelah berbalik badan dan menghadapnya.

Kulihat Mas Panca mengerjabkan matanya kaget. Mungkin merasa tidak siap dengan gerakanku barusan.

"Nggak mau tau Mas Panca mesti kasih duit gue 200 rebu buat biaya ganti rugi." Lanjutku sambil berkacak pinggang.

Jika dipikir-pikir itu masih terhitung murah sebagai ganti rugi. Dengan Mas Panca yang dengan sengaja meninggalkanku berdua bersama Mas Leo, lalu membuatku harus memutar otak untuk mengatasi kecanggungan diantara kami ketika harus menunggunya yang justru memilih pulang, hingga harus melawan rasa tidak enak karena terpaksa menerima ajakan pulang barengnya karena tas yang berisi peralatan ku yang dibawa Mas Panca dengan sengaja.

"Kok banyak amat, Na? Kan kita cuman gagal nonton. Gocap dong harusnya.... " Mas Panca memprotes biaya ganti rugi yang aku ajukan.

Lagi-lagi aku mendengus kesal. "Satu. Mas Panca sengaja bawa tas gue biar gue nggak ada pilihan lain buat ngikutin Mas ketemu sama Mas Leo. Dua. Mas Panca sengaja ninggalin kita berdua dengan modus beli minum, dan malah pulang ke rumah ninggalin gue. Tiga. Mas Panca tega ngebiarin gue berinteraksi berdua doang sama Mas Leo." Aku menarik napas pelan sebelum melanjutkan, "Dan terakhir, Mas Panca nggak jadi traktir nonton karena alasan-alasan sebelumnya. Jadi kalo tiap kesalahan bayar ganti ruginya cepek, semuanya  jadi 400 rebu. Cuman karena gue baik, Mas Panca gue kasih diskon 50%."

Mas Panca memutar bola matanya malas mendengar penjelasanku. Dan sebelum omongan-omongan pembelaan yang akan keluar dari mulutnya itu, tentunya aku sudah harus bersiap lebih dulu.

"Terserah Mas Panca mau bayar atau nggak. Tapi sebelum duit dua ratus rebu nyampe ditangan gue, jangan harap Mas Panca bisa ngajak gue bicara." Lanjutku lalu berbalik dan kembali menaiki dua tangga terakhir untuk menuju kamar. Meninggalkan Mas Panca yang masih terdiam setelah mencerna penjelasan ku barusan.

***

"Pa, ma, Aldo mau naik ya weekend ini!" Aldo bersuara di tengah-tengah keheningan sarapan bersama pagi ini.

Kulirik mama langsung meletakkan sendoknya. Sedang papa masih terlihat santai seperti biasa. Mas Panca? Dia masih tidur dan tidak ikut sarapan karena jam kuliahnya masuk siang.

"Kan bulan lalu udah Dek," Ucap mama yang pasti akan mengeluarkan argumen-argumen tidak setujunya.

Aku bahkan sudah hapal betul jika Aldo akan naik, maka mama akan uring-uringan tidak jelas dari hari pertama Aldo izin hingga nantinya Aldo pulang dari acara mendakinya itu.

Lihat saja, paling sebentar lagi akan terjadi perdebatan antara Aldo dan mama, lalu jika sudah memanas maka papa akan muncul dan menjadi penengah bagi mereka berdua.

"Kan bulan ini ada tanggal merah di hari senen sama selasa mah, jadi anak-anak pada ngajakin ndaki buat ngisi liburan. Lagian Aldo nggak bolos kok buat yang kali ini," Aldo mengeluarkan argumen pendukung agar mendapatkan restu dari ibunda tercinta.

Aku hanya diam, karena sesungguhnya memang seperti itu yang biasa aku lakukan. Menjadi pendengar baik dari perdebatan yang dilakukan di meja makan.

"Tapi kan kemaren udah, Do. Masa sekarang naik lagi. Mama nggak setuju pokoknya!" Jawab mama sambil mendorong piringnya. It means that Ibu Maya, which is perempuan paling berkuasa di rumah kami sudah kehilangan nafsu makannya.

Kulihat papa masih saja bersikap santai. Bahkan masih menikmati secangkir teh hijau yang masih mengepulkan asapnya. Aku juga masih melanjutkan makanku dengan biasa, seolah memang hal ini sudah biasa terjadi.

"Tapi ma... Kali ini Aldo pengen banget ikut." Aldo mulai untuk melancarkan pendekatan andalannya, memasang tampang menyedihkan agar Bu Maya merasa melas dan akhirnya menyetujui keinginannya.

"Sama siapa aja emang?" Tiba-tiba papa bersuara diantara ketegangan anak dan ibu ini.

"Aku, Reno, dan kawan-kawan yang biasa naik, pah. Tapi katanya Mas Panca sama temen-temennya juga mau join kemaren," Penjelasan Aldo mulai menarik perhatianku.

Entahlah, feelingku mengatakan akan ada informasi yang cukup penting setelah ini.

"Temen-temen kampusnya?" Tiba-tiba lisanku sudah menyuarakan apa yang aku pikirkan.

"Ha? Kenapa, Mbak?" Aldo beralih menatap ke arahku, yang diikuti oleh papa dan mama setelahnya.

Aku berdeham pelan untuk menetralkan jantung yang mulai berdetak dengan tempo yang lumayan cepat. "Mas Panca sama temen-temennya yang mau naik itu, maksudnya temen-temen kuliah?" Kuatur nada suaraku agar tidak terdengar begitu penasaran.

Entah apa yang dipikirkan orang-orang yang ada di meja ini. Karena tepat setelah aku melontarkan pertanyaan barusan, ketiga orang di sini malah tersenyum mencurigakan. "Mbak pengen tau ya Mas Gilang ikut apa nggak?" Penyataan Aldo sungguhan mampu membuatku mati gaya seketika.

Point OutWhere stories live. Discover now