Nabila 11 • Ex-boyfrend

6.1K 937 15
                                    

"Sendirian aja, Na?" Reflek aku mendongak untuk melihat siapa yang menyapauku di depan indomaret ini.

Mataku membola sempurna, "Al?" Gumamku setelah melihatnya.

"Hmmm... H-hai," Ucapnya sembari menggaruk tengkuk belakangangnya, sebuah gestur yang dulu ku tahu sering dia lakukan ketika sedang merasa grogi.

"Oh, hai juga," Jawabku sambil menetralkan detak jantung.

I never expected to see him again since that incident. He was my first love, and at the same time he is also the most beautiful ex for me, at least until now.

Namanya Al, Alfian tepatnya. Pemuda tampan dengan dimple yang pernah menemani hari-hariku selama dua tahun masa abu-abu.

"Boleh duduk?" Tanyanya setelah hanya kesunyian yang berada diantara kami.

"Sure," Jawabku sambil membereskan sampah-sampah yang sudah kuhasilkan untuk aku buang ke tempatnya. "Tapi sori banget, gue harus balik."

Tidak tau mengapa perasaanku mendadak menjadi sesak, padahal selama ini aku sudah merasa kalau aku sudah berhasil move on darinya. "Please, Na. Gue mau ngobrol sebentar," Mohon nya dengan ekspresi wajah yang putus asa.

Oke. Biar aku jelaskan kenapa aku bertindak demikian. Aku adalah tipe orang yang cukup bisa dikatakan berkompromi dalam setiap relationship yang sedang aku jalani. Apapun kesalahan mereka, aku akan berusaha mendengarkan penjelasan dan mencoba memahami dengan melihat dari persepektifnya. Sayangnya, untuk kasus pengkhianatan sekecil apapun, aku tidak bisa mentolelirnya sama sekali. Dan kebetulan sekali, cowok di depanku ini melakukan dosa itu saat masih bersama denganku.

By the way, pengkhianatan dari sudut pandang ku bukanlah sebuah kesalahan yang bisa dimaafkan, apapun alasannya itu. Pengkhianatan adalah sebuah dosa besar yang menjadi tolak ukur sebuah hubungan. Jika satu diantara orang saling berkomitmen sudah berkhianat, maka the relationship never be the end dengan kebahagiaan.

"Nggak ada yang perlu di bicarain lagi, Al." Aku memalingkan pandangan kemanapun asal tidak memandangnya.

"Na, please," Mohonnya dengan suara merendah.

Aku menghembuskan napas lelah, diam-diam menyesali kenapa tadi tidak langsung pulang saja dan malah duduk-duduk di depan indomaret.

Entah kenapa aku bisa lupa jika rumah neneknya Al berada tidak jauh dari tempat ini. "Lima menit. Gue kasih nggak lebih dari lima menit buat elo ngomongin apa-apa yang mau lo omongin."

Sangking niatnya, aku bahkan mengambil ponsel yang masih tergeletak tak berdaya diatas meja, lalu membuka kuncinya dan memasang alarm untuk lima menit mendatang

"Maaf. Gue minta maaf banget buat yang dulu," Sosoknya mengawali pembicaraan dengan permintaan maaf.

Aku hanya diam, tidak merespon apapun yang dikatakannya barusan. "Gue tahu gue brengsek, jahat, dan mungkin enggak pantes buat dimaafin. Tapi please, tolong maafin gue, Na." Lanjutnya dengan nada putus asa.

Lagi-lagi aku menghembuskan napas lelah. Kami memang tidak berpisah secara baik-baik di waktu itu. Aku memutuskannya sepihak tepat di anniversary kedua kami karena memergoki sosoknya tengah selingkuh bersama teman di bandnya.

Alfian dulunya seorang drummer band sekolah, dan selingkuhannya itu adalah vokalis dari bandnya tesebut. "Gue nggak tau bisa maafin elo apa nggak, Al. Lo tau banget kan gue orangnya kayak gimana? Bahkan sedari awal kita mencoba sebuah hubungan, gue udah ngewanti-wanti elo buat jangan pernah untuk selingkuh."

"Gue bahkan ngomong dengan jelas kalau misalnya elo udah ngerasa bosen sama gue, atau udah nemuin orang lain yang lebih cocok, ngomong langsung ke gue. Gue dengan pasti bakal mundur dan nggak akan nyalahin elo, karena bisa aja itu emang kesalahan dari sisi gue. Tapi dari sikap elo yang justru diam-diam selingkuh dibelakang itu, gue nggak tau bakal bisa maafin elo atau engga."

"Tapi akan gue coba, meski gue sendiri juga nggak tau akan butuh waktu seberapa lama," Aku bersyukur karena bisa mengendalikan emosiku saat membicarakan luka lama itu. Dan lebih bersyukur lagi karena tidak ada air mata yang jatuh saat lagi-lagi harus berhadapan dengan lelaki keturunan Jawa-Sunda di depanku ini.

Kulihat Al tersenyum samar, meki wajah bersalah masih enggan untuk dirubahnya. Belum juga dia mengungkapkan apa yang ingin dikatakannya, alarm di HP ku berdering dengan suara kerasanya. "Sori, waktu lo udah selese. Thanks udah mau minta maaf, dan gue janji bakal berusaha udah maafin elo kalo seandainya Tuhan mempertemukan kita kembali. See you latter," Ucapku sambil beranjak dari kursi, lalu berjalan menjauh dari indomaret tanpa menoleh sedikit pun padanya.

Point OutWhere stories live. Discover now