Dua puluh lima menit berlalu, Arinta sudah bersiap dengan penampilannya. Hingga kini mereka berdua menaiki taksi yang sebelumnya sudah dipesan Sherin. Dalam perjalanan Sherin tak henti-hentinya bersenandung riang, menyanyikan sebuah lagu yang akan ia bawakan bersama Gibran nanti.

Suara merdunya, membuat sopir taksi memujinya. Sherin tersenyum kikuk, sementara Arinta duduk terdiam memandang jalanan dari kaca.

Tiba-tiba taksi itu berhenti, setelah di cek ternyata ban mobil belakang bocor.

"Aduh, maaf ya, Neng. Ban yang belakang bocor," ujar pak Sopir.

"Tidak apa-apa, Pak. Oh, ya, ini uangnya." Sherin menyerahkan 2 lembar uang berwarna biru dan hijau pada sopir itu. Namun, pak sopir sempat menolaknya dengan alasan belum sampai tujuan.

"Sudah, Pak. Buat keluarga bapak saja. Kalau begitu kita berdua pergi dulu, ya, Pak."

"Iya, Neng. Terima kasih, ya."

Sherin mengangguk, lantas menggandeng Arinta untuk berjalan di pinggir jalan. Berharap ada angkutan yang lewat. Jarak sekolah sudah tak jauh lagi, tetapi tak bisa dibilang dekat dengan hanya berjalan kaki. Apalagi pagi ini matahari cukup terik.

Suara deru motor berhenti tepat di sebelah Sherin, membuat ia dengan spontan menoleh ke arahnya. Orang dengan dress code sama seperti dirinya dan Arinta—atasan putih dan bawahan navy itu membuka helm fullface-nya.

Wajah orang itu mulai terlihat dan betapa terkejutnya Sherin saat mengetahui dia adalah kakak kelasnya. Reyhan.

"Kak Rey ngapain berhenti di sini? Ngagetin aku aja tadi," dumel Sherin.

"Panggil gue Rey!" perintah Reyhan tegas.

"Iya, deh, Rey."

"Nah good. Berhubung hari ini gue sedang berbaik hati, mau nebeng nggak?" tawar Reyhan, tetapi Sherin justru menolaknya.

"Aku di sini sama teman aku, Rey. Namanya Arinta. Mana bisa aku tinggalin dia."

Reyhan meneliti penampilan Arinta dari atas sampai bawah. "Lo bisa jalan sendiri 'kan?" tanyanya pada Arinta.

Bukan Arinta yang menjawab, justru Sherin. "Mana bisa gitu, udah kamu duluan aja, Rey."

Melihat tatapan tajam Reyhan, membuat Arinta seakan tahu maksudnya. "Udah, Rin. Lo bareng dia, gue jalan sendiri aja. Lagian lo mesti siap-siap dulu kan buat tampil?" tanya Arinta.

"Iya, sih, tapi masa iya aku tinggal kamu sendirian di sini?"

"Buruan! Jadi nebeng nggak lo, kalau nggak gue pergi nih," sergah Reyhan sambil membunyikan klakson motornya.

"Udah sana, Rin."

"Beneran nggak papa aku tinggal, Ta?"

Arinta tersenyum lantas mengangguk. Setelahnya Sherin naik ke motor Reyhan, ia memegang tas berwarna hijau army sebagai pegangan. Tak lama kemudian, motor itu mulai berjalan dengan kecepatan tinggi.

Sherin yang kaget, spontan memeluk Reyhan. Ia merasa menyesal dibonceng oleh kakak kelasnya yang ugal-ugalan itu. Begitu memasuki area sekolah, ia menghembuskan napasnya lega. Lain kali ia tidak akan menerima tawaran seperti tadi.

"Rey! Bisa pelan nggak sih tadi!" bentak Sherin saat sudah turun dari motor Reyhan.

"Baru juga segitu." Reyhan terlihat menata rambut yang sedikit berantakan dengan tangannya.

"Pelan dari mana! Nyesel aku bareng sama kamu. Tahu gitu mending aku jalan sama Arinta," dumel Sherin.

Seketika Sherin tersadar sesuatu, ia melihat di sekelilingnya banyak sekali tatapan-tatapan yang ditujukan padanya. Karena sadar telah menjadi pusat perhatian, ia segera berlari menuju kelasnya. Sampai-sampai tak sadar jika Gibran memanggilnya.

"Sherina!" teriak Gibran sambil mengejar adik kelasnya yang tengah berlari itu.

Mendengar teriakan itu, Sherin berhenti dan berbalik badan. Ia melihat Gibran di belakangnya yang tengah berlari.

"Kak Gibran ngapain lari-larian gitu? Hayo ngejar aku, ya?" goda Sherin. Ia mengedipkan sebelah matanya.

"Kenapa saya panggil Anda tidak menjawab? Apa harus menunggu saya teriak, baru Anda respon?"

"Cie-cie, ngarepin direspon nih sama aku? Sudah mulai suka, ya, sama aku? Tenang saja, Kak. Kapanpun dan di manapun, aku bakalan kasih respon terus kok sa—"

Tiba-tiba Gibran melakukan gerakan yang membuat Sherin terpaku. Di mana saat jari telunjuk Gibran menyentuh bibirnya. Sungguh, walau itu hanya terjadi beberapa detik saja. Sherin berasa terbang tinggi ke angkasa.

"Saya mau memberi ini kepada Anda." Gibran menyerahkan paper bag berwarna hitam pada Sherin.

Ternyata begitu membukanya, nampak sebuah dress hitam yang tidak terlalu terbuka itu.

"Buat apa ini, Kak?" tanya Sherin.

"Pakai itu saat kita tampil nanti."

"Lah, bukannya kemarin Kak Gibran minta aku bawa dress sendiri warna cokelat dari rumah? Ini aku sudah bawa lho di tas."

"Tidak jadi. Pakai itu saja, permisi! Saya masih banyak urusan yang lain."

"Eh, Kak tunggu!" Sherin menahan tangan Gibran yang hendak pergi.

Gibran berbalik badan sambil menaikkan sebelah alisnya. "Ada apa?"

"Cuma mau bilang makasih sama Kak Gibran. Soalnya dress-nya bagus banget." Kedua mata Sherin berbinar-binar.

"Sama-sama."

Sherin tersenyum bahagia, ia memeluk dress pemberian dari Gibran.

Detik berganti, menit berganti dan jam pun tak mau kalah. Acara pembukaan HUT telah selesai, kini tiba waktunya untuk sambutan dari semua pihak yang berkaitan dengan berlangsungnya acara ini. Termasuk Gibran yang ikut memberikan sambutan, walau terkesan singkat. Selesai sambutan, kini tiba waktunya untuk setiap kelas yang ingin menampilkan pensinya di atas panggung.

Acara HUT sekolah ini, akan berlangsung hingga malam nanti. Sherin dan Gibran kebagian tampil terakhir, tepat sebelum acara doa dan penutup. Mungkin sekitar pukul delapan malam, jika sesuai dengan jadwal.

Selama beberapa kelas tampil, Sherin duduk di sebelah Arinta. Mereka berdua berbincang-bincang bersama, hingga Gibran tiba-tiba memanggil salah satu dari mereka.

.
.


Jangan lupa Vote dan Coment ya 😍

Sekian dan Terima Kasih.

Sampai ketemu di BAB 24.

✎﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏

Salam sayang
Azka.





Formal Boy (END) Where stories live. Discover now