Bab 14

18 8 4
                                    

Kembali memulai meski cerita terdahulu belum usai.

___

Entah kenapa, nasib selalu buruk ketika malam hari ia selalu nongkrong di Wargan. Salah satunya hari ini, ia kembali terlambat gara-gara keasyikan main di Wargan. Padahal ia sudah memasang alarm banyak, namun kenapa suaranya tidak ada yang masuk kedalam gendang telinga Ilham.

"Lagi-lagi, kenapa harus kesiangan," monolog Ilham. Pasalnya ia sudah terlambat tiga puluh menit, mana dijalanan macet yang pasti ia akan telat satu jam. Ilham tidak henti – hentinya berdecak kesal dan melihat jam yang ada ditangannya. Ia sangat resah sekarang, antara ingin kabur atau terus terobos.

"Mampus. Bolos aja kali ya?" ucap Ilham serta mengendarakan motornya dengan sedang. Ilham memberhentikan motornya cukup jauh dari gerbang sekolah. Ia menatap gerbang sekolah yang tertutup rapat, ia berfikir sejenak untuk lanjut apa kabur.

"Hei! Anda tidak bisa bolos sekarang," ujar seseorang yang menghadang motor Ilham yang sedang ingin putar balik. Ilham yang semula fokus ke motornya, kini menatap seseorang yang menghalanginya. "Hai, bertemu lagi kita," ujar Desi dengan senang.

Ilham menghela napasnya panjang, kala menyadari siapa sosok yang berada dihadapannya ini. "Please. Lolosin aja gue ya," pinta Ilham pada Desi yang sudah senyum – senyum ditempat. Dengan ringannya Desi menggelengkan kepalanya tanda tidak mau. "Please Des, nanti gue kasih lima puisi deh," mohon Ilham serta mengatupkan tangannya. Namun Desi tetap dalam pendiriannya.

"Hayu maju," ujar Desi dengan tatapan tajamnya yang membuat Ilham seketika bergidik ngeri. "Malah bengong. Maju," ujar Desi lagi. Tanpa protes apapun, Ilham pun melajukan motornya pelan ke arah gerbang. "Tadi niat kabur buat ngindarin Lusi ya?" tebak Desi. Ilham menoleh pada Desi yang berjalan disampingnya. "Sok tahu lo," ujar Ilham serta diakhiri kekehan. Desi mengerucutkan bibirnya. "Kan siapa tahu, lo itu sakit hati karena diPHP-in sama Lusi," balas Desi.

"Keliatan banget ya gue sukanya," ujar Ilham serta menatap seseorang yang sedang menunduk mencatat di depan sana. Desi hanya tersenyum menanggapi ucapan Ilham itu. Senyuman jika dilihat – lihat seperti senyuman lara.

"LUSI! KATA SI ILHAM DIA SUKA!" teriak Desi pada arah gerbang yang membuat semuanya berbalik kebelakang.

"Kampret Desi, malu gue," ujar Ilham serta menundukan kepalanya dan berjalan cepat ke arah gerbang dan meninggalkan Desi yang terkekeh geli. "Cowok kok enggak gentle" ujar Desi sedikit teriak dan dihadiasi jari tengah oleh Ilham.

"Hai!" sapa Ilham serta menampilkan senyum khasnya dan Lusi membalas senyuman Ilham. Senyuman yang membuat desiran aneh dalam tubuh Ilham bergejolak.

"Telat lagi, hm?" ujar Lusi serta menuliskan nama Ilham dibuku dalam genggamannya. Ilham hanya menyengir serta menggaruk tekuknya. "Sok masuk, parkirin motor dulu, terus balik sini. Gabung sama yang lain," sambung Lusi serta menunjuk beberapa orang yang telat dengan dagunya. Tanpa bicara Ilham pun melakukan apa yang Lusi katakan.

Setelah beberapa menit, Ilham pun kembali ke area gerbang dan berbaris seperti apa yang orang lain lakukan. Di depan sana, Lusi sedang bercengkrama dengan salah satu teman OSISnya, entah apa yang mereka bicarakan sehingga Lusi terlihat senyum malu-malu.

Ketika satu jam berdiri di area gerbang, Lusi pun memerintahkan kepada semua yang telat untuk berbaris dilapangan. Tidak ada bantahan mereka menurutinya. "Hormat pada bendera hingga bel istirahat pertama bunyi," ujar Lusi dan diangguki oleh semuanya. Lusi pun beranjak dan duduk dipinggir lapangan serta memantau para mereka, orang yang telat.

Gerak-gerik Lusi tak luput dari penglihatan seorang Ilham. Ia terus menatap Lusi tanpa henti. Entah kenapa ada rasa nyaman kala melihat wajah Lusi, terutama senyumannya.

"Woy. Bengong wae. Kesurupan mampus lo," ujar salah satu teman Ilham yang sama-sama telat. "Dari tadi liatin Lusi mulu. Suka ya?" sambungnya dengan senyuman jahil. Ilham terkekeh ringan. "Emang kelihatan banget ya?" tanya Ilham balik.

"Enggak juga sih. Tapi kalau diperhatiin, mata lo kayak gimana gitu mandang si Lusi," ujar teman Ilham itu. Ilham hanya tersenyum lebar serta kembali memandang Lusi yang senantiasa memantau mereka.

Terlalu terbuai oleh wujud Lusi, tak terasa bel istirahat telah berkumandang, menyadarkan Ilham dari lamunan yang membuatnya terbuai. "Wargan gak nih," ajak teman Ilham. Kepala Ilham menggeleng. "Yaudah, gue duluan," pamitnya serta berlari ke arah belakang sekolah.

Dengan keberanian yang sudah ia kumpulkan sejak malam hari, Ilham pun berjalan menghampiri Lusi yang sedang berkutat dengan bukunya. "Enggak ke kantin?" tanya Ilham serta duduk di sebelah Lusi.

Lusi menoleh ke arah Ilham dan tersenyum. "Nanti, nanggung ini," ucapnya serta menunjuk buku yang ada dihadapannya. Ilham menganggukan kepalanya, paham.

"Lo juga kenapa gak ke kantin?" tanya Lusi dan membuat Ilham yang semula menatap lapangan kosong kini menoleh kepada Lusi.

"Nunggu lo," jawab Ilham yang membuat Lusi kebingungan. "Gue mau ngajak lo ke kantin, eh tepatnya ke Wargan deng," sambung Ilham dengan kekehan diakhir. Lusi tersenyum mendengarnya dan menyelesaikan dengan cepat kegiatannya.

"Ayo," ujar Lusi yang membuat Ilham menoleh dan langsung berdiri.

"Yok!" ajak Ilham dan dengan tidak sadar Ilham menggenggam tangan Lusi yang putih itu. Kalau kata Ilham, putihnya kulitmu seputih susu yang diminum keponakanku.

Mata Lusi menatap tangannya yang digenggam oleh Ilham. Laki-laki yang entah kenapa saat pertama kali berjumpa langsung membuatnya terpesona. Katakanlah Lusi suka pada Ilham sejak pandangan pertama. Lalu Lusi menggelengkan kepalanya, ia tak boleh berpikiran seperti itu. Ada hati yang harus ia jaga. Yakni, Dia.

"Khm, khm," dehem para teman-teman Ilham kala Ilham datang membawa seorang gadis. Gadis yang berhasil menarik hati dan pikiran seorang Ilham. "Katanya mau mundur Ham," ujar salah satu teman Ilham yang semalam sempat mendengarkan curahan hati Ilham. Ilham tersenyum sebagai jawabannya.

"Nyaman enggak disini?" tanya Ilham kala melihat raut wajah Lusi yan lg sedikit kebingungan.

Lusi dengan refleks menggelengkan kepalanya. "Enggak kok. Tenang aja. Gue selalu nyaman kalau lo yang ajak," ujar Lusi yang membuat jantung Ilham berdetak tak karuan.

"O-oke. G-gue pesen dulu makanannya," ujar Ilham gugup. Lusi tersenyum dengan tingkah malu-malu Ilham.

Sial, kenapa harus gugup segala, batin Ilham.

Setelah beberapa menit menunggu makanannya matang, Ilham pun membawa dua piring yang berisi dengan nasi goreng. "Nih. Makan yang kenyang," ujar Ilham kala sampai di kursi yang ditempati oleh Lusi. Ilham pun duduk dikursi yang ada dihadapan Lusi.

"Hm hm hm. Ada yang bilang semalem katanya mau mundur, takut keberadaannya diabaikan, siapa yang bilang ya?" Ilham yang akan menyendokan makanannya ke dalam mulut terhenti seketika, kala mendengar ucapan dari temannya.

"Berisik lo Fadlan," ujar Ilham sedikit kesal.

Fadlan terkekeh. "Gas atuh Ham, daripada diambil orang. Ya enggak Lus," ujar Fadlan dan dingguki oleh Lusi. "Iya. Nanti habis beres makan," ujar Ilham enteng. Setelah itu Ilham dan Lusi pun menghabiskan makanannya dengan bersih tanpa sisa.

"Lus. Gue mau ngomong sama lo," ujar Ilham. Lusi yang sedang memainkan ponselnya mendongkak menatap Ilham dan menatap dengan raut tanya. "Mau ngomong apa?" balas Lusi dengan menatap Ilham intens.

"Natapnya jangan gitu. Gue jadi gugup." Ucapan Ilham membuat Lusi terkekeh kecil. "Oke. Gue tahu ini pasti kecepetan buat lo. Tapi, ini bener-bener dari lubuk hati gue. Gue sayang lo, gue suka lengkungan yang menghiasi wajah lo. Apalagi jika lengkungan yang berada diwajah lo itu akibat gue." Ilham menghela nafasnya, matanya menatap intens Lusi serta dengan beraninya menggenggam tangan Lusi.

"Jadi, izinkan gue menjadi pemilik senyuman lo itu, boleh?"

(I)Lusi (Selesai)Where stories live. Discover now