Bab 1

33 12 1
                                    

Izinkan tulisan ini menjadi saksi sebuah perasaan yang tuan harap terbalaskan.

---

"Akhirnya, sang tuan hadir juga di meja besar ini," ujar wanita paruh baya yang sedang menata makanan di meja makan. Semua yang berada di sana menatap laki-laki yang lengkap dengan seragam khas sekolahnya ditambah rambut yang sengaja dibuat berantakan. "Apaan sih. Biasa aja dong liatnya," ujar Ilham yang sangat risih menjadi sorotan. Dan berjalan pelan ke arah kursi makan yang kosong.

Perkenalkan dia Ilham. Seorang laki-laki yang lahir sebagai bungsu dari keluarganya. Mempunyai dua kakak yang berjenis kelamin sama dengannya. Dia lahir dari seorang Ibu yang menurut Ilham sangat sangat kuat, sebab mengurus tiga anak laki-laki dengan sifat yang berbeda-beda, dan tidak lupa Ayah, sosok laki-laki yang menjadi panutan semua anak-anaknya.

"Tumben pagi-pagi udah siap plus ganteng lagi. Ada gebetan ya?" tanya kakak pertamanya yang bernama Doni, seorang kakak yang selalu senang mengusili adiknya.

"Mana ada yang mau sama dia bang," ujar laki – laki yang berada di sebelah Doni, yakni Banu – kakak kedua Ilham yang selalu membuat Ilham naik darah jika berbicara dengannya.

Ilham menatap kedua kakaknya itu dengan tatapan nyolotnya. "Biasa aja," balas Ilham dengan mengambil beberapa lauk pauk yang ada di depannya.

Pagi ini cuaca sedang tidak baik-baik saja, pasalnya langit yang biasanya berwarna biru, kini berubah menjadi warna abu – abu, mewaspadai para manusia untuk berjaga – jaga guna meneduh terlebih dahulu kala hujan datang.

Ilham yang lupa membawa hoodie-nya berdecak kesal, karena suhu pagi ini menyiksa kulitnya yang sangat sensitif dengan hawa dingin. "Sial!" umpat Ilham dengan mendekap tubuhnya kala sudah memparkirkan motor matic kesayangannya. Ia mengusap – ngusap badannya oleh tangan guna membuat sebuah kehangatan.

"So so an mau nantangin diri," ujar seseorang di arah belakang serta menyampirkan jaket di punggung Ilham. Ilham menoleh dan mendapatkan sohibnya yang telah bersama selama empat tahun terakhir ini. "Bukan nantangin. Gue lupa bawa hoodie," ralat Ilham serta memakai jaket yang diberikan sahabatnya itu. "Thanks Ben," ucap Ilham kala jaket Beni sudah terpasang di tubuhnya. Beni menganggukan kepalanya sebagai jawaban dan merangkul pundak Ilham, guna berjalan bersama ke kelas yang mereka tempati.

Mereka berjalan menelusuri koridor-koridor yang ramai. Tak sedikit pasang mata menatap Ilham dan Beni membuat Ilham sangat risih, sedangkan Beni santai – santai saja, bahkan ia beberapa kali membalas sapaan orang yang melintas. "Risih banget gue Ben," bisik Ilham kala ada beberapa perempuan menyapanya bahkan menggodanya.

Beni terkekeh geli. "Lo mah aneh. Di saat semua laki – laki pengen banyak yang nyapa, apalagi sama cewek – cewek. Lo malah risih. Laki lo?" ujar Beni. Dengan ringannya tangan Ilham menggeplak kepala sehingga sang pemilik meringis sakit. "BRA!" teriak Beni kala melihat sosok tinggi dengan earphone terpasang di telinga laki-laki itu.

Brandon. Nama laki-laki itu, sahabat Ilham yang berwajah cuek, namun sifatnya tak ada cuek-cueknya. 'Bro', nama panggilan yang biasanya dipakai oleh teman-teman Brandon, kecuali Beni. 'Bra' sebutan kesayangan Beni untuk Brandon.

"Aduh!" pekik Beni kala kepalanya dipukul dengan tangan berototnya Brandon. Beni mendengkus kesal, pasalnya tadi geplakan Ilham sangat lumayan sakit, sekarang ditambah lagi dengan pukulan Brandon, beuh mantapnya bukan main. "Panggil nama gue yang bener ogeb!" kesal Brandon yang sekarang berada di sebelah Ilham.

"Itukan nama lo. Brandon. Bra," ucap Beni dengan sedikit menekankan kata terakhir serta mengusap – ngusap kepalanya yang lumayan nyut – nyutan. "Pukulan lo berdua gak main – main sumpah," sambungnya. Ilham dan Brandon saling melirik dan mengangkatkan bahunya, tak peduli.

Beni. Laki-laki ramah yang sangat perhatian pada semua orang, terutama para sahabatnya. Seorang pemuda yang sangat senang tertawa. Baginya tertawa dapat menghilang kestresan. Jadi, jangan heran jika melihat Beni tertawa, meski orang – orang yang ada disekitarnya tidak ada yang melucu. Receh banget orangnya.

"Wargan gak nih?" tanya Brandon kala suara bel istirahat terdengar masuk kedalam gendang telinganya. Ilham yang sedang mencoret-coret kertas kosong menoleh pada teman sebangkunya dan menggelengkan kepalanya. "Gue libur dulu," ujar Ilham.

Wargan, singkatan dari warung ganteng. Entah siapa yang menamainya, namun kata para kaum hawa warung tersebut selalu dihuni oleh kaum adam yang parasnya selalu mengalihkan dunia. Salah satu tempat favorit Ilham beserta para sahabatnya. Di sana, bukan hanya sekedar tempat, namun banyak kisah-kisah inspirasi yang setiap harinya berbeda-beda. Karena yang datang bukan dari sekolah Ilham, namun pelajar yang berada di dekat-dekat situ.

"Kenapa? Ada masalah?" tanya Brandon serta melirik kertas yang berada di hadapan Ilham. Ilham menggelengkan kepalanya. "Gue sibuk buat ini," ujar Ilham dengan menunjuk kertas yang berada di depannya. Brandon pun mengangguk paham.

"Yaudah gue sama Beni ke Wargan," pamit Brandon dan menggiring Beni yang sedang bermain ponsel. "Anjir Bra! Santai," ucap Beni serta merintih sakit kala tangan Brandon menarik telinga Beni dengan sangat kuat. Ilham menggelengkan kepala serta terkekeh geli melihat kelakuan kedua sahabatnya itu. Mata Ilham menatap hasil coretan yang berada di atas kertas putih itu.

Puisi. Salah satu hal sastra yang sangat disukai oleh Ilham. Baginya puisi adalah sebuah seni yang dimana rasa dan kata dimainkan, sebuah seni dikala rasa sudah susah untuk diucapkan. Kala itu, saat sekolah menengah pertama ada seorang penulis yang datang ke sekolahnya guna mempromosikan gerakan literasi, disaat ini juga sang penulis itu membacakan salah satu puisi yang ia buat. Dari situ, Ilham senang dengan sesuatu yang berbau 'sastra' terutama dalam hal berpuisi. Kesukaan ini juga didukung oleh sifat Ilham yang agak susah untuk berucap atau menyampaikan sebuah perasaan.

"Tak terlalu buruk," puji Ilham serta menatap hasil pikiran yang dituangkan dalam bentuk tulisan.

~(I)Lusi~

"Wargan gak nih?" tanya Brandon kala suara bel istirahat terdengar masuk kedalam gendang telinganya.

Ilham yang sedang mencoret-coret kertas kosong menoleh pada teman sebangkunya dan menggelengkan kepalanya. "Gue libur dulu," ujar Ilham.

Wargan, singkatan dari warung ganteng. Entah siapa yang menamainya, namun kata para kaum hawa warung tersebut selalu dihuni oleh kaum adam yang parasnya selalu mengalihkan dunia.

Wargan, salah satu tempat favorit Ilham beserta para sahabatnya. Di sana, bukan hanya sekedar tempat, namun banyak kisah-kisah inspirasi yang setiap harinya berbeda-beda. Karena yang datang bukan dari sekolah Ilham, namun pelajar yang berada di dekat-dekat situ.

"Kenapa? Ada masalah?" tanya Brandon serta melirik kertas yang berada di hadapan Ilham. Ilham menggelengkan kepalanya.

"Gue sibuk buat ini," ujar Ilham dengan menunjuk kertas yang berada di depannya. Brandon pun mengangguk paham.

"Yaudah gue sama Beni ke Wargan," pamit Brandon dan menggiring Beni yang sedang bermain ponsel.

"Anjir! Bra kalem atuh," ucap Beni serta merintih sakit kala tangan Brandon menarik telinga Beni dengan sangat kuat.

Ilham menggelengkan kepala serta terkekeh geli melihat kelakuan kedua sahabatnya itu. Mata Ilham menatap hasil coretan yang berada di atas kertas putih itu.

Puisi. Salah satu hal sastra yang sangat disukai oleh Ilham. Kala itu, saat sekolah menengah pertama ada seorang penulis yang ada ke sekolahnya guna mempromosikan gerakan literasi, disaat ini juga sang penulis itu membacakan salah satu puisi yang ia buat.

Dari situ, Ilham senang dengan sesuatu yang berbau 'sastra' terutama dalam hal berpuisi. Kesukaan ini juga didukung oleh sifat Ilham yang agak introvert.

"Tak terlalu buruk," puji Ilham serta menatap hasil pikiran yang dituangkan dalam bentuk tulisan.

Tbc©

(I)Lusi (Selesai)Where stories live. Discover now