Bab 8

13 8 0
                                    

Lusi. Satu kata beribu makna.

___

"Sial!" umpat Ilham serta melihat ban sepeda motornya dengan raut wajah yang frustasi. "Mana ini bentar lagi bel bunyi," sambungnya serta melihat kanan – kiri dengan harap ada bantuan seseorang. "Masa iya gue jalan kaki. Mana masih lumayan jauh," ucapnya serta menatap jauh jalan didepannya.

Ilham kembali menatap motornya yang tak berdaya dan menendang ban yang bocor karena tertusuk paku. "Kenapa pake acara ban bocor segala," ucapnya dengan nada kesal. Mata kosongnya itu terus menatap ban motor dengan raut bingung. Ilham pun menghela napasnya. Dengan pertimbangan yang sangat luar biasa, namun akhirnya ragu juga, Ilham pun berencana mendorong motornya hingga sampai sekolah. Bodo amat dengan apa yang akan terjadi, sebisa mungkin ia mengabaikan prasangka-prasangka orang lain, meskipun akan susah.

"Kenapa?" Ilham menoleh kala pertanyaan itu terdengar mengalun pada gendang telinganya.

Termangu, kala sang retina menangkap gadis yang selalu menjadi atensi pikirannya beberapa hari. Gadis yang membuat tidur Ilham terganggu akibat senyuman yang gadis itu miliki. "Kenapa?" tanya gadis itu serta melambaikan tangannya di hadapan wajah Ilham.

"Eh, ini ketusuk paku," jawab Ilham dengan menggaruk tekuknya, salting. Mata Lusi menerawang ke arah motor Ilham. "Mau numpang dulu enggak?" tanyanya Lusi setelah melihat kondisi ban motor Ilham. Ilham menggaruk kepalanya, bertanda ia gugup. "Gimana ya," gumamnya.

"Ayo aja. Nanti motornya titip aja sama bapak tua itu," ujar Lusi melihat raut bingung Ilham. Arah mata Ilham langsung tertuju pada seorang bapak tua yang ditunjuk oleh Lusi. "Dia baik kok, enggak bakalan dirusak atau nyuri motor lo," sambung Lusi.

Dengan keraguan yang membelenggu, akhirnya pun Ilham menganggukan kepalanya. Mereka pun akhirnya menitipkan motor Ilham dan sang Bapak itu menyanggupinya. "Lo yang bawa ya," ujar Lusi serta menyerahkan kunci motornya pada Ilham.

Ilham yang merasa tidak enak, menggelengkan kepalanya. "Lo aja. 'Kan yang punya lo," jawab Ilham.

"Udah enggak papa. Mau dicengcengin, masa cowok dibonceng sama cewek. Aneh," ujar Lusi dan dengan terpaksa Ilham menyetujuinya. Untungnya motor Lusi setype dengan Ilham, jadi tidak terlalu kaku jika Ilham membawanya. Mata Ilham melirik kaca spion yang menampilkan wajah Lusi yang sedang melihat-lihat keadaan sekitar dengan senyum yang tak pernah pudar. Tarikan bibir itu membuat hati Ilham berdesir, entah bagaimana caranya sehingga bisa membuat pikirannya terpaku pada dia.

"Liat depan," ujar Lusi serta menepuk pundak Ilham membuat sang empu tersadar dari lamunannya. Ilham tersenyum tipis dan meminta maaf dengan dibalas anggukan oleh Lusi. Tak banyak obrolan yang dikeluarkan, bahkan sepanjang perjalanan hanya angin dan suara kendaraan sekitar yang menemani mereka berdua.

"Lo kelas mana?" tanya Ilham membuka topik pembicaan.

"11 IPA 2," jawab Lusi dengan melirik spion sekilas dan dijawab anggukan oleh Lusi. Itulah percakapan ringan yang dikeluarkan oleh mereka berdua, sangat singkat namun sangat bermakna bagi Ilham.

Sebenarnya dalam lubuk hati paling dalam, Ilham ingin berbincang-bincang dengan gadis yang dibelakangnya. Ingin menanyakan banyak hal, namun Ilham takut Lusi risih dengannya. Yang notabenenya orang lain. Dan yang pasti, Ilham tidak tahu bagaimana memulai obrolan agar yang sangat panjang.

"Thanks ya," ucap Ilham serta turun dari motor Lusi. Lusi menganggukkan kepalanya. "Nama lo siapa?" tanyanya. Wajah Ilham langsung berbinar dan menyebutkan namanya serta mengulurkan tangan guna bersalaman.

"Gue Lusi. Semoga ketemu lagi ya," pamit Lusi setelah menjabat tangan Ilham.

Ilham menganggukan kepala serta tersenyum kala menjabat tangan Lusi. Pasti akan bertemu kembali, semoga. Batin Ilham.

Mata Ilham menatap punggung Lusi yang berjalan dan berbaur dengan siswa yang baru saja datang. Bibir Ilham dengan tak sengaja ikut melengkung ke atas kala retinanya menangkap Lusi tertawa bersama temannya.

"Lusi. Satu kata beribu makna," monolog Ilham dengan senyuman dan mata yang masih terpatri ke arah Lusi.

"Ditatap terus, dipepetnya kapan dong?" Tubuh Ilham dengan refleks memutar ke belakang dan langsung berhadapan dengan kedua sohibnya. "Deketin atuh. Ngeliatin dari jauh enggak akan kerasa," ucap Brandon serta menaik turunkan alisnya plus melirik Beni. Dan dijawab anggukan oleh Beni.

"Apaan sih," balas Ilham dengn kekehan diakhir. Brandon dan Beni mengangkat bahunya dan langsung merangkul pundak Ilham guna berjalan bersama menuju kelas kesayangan mereka.

"Gimana rasanya naik motor berdua sama doi?" tanya Beni disela-sela perjalanan mereka.

"Biasa aja," jawab Ilham dengan santai.

"So so-an biasa aja. Padahal mah dalam hati girang banget sampai pengen salto," ucap Brandon dan diangguki oleh Beni.

"Sotoy lo pada," elak Ilham.

"Halah, ngaku aja," ujar Beni serta menusuk – nusuk pipi Ilham membuat sang empu bergidik geli.

"Geli kampret," umpat Ilham serta menjauh dari Beni denganberjalan mendahului kedua temannya yang sedang menertawakan Ilham larenasalting. "Cielah, bisa salting juga itu anak."

(I)Lusi (Selesai)Where stories live. Discover now