Bab 10

19 8 0
                                    

Baru awal, tenang.

___

"Jangan?" ucap Ilham kala men-cap cip cup untuk mengirim pesan pada Lusi. "Teroboslah," sambungnya lagi dan langsung menjauhkan ponselnya ketika pesan itu sudah terkirim.

"Dek woy keluar lo! Ngerem di kamar mulu, enggak takut bulukan lo," ujar sang Doni serta menggedor-gedor pintu kamar Ilham. Ilham pun bangun dari tempat tidurnya dengan malas dan membukakan pintu yang sebenarnya tidak terkunci. "Apaan sih?" tanya Ilham serta menatap sang kakak jengkel.

"Antar gue." Tanpa basa – basi Danu langsung menyeret tubuh Ilham. Tubuh yang belum stabil membuat dirinya tak jarang terjatuh atau tersenggol dan mengakibatkan desisan perih keluar dari mulut sucinya itu.

"Kampret, sakit Bang!" umpat Ilham serta menghentakkan tangan yang diseret Doni. Mata Ilham menatap kakaknya itu dengan raut kesal bercampur bingung kala Doni mengeluarkan mobilnya. "Mau kemana? Gue lagi malas keluar," ujar Ilham

"Masuk," ujar Doni menghiraukan pertanyaan dan raut wajah sang Adik yang sepertinya sangat kesal dengannya. Karena dia adik yang baik hati, dengan terpaksa Ilham menuruti keinginan kakaknya ini. Meski dalam hati ia menyumpah serapahi sang kakak. Semoga tidak kualat ya Ham.

"Mau ke supermaket aja harus ditemenin. Lo laki bukan?" ucap Ilham dengan jengkel. Kala mobil Doni sudah sampai ditempat tujuannya, yakni supermaket. Hal itu, membuat rasa kesal Ilham terhadap Danu semakin membesar.

"Lo juga. Belum punya pacar, laki lo?" ujar Danu yang membuat Ilham mendengkus kesal. "Yuk," sambungnya. "Sumpah bang, males gue," ujar Ilham dengan nada memelas.

"Cepat. Entar gue traktir," ujar Danu kala melihat Ilham yang masih malas – malasn didalam mobil. "Nah ide bagus," ucap Ilham dan langsung berjalan menuju supermaket meninggalkan Danu sendirian dengan gerutuan yang menyusul.

"Untung adik gue."

"Kampret, ngapain ke tempat ginian," ujar Ilham tidak percaya serta menggeplak punggung Danu dengan kencang membuat sang empu meringis sakit. Ilham menatap Danu dengan tatapan menyelidik. "Lo laki – laki 'kan?" tanya Ilham enteng dan langsung mendapatkan pukulan di perutnya.

"Pertanyaan lo gak ada akhlaknya," ujar Danu dengan menatap adiknya itu dengan kesal. Tidak aneh bagaimana jika Danu mengajak Ilham ke tempat yang sebenarnya bukan bagian dari laki – laki. "Lo pilih sana. Nanti gue bayar," ujar Danu serta menunjuk sederet pembalut dengan dagunya.

Ilham menyeritkan dahinya. "Lo punya cewek?" tanya Ilham dan dibalas anggukan oleh Danu. "Kok gak cerita sama gue?" tanyanya lagi dan menghiraukan perintah yang disebutkan oleh si kakak.

"Gak ada waktu. Cepat pilihin," jawab Danu dan mendorong tubuh Ilham guna cepat memilih.

Ilham mendengkus kesal, rasa kesalnya terhadap Danu semakin bertambah, namun bagaimana pun ia adalah seorang Adik yang harus nurut terhadap kakaknya. Ilham pun menghela napasnya lelah, matanya menelisik setiap kemasan pembalut itu dengan raut wajah yang bingung. Pasalnya ia tak paham, ini juga pertama kali ia melihat barang seperti itu.

"Si Danu emang bego. Tau adeknya gak pernah punya cewek, malah disuruh pilihin yang kayak gini. Bego emang," gerutu Ilham.

"Lo nyari ginian?" tanya seseorang yang berada disamping Ilham. Karena keasyikan melihat-lihat kemasan pembalut, Ilham sampai tidak sadar bahwa ada seseorang yang hadir disampingnya. "Lo laki 'kan?" tanya seseorang itu lagi serta menepuk pundak Ilham.

Ilham menolehkan kepalanya dan langsung terkejut melihat siapa yang ada disampingnya. "Lo?!" ucap Ilham terkejut kala melihat Desi sedang menahan tawanya.

"Santai. Jangan ngegas, mau gue bantuin gak?" Tanpa basa-basi Ilham mengganggukan kepalanya. "Nah, ambil aja yang itu," ujar Desi serta menunjuk kemasan yang berwarna biru tua.

"Kalau salah gimana?" tanya Ilham.

"Ya beli lagi lah," jawab Desi enteng. Ilham menganggukan kepalanya dan mengambil satu pak kemasan yang ditunjuk oleh Desi.

"Ngomong – ngomong bayarannya, sama puisi ciptaan lo aja oke. Jadi hutang lo sama gue ada dua," ujar Desi serta menunjukan jari telunjuk dan jaru tengah. Ilham mengerutkan keningnya, ia kira Desi membantunya dengan ikhlas. Tetapi firasatnya salah, Desi memanglah Desi, si perempuan aneh. "Awas kalau lupa, gue jitak pala lo," sambung Desi sebelum akhirnya pergi meninggalkan Ilham yang terbengong sendiri.

"Itu cewek aneh banget. Kembaran si Beni ya gitu," monolog Ilham serta menatap punggung Desi yang berjalan ke arah kasir.

"Lama amat lo," protes Danu yang sedang enak – enakan meminum minuman kaleng dan sebatang rokok. Ilham yang baru saja keluar dari toko supermaket itu, langsung mengdengkus kesal dan tidak sopannya menjitak kepala Danu.

"Heh! Emang lo pikir nyari ginian gampang," ujar Ilham. Dengan tampang tidak berdosanya Danu menganggukan kepalanya. "Tinggal ambil," ujarnya gampang.

"Yayayaya. Terserah lo," ujar Ilham serta melemparkan barang yang ia bawa dan pergi meninggalkan Danu yang terkekeh geli.

Pagi harinya, Ilham berangkat sekolah dengan wajah yang amat cerah. Pasalnya hari ini ia akan melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan sepanjang ia hidup di bumi, yakni mengajak perempuan berkencan.

Kabar pesan Ilham yang dikirim kepada Lusi, ternyata dibalas dan berujung berkencan dengan dalih rasa terima kasih telah membantu motor Ilham. Hal itu membuat sepanjang perjalanan ke sekolah, senyum dalam bibir Ilham tak pernah pudar.

"Ngapa lo senyum-senyum," tanya Beni dengan raut wajah bingung melihat raut wajah senang Ilham yang menurutnya terlalu overdosis. Ilham tersenyum dan menggelengkan kepalanya.

Detik demi detik telah berlalu, jam pulang pun telah datang. Entah kenapa jantung Ilham berdetak dengan kencang. Dan sekarang Ilham sedang berada di parkiran guna menunggu gadis tercintanya. Hari ini, seorang Ilham telah jatuh cinta pada pandangan pertama dengan seseorang Lusi yang cantiknya amat luar biasa.

"Sorry. Nunggu lama." Ilham yang semula menunduk memainkan ponselnya, kini menengadah dan langsung mendapati wajah putihnya seorang Lusi.

"Gak papa. Yuk langsung naik," ujar Ilham dan Lusi pun menaiki motor meticnya Ilham.

Disepanjang perjalanan, hanya kebisingan dari kendaraan lain yang menemani mereka. Tak ada yang ingin membuka percakapan, meski dalam hati Ilham ingin mengobrol banyak dengan Lusi. Tapi, ia tak tahu harus dimulai darimana.

(I)Lusi (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang