Tak tahan dengan seperti ini, pada akhirnya aku memberanikan diri untuk berbicara to the point. "Ne, aku mau ngomong soal kita," kataku.

Ane menghela napasnya.

"Soal kita. Aku mau jelasin," sambungku dengan yakin.

"Kalau untuk hubungan kita," Ane menjeda dengan tawa ejekan. "Nggak perlu lah Ta. Aku nggak butuh penjelasan. Aku udah ikhlas. Aku udah ambil dan terima sisi positifnya. Aku berhasil mendapat yang aku butuhkan, belajar mencintai. Dan sekarang kayaknya nggak perlu ada yang dibahas selain perceraian kita. Minggu depan ya aku mulai urus. Untuk harta, aku nggak mau ambil sepeser pun. Kalau memang ada hakku, kamu sumbangin aja," katanya dengan penuh kelancaran.

Aku tak melihat ekspresi marah dari Ane. Perempuan itu selalu tenang. Ia bahkan terlihat santai dan tak menganggap berat pembahasan tentang itu. Yang sangat kentara terlihat adalah Ane yang seakan malas membahas arah hubungan kami.

"Kamu masih ada rasa—" tanyaku yang langsung dipotong Ane.

"Rasa itu udah nggak ada, Ta. Kalau kamu mau tau perasaanku ke kamu sekarang kayak gimana, perasaanku nggak lebih dari rasa kecewa seseorang yang dibohongi temannya. Kamu kayak nggak ngerti aku saja sih, Ta. Move on itu cuma seujung kuku bagiku," katanya diakhiri dengan kekehan. Kekehan yang entah mengapa menusuk batinku, sakit, nyeri sekali. Aku terlambat. Kesempatan itu sudah benar-benar hilang. Dan aku.. aku harus tahu diri. Pada akhirnya aku harus menelan kecewa. Aku terlalu malu untuk mengakui bahwa kini aku mencintainya, bahwa aku terlambat menyadari. Semua sudah telanjur dan waktuku sudah usai.

Ketukan di pintu kamar membuat kami berdua mengakhiri pembicaraan. Papa mengetuk dan mengajak kami untuk bergabung di kamar sebelah yang sudah disewa untuk keluarga besar dari Jogja.

"Ada Bude Endang. Kamu dicariin itu," kata Papa pada Ane. Ane langsung beranjak dari kasur, patuh pada Papa.

"Ikut yuk," ajak Ane sebelum mendahuluiku. Aku mengikuti Ane di belakang. Aku pernah dengar tentang Bude Endang. Bude Endang adalah kakak dari Papa Ane yang menetap di Jogja. Beliau tidak sempat hadir di pernikahanku lantaran saat itu sedang dirawat di rumah sakit. Ane pernah bercerita bahwa dalam satu keluarga Jawa, pasti ada satu cenayang di dalamnya. Di keluarga Ane, Bude Endang lah orangnya. Tipikal bude-bude berumur, yang kental dengan budaya Jawa dan—katanya—bisa meramal. Lebih tepatnya, prediksinya sering kali tepat.

"Yang sopan ya sama Bude," bisik Ane mengingatkan.

"Nah iki.. iki cah ayune," sapa Bude Endang antusias saat kami baru saja masuk ke kamarnya. Ane langsung menyalaminya, mencium tangannya, kemudian mencium kedua pipinya.

"Bude, kenalin," kata Ane sambil menggeser posisinya dan mempersilakanku menyalami Bude Endang.

"Walah cah bagus. Jenengmu sopo?" ujar Bude Endang.

"Bude, Genta kurang fasih bahasa Jawa," ujar Ane yang kuikuti dengan anggukan serta senyum.

"Oh namanya Genta. Bojomu kan?" tanya Bude dengan senyum lebarnya.

"Iya Bude," jawab Ane. "Bude tadi dijemput siapa dari bandara?"

"Mas Priyo jemput Bude," jawab Bude. "Sini duduk sini," ujar Bude menyuruhku dan Ane duduk di ranjang sampingnya.

"Sudah berapa lama menikah?" tanya Bude Endang padaku. Sesungguhnya saat ini aku sedang gugup, kalau apa yang dikatakan Ane benar tentang Bude Endang, jangan-jangan Bude Endang tahu kalau rumah tanggaku dan Ane sudah di ujung tanduk.

"Setahun Bude," jawabku.

"Kene, tak kandani. Cepet-cepet cari nama," kata Bude Endang dengan nada pelan pada kami.

"Nama apa Mbak?" tanya Papa yang ikut serta dalam perbincangan kami.

"Cucumu bakal banyak, Di. Mereka sebentar lagi bakal punya anak," ujar Bude Endang dengan sok tahunya. Sebenarnya aku merasa sedih mendengar perkataan Bude Endang. Bude tidak tahu bahwa saat ini rumah tangga kami akan segera berakhir. Ramalannya barusan sepertinya tidak akan kejadian mengingat Ane yang sudah kukuh untuk berpisah. Mendengar perkataan Bude hanya membuatku lebih merutuki diri sendiri yang sudah bodoh menyiakan Ane.

"Amin, Mbak. Doaku setiap hari, Ane sama Genta cepat diberikan momongan," ujar Papa. "Apa jangan-jangan kamu udah hamil, Ne, tapi belum bilang-bilang?"

"Hah? Enggak kok Pa, belum waktunya Papa," jawab Ane.

"Waktunya ya sebentar lagi," imbuh Bude.

"Amin Bude, doain ya," kataku pada akhirnya. Sebuah kalimat yang sebenarnya merupakan doa. Doa agar aku dan Ane tidak jadi berpisah. Doa agar rumah tangga kami kembali. Doa agar Ane menjadi ibu dari anak-anakku.

Magic. Perkataan Bude Endang tidak lagi membuatku sedih. Entah mengapa justru sekarang aku seperti mendapat secercah cahaya penguatan. Aku mendapatkan keyakinanku lagi. Ada semangat yang muncul dari dalam diriku untuk memperjuangkan sekali lagi apa yang sudah kurusak.

"Iya, Bude doakan kalian rukun, sehat, banyak rezeki, dan cepat punya momongan," jawab Bude.

***

Lagi super sibuk nii. Ternyata menjadi Kim dalam drama "Secretary Kim" membuatku tidak bisa punya banyak waktu nulis :(

Harusnya part berkutnya epilog, namun tiba-tiba mood-ku ingin menambah 1 part lagi sebelum epilog hehe.

P.s. Nggak usah berharap apa-apa yaa #ambigu

The Only Exception [END]Where stories live. Discover now