Ariadne.. Nama itu terus berputar di kepalaku andai saja aku tak ada pengalihan. Sudah 3 bulan ia pergi dan 2 minggu ini adalah puncak rasa sakitku. Aku menyerah pada hati. Ah bukan menyerah, lebih tepatnya selama ini aku selalu denial. Aku bahkan tidak sadar bahwa Ane sudah menempati hatiku begitu permanennya. Aku terlalu sibuk dengan idealismeku, terlalu sibuk untuk menyadari bahwa Ane, perempuan itu, sudah bersemayam apik di dalam hatiku. Dan kini setelah dia pergi, rasanya seluruh hatiku hilang.

Mulanya aku terlalu kukuh bahwa aku mencintai Karen dan bukan Ane. Kuenyahkan segala rasa yang sebenarnya sudah ada dengan keyakinan bahwa hatiku masih mencintai Karen. Tapi ternyata aku terlalu bodoh. Ketika ia pergi, bukan bahagia yang kudapati, justru sepi yang luar biasa dahsyatnya.

Karen benar, aku mencintai Ane melebihi aku cinta pada diriku sendiri. Ane memberi pengaruh pada hidupku sejak lama dan aku bahkan sudah ketergantungan dengannya. Entah, aku merasa ini patah hati paling sakit yang pernah kurasa hingga hatiku rasanya kebas dan hanya nyeri saja. Kalau bisa menangis untuk meluapkan nyeri, aku ingin. Namun apa daya? Sulit sekali air mata ini keluar.

Saat batal menikah dengan Karen dulu, aku juga patah hati. Namun rasanya berbeda. Rongga hatiku masih terisi dan mungkin hanya hilang separuh. Aku masih bisa merasakan sakit dan bisa kuluapkan dengan menangis. Namun kali ini berbeda. Sakitnya lama dan tidak bisa kuluapkan sama sekali. Botol dan kaleng-kaleng alkohol jadi saksi betapa hancurnya aku. Kalau dulu mereka mampu menolongku dari sakit hati diputus Karen, kini mereka seakan tertawa mengejek tanpa membantu sama sekali diriku yang patah hati ditinggal Ane.

Ariadne.. Terlalu besar dosa dan kesalahanku pada perempuan itu hingga semesta membalaskannya begitu hebatnya. Aku rindu Ane. Sedang apa dia sekarang? Kurasa hidupnya sudah baik-baik saja di bumi parahyangan sana. Aku terlalu pengecut untuk menemuinya bahkan untuk sekadar mengirim email. Ane men-deactivate seluruh akun media sosialnya. Aku tidak bisa melihat lagi bagaimana kabarnya. Instagram, Twitter, Snapchat, semua hilang. Memang aplikasi kirim pesannya masih ada. Namun sepertinya dia memblokirku. Beberapa kali saat mabuk aku mengirimkan pesan kacau padanya, namun semua hanya centang satu. Meski begitu, di nomor yang sama itu, dia masih aktif membalas pesan di grup keluarga. Dia memblokirku.

Karen selalu hadir dengan rasa bersalah yang ia bawa karena sudah merusak hubunganku dan Ane. Ia berulang kali menawarkan bantuan untuk mendatangi dan berbicara pada Ane, namun kularang. Aku tahu Ane begitu sakit hati dan tidak mau bertemuku, lebih lagi Karen. Bukankah semua perempuan seperti itu kalau sudah sakit hati? Kurasa dengan bertemu Karen, Ane bukannya memahami tapi ia semakin marah dan panas.

Lamunku buyar saat Pak Sasongko memasuki ruang meeting. Pembahasan akan segera dimulai, saatnya aku memusatkan seluruh energi jiwaku untuk larut dalam kerja. Setidaknya untuk beberapa jam, rasa nyeri yang kurasakan bisa teralihkan meski nama Ane tidak pernah hilang dari kepalaku barang sedetik pun. Ane, maafkan aku.

***

"Aku bisa bantu apa hari ini?" tanya Karen pelan saat aku masuk ke dalam rumahku. Ia tengah duduk di sofa ruang tamuku yang juga sudah rapi. Kaleng-kaleng bir sisa semalam sepertinya sudah dibereskannya. Karen sendiri memang mengetahui pin pintu rumah ini karena ia pernah mengantarkanku pulang saat aku mabuk minggu lalu. Dan Karen lah yang menyadarkanku bahwa aku mencintai Ane, bukan dirinya. Masih ingat saat Karen menawarkan tawaran gila untuk menjalin cinta kembali. Bukannya menerima, aku justru menolaknya. Aku tidak bisa. Aku merasa tidak lagi ada rasa cinta untuknya.

"Naik apa ke sini?" tanyaku karena aku tak melihat mobilnya terparkir di depan rumahku.

"Diantar Reynhard," jawabnya menyebut nama tunangannya. Dasar aneh, Reynhard bahkan mengizinkan Karen untuk tetap berhubungan denganku.

The Only Exception [END]Where stories live. Discover now