Note 24 [Senbazuru]

10.6K 3.3K 785
                                    

Di sini saya menggunakan pov orang ketiga biar lebih proper.

🐓

Konon katanya jika kita melipat seribu bangau kertas, maka satu keinginan akan terwujud. Zidan tak pernah percaya pada legenda Jepang satu itu. Sampai suatu ketika, semesta merenggut hal berharga miliknya dalam satu kali dentuman. Tanpa aba-aba, tanpa pemberitaan, Ridan hilang dan lenyap sebelum Zidan sempat mengucapkan kalimat perpisahan.

Kadang takdir memang suka main-main. Bahkan mengubah cara pikir selekas kerjapan mata. Zidan yang mulanya enggan percaya, malah mendamba jika senbazuru bukan bualan belaka.

Seminggu setelah kepergian Ridan, Zidan mulai membeli berbagai macam origami dan melipatnya dalam bentuk bangau. Setiap sayap dia beri kalimat serupa, 'bawa Ridan kembali'.

Setahun berlalu, bangaunya melebihi seribu, Zidan tak bisa menghitungnya, juga tak tahu harus menampung benda itu di mana. Tempat satu-satunya yang dia punya hanyalah lemari tua yang kosong dari pakaian, karena Zidan baru memindahkan pakaiannya ke lemari yang lain.

Sesingkat itu ia memutuskan untuk menyimpan semua kertas tersebut dalam lemari kusam. Dengan binar mata meredup, serta harapan yang meletup,  Zidan harap dia akan bisa menemui kembarannya setidaknya sekali saja.

Seseorang pernah bilang jika dunia akan meminta bayaran atas apa yang dia berikan. Mungkin inilah jawabannya, Zidan mendapatkan Alonza dan semesta mengambil Ridan sebagai gantinya.

Sekejam itu.

Hari ini, bangau kertas itu ditemukan oleh kedua orangtuanya, origami yang banyak, dan sukses membuat terbelalak. Raina tercekat melihat bagaimana kalimat tertulis di sana. Ia membacanya dengan suara lirih.

"Bawa Ridan kembali." Lalu dia mengambil origami yang lain dan membacanya lagi. Kalimatnya sama. "Bawa Ridan kembali."

Mata wanita itu langsung berkaca-kaca. Ia menatap suaminya yang terheran-heran. "Mas... Zidan mau Ridan kembali."

Irsyad berdecak sambil meremas bangau kertas itu sampai kusut. "Tetap aja nggak mengubah fakta kalau dia bunuh Ridan!"

Raina menunduk, pikirannya mulai melayang. Sedangkan Irsyad beralih ke lemari lain dan mengeluarkan pakaian anak itu dengan gerakan tak sabaran. Namun dia malah dibuat terpaku oleh sebuah kotak berwarna coklat jatuh ke lantai. Isinya langsung tumpah berhamburan. Sekarang, Irsyad dan Raina berkali lipat jauh lebih terkejut dari sebelumnya. Tak hanya mereka, seekor ayam yang tak Irsyad sadari eksistensinya juga terkecoh.

Berbagai foto dan lembaran kertas yang terisi tulisan tangan Zidan berceceran di lantai.

Pria tersebut menunduk, mengambil salah satu lembaran kertas itu. Istrinya mendekat, ikut melihat isi surat.

[Untuk Ridan]

|Hai, Dan. Gue tau lo nggak bakal baca surat ini lagi. Tapi gue bakal tetap nulis buat lo. Selamat ulang tahun ya, saudara gue. Biasanya gue bakal ngasih boneka Upin-Ipin buat hadiah, tapi sekarang cuma doa yang bisa gue kirimkan. Jujur aja, gue mau memutar waktu, menukar posisi lo dengan gue.

Biar gue aja yang mati dan lo bisa hidup bahagia.

Sekali lagi, selamat ulang tahu Ridan, mungkin kalau lo masih hidup gue bakal bilang 'semoga panjang umur' tapi karna lo udah nggak ada, gue cuma bisa berharap di mana pun tempatnya, lo tenang, terang dan bahagia.|

"Mas...." Raina menyentuh pudak suaminya yang terpaku. Irsyad tak merespon, malah mengambil lembaran yang lain untuk dibaca.

[Untuk Ridan]

|Hari ini lo nggak ultah, tapi gue tetap nulis surat. Ini lebay karna gue mau curhat sama lo. Kalau ada di sini lo pasti udah ngakak sampe bengek gara-gara liat gue nangis. Gue bangga sih bisa nulis sampai di sini, karna sebelum-sebelumnya tulisannya ngeblur terus kena air mata.

Hahaha, gue cengeng banget, njir.

Iya, Dan. Setelah lo pergi gue jadi cengeng. Tapi tenang, gue nggak nangis di depan orang kok. Gue cowok, ntar dikira banci lagi. Paling kalau mau mewek bakal di kamar sendirian. Kalau udah nggak tahan gue pasti nunggu ayah pulang buat pukul gue buat pelampiasan.

Keluarga kita lucu, Dan. Nggak kayak dulu lagi, mama sama ayah udah benci banget sama gue. Tapi nggak apa-apa kok asal mereka bisa tenang setelah melampiaskan kemarahan ke gue. Maklum juga sih, gara-gara gue ajarin lo motor makanya lo meninggal.

Udah ya, Dan. Ayah udah pulang, gue harus tenang biar pas dihantam sama dia bisa lebih menghayati. Hehehe|

Raina sepenuhnya menangis sekarang. Diambilnya foto Ridan dan Zidan di atas lantai. Dia menatap kedua wajah itu lekat-lekat. Mereka tersenyum di sana. Tulus, tanpa kebohongan. Seakan-akan mereka adalah anak paling bahagia di dunia.

Dan bisa-bisanya Raina menuduh Zidan penyebab Ridan tiada.

Irsyad membatu, foto-foto berserakan di lantai. Dua anaknya memang mirip, tapi dia bisa membedakan mana Ridan dan mana Zidan. Dalam foto yang berhamburan itu, hanya ada foto Ridan. Mulai dari usia tujuh tahun sampai dia meninggal. Zidan mengabadikan siluet saudaranya saat pertama kali dia bisa memegang kamera.

Lama disekap hening, tangan Irsyad mengambil sesuatu yang lain, sebuah flashdisk yang tergeletak bersama lembaran foto itu. Kemudian beralih pada laptop Zidan yang berada di atas meja belajar.

"Mas... kamu nggak apa-apa 'kan?" Raina bertanya pada suaminya dengan suara pelan. Irsyad kelu, pandangannya kaku, hanya tangan yang bergerak mengotak atik laptop itu sampai menemukan sebuah folder bernama 'ridan'.

"Dan, Zidan bangsat lihat sini dong!"

Begitu kalimat pertama yang terdengar saat Irsyad membuka vidio itu. Ridan memegang kamera, Zidan sedang rebahan di sofa, menutup wajah dengan tangan karena tak mau direkam.

"Jangan dekat-dekat sama gue kalau lo masih maksa pengen bawa motor sendiri, apalagi balapan kayak gue!" Zidan marah. "Ngapain sih bawa-bawa kamera ke sini, singkirin sana! Gue nggak mau direkam!"

"Ajarin gue naik motor atau gue sebar vidio ini. Lo nggak pakek baju loh, awas aja aib lo gue sebar."

"Bodoh amat!"

Ridan berdecak kuat. "Lo mah gitu. Awas aja gue aduin ayah!"

"Aduin sana, lo nggak bakal diijinin juga!"

Vidio yang menunjukkan wajah Zidan kesal masih terpampang nyata. Tapi Irsyad tak sanggup lagi menontonnya. Dia menutup laptop itu cepat-cepat. Matanya mendadak berair.

"Apa selama ini kita salah?" tanyanya lirih. Dia terduduk di ranjang dengan bahu bergetar, istrinya sudah menangis sejak tadi. "Kita udah hukum Zidan. Aku kira Zidan sengaja kasih Ridan motor biar dia kecelakaan."

Raina tak bisa bicara, dadanya menjadi sesak tiba-tiba. Pundaknya bergetar. Setelah semenit baru dia bisa mengendalikan diri. "Sekarang gimana kondisi Zidan?!"

"...."

"Mas, aku mau lihat dia!"

"Bagaimana kalau dia udah nggak ada lagi?"

"Jangan ngomong gitu, Mas! Aku nggak mau kehilangan yang kedua kalinya!"

Tbc

Papale papale pale pale pale

Spammm next, tunjukkan antusiasmu wahai jomblo

[Hey daripada gabut ayo follow ig saya: [at] ima_univers

Saya Ayam Saya Diam (Terbit)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora