Note 7 [Maljum]

17.3K 4.8K 1.1K
                                    

Saya sering dengar orang berkata jika hewan bisa melihat setan atau roh orang yang sudah mati jika sewaktu-waktu mereka berkeliaran di bumi. Percayalah, itu bukan mitos semata, semua nyata adanya. Saya bahkan sering melihat mbak berdaster putih duduk di pohon sambil cekikikan. Jujur saja, mental saya langsung breakfast, eh break dance, nggak-nggak, maksud saya breakdown. Ehe.

Betapa lucunya lelucon saya. Kalian pasti tertawa. Ngaku saja tidak usah malu.

Belum lagi wajah saya. Unc, kalian pasti merasakan yang namanya jatuh cinta. Uwu sekali bukan?

Dan konon katanya, setiap malam jumat, arwah orang yang sudah tiada akan pulang untuk melihat orang mereka sayang. Mungkin kalian tidak percaya, tapi begitulah kenyataannya.

Dahulu, Tuan saya--sebelum saya menjadi milik Zidan--selalu menyisakan makanan di atas meja setiap malam jumat, katanya yang sudah pergi akan kembali, yang hilang akan pulang. Berdiri di pintu melambai tangan pada keluarga serta meminta doa untuk ketenangan jiwa.

Bagi sebagian orang itu hoax belaka, apalagi mereka yang tidak percaya jika dunia gaib memang ada. Manusia hanya tidak bisa melihat mereka. Kendati kenyataannya, manusia dan makhluk tak kasat mata hidup berdampingan. Memang sih sesekali mbak Kunti menampakkan diri, tapi tujuannya bukan untuk menakuti. Itu tandanya mbak Kuntinya sedang frustasi karena beberapa masalah yang dia punya.

Malam ini jumat kembali, jam telah larut, Zidan sudah tertidur. Jendela kamarnya selalu dia biarkan terbuka untuk saya yang mungkin ingin masuk malam-malam.

Tapi apa yang saya lihat bertolak belakang dengan apa yang barusan saya bilang, saya menemukan Zidan berjalan di halaman pelan-pelan seolah menikmati angin malam. Dari depan kandang saya melesat ke arahnya, namun langkah saya terhenti ketika saya menyadari sesuatu. Zidan menggunakan baju dan celana putih, wajahnya pucat bukan main, bibirnya tak berwarna, ada cahaya termaram yang mengiringi setiap langkahnya. Ketika saya perhatikan lagi, dia seolah menyatu dengan udara. Lalu dalam sejap mata, Zidan menghilang ditelan dinding kamarnya.

Setelah terpaku di tempat beberapa saat saya mulai menyadari jika yang saya lihat tadi bukan Zidan, melainkan Ridan. Saudara kembarnya. Tentu saja saya bingung karena hal ini belum pernah terjadi sebelumnya. Malam ini adalah pertama kali saya melihat Ridan pulang.

Lantas tanpa buang waktu lagi, saya masuk ke kamar Zidan melalui jendela yang terbuka. Zidan terlelap di atas kasur seperti malam-malam yang lain, tidak ada yang aneh kecuali kehadiran sosok Ridan yang memandang kembarannya sendu. Dalam matanya saya menemukan rasa bersalah yang amat besar.

"Maaf," gumamnya. Di dekat jendela saya memperhatikan dalam diam bagaimana dia mengulurkan tangan untuk mengusap kepala Zidan. Sayangnya Ridan serupa cahaya dan udara yang tak bisa menyentuh segala hal. Tangannya melewati Zidan begitu saja. "Saya mau peluk kamu tapi udah nggak bisa. Saya ingin ketemu kamu juga nggak bisa. Saya nggak bisa kembali ke atas dengan tenang jika kamu masih disalahkan atas kematian saya, Zidan."

Sekarang saya melihat Zidan yang mulanya tertidur tenang menggerakkan tubuh ke sana kemari, dahinya basah oleh keringat dingin, tangannya terkepal menggenggam seprai hingga kusut. Tapi matanya masih tertutup rapat. "Ridan..., jangan pergi, Ridan. Jangan pergi, gue belum ngenalin lo ke teman-teman. Ridan...."

Saya yang khawatir melihat Zidan tak bisa tidur tenang langsung mendekati Ridan. Saya takut sih, tapi saya juga tidak bisa membiarkan dia melakukan hal buruk pada Zidan.

"Apa yang kamu lakukan pada Tuan saya?!" tanya saya nyolot. Dia langsung menyadari kehadiran saya, menoleh dan menautkan kening. Saya berbicara dengan bahasa ayam, tapi dia mengerti apa yang saya katakan. Mata kami bertemu, sendu, begitulah yang saya dapati dari tatapan itu. "Mendingan kamu pergi dan jangan ganggu Zidan lagi! Biarkan dia tenang!"

"Saya mau opor ayam." Sekarang dia malah memandang saya seolah saya adalah hidangan lezat yang bisa dia lahap kapan saja. "Saya mau makan kamu."

Sepertinya saya dalam bahaya!

Tapi tetap saja, Zidan lebih penting dari segalanya. "Terserah! Tapi kamu pergi dan jangan ganggu Zidan!"

"Ayam bego! Tau apa kamu hah?!" Ridan melotot sekarang. "Nggak usah sok iye jadi ayam, besok juga bakal direndang!"

"Saya nggak peduli. Pokoknya kamu harus pergi dari Zidan!"

Ridan menghela. Kemudian menatap Zidan kembali dengan sorot yang sama. Sendu yang kentara. Sedangkan Zidan masih menggumamkan namanya berulang kali. "Saya kangen dia."

Sekarang saya diam.

Ridan berusaha menyentuh rambut Zidan lagi meski tahu itu tidak berguna.

"Dia mimpi buruk."

"Kamu penyebabnya!" Saya nyolot.

"Diam kamu ayam!"

Saya menyerah, berdebat dengan hantu bukan pilihan yang benar. Bisa-bisa dia memanggang saya dengan kekuatannya.

"Dia emang sering mimpi buruk. Kenangan kami menghantuinya."

Hening.

Ridan mendekati saya dalam diam yang cukup lama. Saya membatu. Dia memiringkan kepala dan tersenyum dengan bibir pucat.

"Nama kamu Justin?"

"I-iya, masalah buat kamu? Emang kenapa nanya-nanya nama saya?!"

"Nggak, saya cuma mau bilang kalau--"

"Kalau apa?!"

"Malaikat maut titip salam buat kamu. Kayaknya nggak lama lagi kamu bakal dijemput. Hehehe." Dia menyengir. Sialan! Bayangkan hantu menyengir di depan wajah kalian! Pasti kalian akan lari ketakutan. Namun kasusnya akan beda jika yang di hadapan kalian adalah Ridan. Karena dia adalah hantu yang tampan. Sangat tampan. Dia tersenyum jahil menatap saya yang bergetar. "Bercanda doang, Yam."

Akhirnya saya mendengkus lega. Sementara Ridan masih betah memandang kembarannya lebih lama. "Saya akan pastikan kamu bahagia, Zidan. Saya janji."

Saya kehilangan kata-kata mendengar penuturan dia. Bahkan ketika dia memandang saya, saya masih tak tahu harus berucap bagaimana.

"Justin?"

"I-iya."

"Tolong jaga dia."

"Iya."

"Malam jumat depan saya akan datang lagi ke sini. Saya nggak bisa kembali ke tempat seharusnya kalau belum memastikan Zidan tidak disalahkan lagi atas kematian saya. Saya nggak bisa tenang sebelum dia bahagia. Saya ingin menuntaskan semua kesalah pahaman ini." Dia tersenyum tipis. "Bantu saya, Justin. Saya tau kamu ayam yang bego tapi saya berharap banyak sama kamu."

"Saya tidak bego."

"Ah iya, tapi tolol."

"Bodoh amat!"

Kemudian saya melihat Ridan terkekeh geli.

*Sudah saya bilang jangan diseriusin. Ini cuma gabut doang kok. Nggak benar-benar nulis terniat gitu*

Btw kalau kalian suka bilang ya ehehe😇

Saya Ayam Saya Diam (Terbit)Where stories live. Discover now