Note 19 [Berbeda]

10.1K 3.2K 325
                                    

Saya suka baca komen-komen kalian, jadi jangan siders ya:)
Sorry kalau nggak sempat bales satu2

🐓

Saya pikir, setelah kami nganu kemarin, saya dan Marpoah akan menjadi lebih dekat. Nyatanya, kami malah kian canggung. Tadi saja ketika bertemu, saya tak berani menatap matanya, begitu juga sebaliknya. Junaidi sampai terheran-heran dengan tingkah kami.

Setelah mengantar Marpoah pulang ke rumah Salsa, saya masuk ke rumah Zidan.

Malam telah menunjukkan pukul delapan ketika pintu rumah besar itu diketuk, Zidan yang tengah sibuk main HP langsung bangkit dari sofa untuk membuka pintu.

Rupanya, dia mendapati ayahnya mabuk lagi. Di jam seperti ini mamanya masih di kantor dan baru akan pulang saat pukul 12 malam, parahnya tidak pulang sama sekali.

Saya merasa sedih melihat keluarga ini.

Lebih sedih lagi melihat bagaimana bejatnya mereka memperlakukan Zidan.

Tuan saya hanya diam dan membantu ayahnya yang hampir terhuyung ke lantai. Botol minuman di tangannya jatuh lalu pecah berhamburan. Aroma alkohol langsung menguar.

Zidan menuntun langkah ayahnya agar tidak menginjak beling itu. Naasnya, pria itu malah mendorong Zidan sampai jatuh ke lantai di mana pacahan kaca tadi berserakan. Sedetik kemudian, saya bisa melihat telapak tangan dan kaki Zidan mengeluarkan darah.

"Auh..," erangnya kesakitan. Tapi dia tidak begitu peduli. Setelah memastikan ayahnya duduk di sofa, Zidan hendak kembali ke kamar.

"Berhenti kamu, bedebah!"

Suara ayahnya terdengar, Zidan memejam mata dan mengepal tangannya yang berdarah. Punggung Zidan membatu ketika pria itu bangkit dan berjalan linglung untuk menghampirinya.

Saya berdiri di dekat pilar rumah hanya memerhatikan bagaimana ayahnya mendorong Zidan sangat keras.

"Saya mau bunuh kamu malam ini!" Pria itu berjongkok, keadaannya mabuk berat, dia memegang leher kaos Zidan lalu memukul wajah anak itu berulang kali. "GARA-GARA KAMU RIDAN MATI! KAMU PEMBUNUH! HARUSNYA KAMU AJA YANG NGGAK ADA! SAYA BENCI KAMU, ANJING!"

Satu hal yang saya benci dari Zidan adalah, dia tetap diam ketika sebenarnya bisa melawan dengan mudah. Bahkan dia tetap geming saat pria itu mengambil sebuah tongkat besi panjang di sudut ruangan dan memukul punggungnya.

"Ayah... cukup...," lirihnya seperti itu. Mendengar kata 'ayah' keluar dari mulut Zidan, pria sialan itu semakin emosi. "Sakit..., Ayah...."

Bukan berhenti. Zidan malah semakin disiksa.

"Saya mau kamu mati malam ini!"

"Ayah...." Mata Zidan berkaca-kaca. Wajahnya menyiratkan jika dia siap apabila harus mati di tangan ayahnya. "Nggak apa-apa, bunuh saja asal ayah dan mama bisa tenang."

"Iya! Saya akan bahagia kalau kamu mati! Kamu pembawa masalah, kamu pembawa sial! Saya benci apa pun yang berhubungan dengan kamu!"

"Maaf...."

"Maaf nggak bisa perbaiki semuanya, maaf nggak bisa bawa Ridan kembali!"

Saya tidak tahan melihatnya, refleks terbang ke atas kepala pria itu sampai pergerakannya terganggu. Ayahnya Zidan menjatuhkan tongkat besi ke lantai lalu berlari untuk menangkap saya ke sana ke mari. Untungnya saya lincah dan lihai, sangat sulit baginya untuk mendapati saya.

"Berhenti kamu ayam!" teriaknya ketika saya terbang keluar. Dia mengejar saya sampai di halaman. Dasar pria tua, belum juga sepuluh menit, dia udah kelelahan dan harus berhenti mengatur napas.

Sedangkan saya, mulai sembunyi di semak-semak. Pria itu mencari saya ke segala arah. Diam-diam saya menyelinap di belakangnya untuk masuk kembali ke dalam rumah dan melihat keadaan Zidan. Biarin aja pria sialan itu kelelahan mencari saya di luar.

Di dekat tangga Zidan terkapar lemas tak berdaya, tangan dan kakinya penuh darah, dia sulit bernapas, pandangannya sayu saat dia menarik saya dalam pelukan.

"Just... makasih--uhuk-uhuk." Zidan batuk sekaligus muntah darah. Gigi dan bibirnya merah bukan main. Bulu-bulu saya pun ikut ternoda oleh cairan merah kental itu.

Setiap kali kondisinya seperti ini, saya selalu membayangkan dia mati. Apalagi sekarang saya melihat dia memuntahkan lebih banyak darah lagi. Jika dulu ada Salsa, sekarang saya tak tahu harus meminta tolong pada siapa.

"Kalau g-gue mat-i, lo ke mana, Just?"

Saya bunuh diri.

"Sebe-lum mati g-gue mau ngomong dulu sama S-Salsa."

Bagus. Telpon dia sekarang juga.

Kemudian Zidan mengeluarkan ponselnya dari saku celana pelan-pelan. Dengan tangan berdarah, ia mencari kontak Salsa. Tak butuh waktu lama untuknya menemukan nomor gadis itu.

Zidan menelponnya. Tak lebih dari tiga detik, telepon tersambung. Entah kenapa, mendadak saya terbayang tentang bagaimana Salsa tertawa dengan cowok lain.

"S-Salsa...," Zidan memulai.

"Zidan kamu kenapa?! Kamu nggak apa-apa 'kan? Ayah kamu pukul kamu lagi?!"

Saya terkejut dengan reaksi Salsa, saya pikir dia tidak peduli dengan Zidan. Tapi dalam suaranya saya menemukan kasih sayang yang besar.

Alih-alih menjawab, Zidan terbatuk lagi. Darah keluar kembali dari mulutnya.

"Sal..., maaf."

"Aku akan suruh ayah aku jemput kamu sekarang dan bawa kamu ke rumah sakit! Aku nggak mau kamu kenapa-napa Zidan!"

"Jang-an."

"Bacot! AYAAHHHH! TOLONG ZIDAN AYAH! DIA SAKIT, DIA HARUS DIBAWA KE RUMAH SAKIT!"

Zidan sudah tidak sadarkan diri, Salsa tidak memutuskan sambungan hingga saya bisa mendengar apa yang mereka bicarakan di seberang sana.

"Ini udah malam, sayang."

"Tapi Zidan tetap harus dibawa ke rumah sakit, Ayah! Dia dipukul lagi sama ayahnya! Ayah nggak kasian sama dia?!"

"Baiklah, kita ke rumah Zidan sekarang ya."

Saya tidak bisa membayangkan apa jadinya jika ayah Salsa bertemu dengan ayah Zidan.

[Tulisan ini tidak memilik banyak part, sesuai perkataan saya di awal, semua ditulis karna saya iseng saja. Saya juga nggak melakukan persiapan apa pun saat menulis ini --sebenarnya semua cerita saya emang nggak ada persiapan sih, ehe--semua terjadi begitu saja. Jadi jika ada yang cacat dan tidak sesuai mohon maafkan, oke]

 Jadi jika ada yang cacat dan tidak sesuai mohon maafkan, oke]

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Saya Ayam Saya Diam (Terbit)Where stories live. Discover now