"Maksudnya apa, Kak?"

"Jangan pura-pura tidak tahu. Saya tidak suka, ya!"

"Emang aku nggak tahu, Kak."

Dengan napas yang Gibran hembuskan kasar, dia mendekat ke arah Sherin lantas menjelaskannya dari awal. Aroma sandalwood mendominasi indra penciumannya.

Mendengar penjelasan Gibran, sontak membuat Sherin tersenyum. Ternyata dugaannya tadi benar, jika nanti dia akan bernyanyi bersama Gibran waktu HUT sekolah.

Tiba-tiba pandangan Sherin tertuju pada meja. "Eh, Kak Gibran mau minum apa? Maaf tadi aku kelupaan."

"Tidak perlu. Lagi pula urusan saya di sini sudah selesai," jelas Gibran.

"Tunggu sampai ayah sama bunda pulang dong. Tadi sudah janji mau jagain aku 'kan? Ini aku sendirian lho di rumah. Eh, ada Bi Ida cuma lagi istirahat. Gimana nanti kalau semisal ada maling?"

Gibran kembali duduk. "Ya sudah."

"Jadi mau minum apa, Kak?"

"Terserah Anda, terpenting bukan air keran, dan bisa diminum."

Sherin tertawa mendengar perkataan itu. Secara tidak langsung Gibran ingin membuat lelucon tadi, walau hanya dengan wajah datarnya.

Beberapa menit kemudian, Sherin datang dengan membawa teh dan kue kering. Dia lantas meletakkannya di meja.

"Diminum tehnya, Kak."

"Baik, terima kasih." Saat Gibran meminum teh itu, rasanya terlalu manis untuknya sehingga dia menyipitkan matanya.

"Kenapa, Kak? Tehnya nggak enak, ya?

"Terlalu manis menurut saya."

Sherin menggaruk tengkuknya yang tiba-tiba terasa gatal, dia tersenyum ke arah Gibran. Padahal biasanya dia meminum teh dengan takaran gula seperti yang dia buat sekarang.

"Biasanya aku segini, Kak."

"Ini terlalu manis, tidak baik untuk kesehatan."

"Ya sudah, deh, aku kurangin takaran gulanya."

Ketika Sherin beranjak dari duduknya, tangan Gibran lebih dulu mencekalnya. Namun, saat dia menoleh ke arah tangannya sendiri, Gibran melepaskannya.

"Mau ke mana?" tanya Gibran.

"Ke dapur, Kak. Aku mau buatin teh lagi, kali ini nggak bakal manis, kok," jawab Sherin.

"Tidak perlu. Ini sudah cukup, lebih baik Anda duduk saja, dan baca tulisan yang tadi saya kasih. Siapa tahu ada yang harus diubah."

Sherin fokus membaca tulisan yang membentuk sebuah nada itu, sesekali dia menyelipkan rambutnya ke telinga, dan berganti posisi duduk yang nyaman.

Hening. Tak ada satupun dari mereka berdua yang berbicara. Bahkan sampai-sampai detik jam terdengar jelas, dan waktu masih menunjukkan pukul setengah delapan lebih lima menit. Kedua orang tua Sherin tak kunjung pulang.

"Kak, aku mau bicara sekaligus minta maaf sama Kak Gibran."

"Minta maaf soal?"

"Jadi, gini ...."

Mengalirlah cerita dari mulut Sherin perihal mantel hujan. Dia berniat untuk menggantinya, tetapi Gibran justru menolak keras. Mau tidak mau, dia pasrah.

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

Lagi dan lagi keheningan datang diantara mereka. Memang sesulit itukah untuk mencari topik pembicaraan.

Hingga pada akhirnya Alex dan Rina sudah pulang.

"Maaf, ya Gibran jadi ngerepotin," ujar Rina.

"Tidak apa-apa, Tante. Kalau begitu saya pamit pulang, ya, Tan, Om." Gibran bersalaman dengan kedua orang tua Sherin, sebelum dia keluar.

"Sherin antar Gibran sampai depan," ujar Alex.

Di depan rumah bernuansa cokelat, Sherin memandang Gibran yang tengah memakai helm-nya. Penampilan Gibran malam ini sangat terlihat berbeda dari yang dia lihat sebelum-sebelumnya. Walau hanya dengan balutan jaket hitam, dan celana yang senada. Membuat penampilan Gibran semakin membuat dia tak bisa berpaling.

"Saya pamit, dan ingat besok kita sudah mulai latihan."

Sherin mengangguk sekali.

"Hati-hati, Kak!" teriak Sherin yang entah terdengar atau tidak, karena Gibran sudah benar-benar meninggalkan rumahnya.  

Di tengah perjalanan, tanpa sengaja Gibran melihat penjual arum-manis. Dia teringat begitu saja Bella, alhasil kini dia memarkirkan motornya di depan penjual itu. Usai membelinya dia lantas melanjutkan perjalanan pulang.

-----

Saat Gibran sampai di rumah, betapa terkejutnya dia melihat Bella yang tengah menangis sesenggukan di depan pintu. Di sana juga mamanya yang tersenyum sinis.

"Bella, kenapa?" tanya Gibran mendekat ke arah Bella, tanpa memperdulikan tatapan tajam Elsa.

"Hiks ... Bella nggak papa kok, Kak."

Gibran menoleh ke arah mamanya. "Mah, kenapa dengan Bella?"

"Mama senggol tadi terus jatuh. Gibran, mama bisa bicara berdua dengan kamu?" Elsa melirik sekilas ke arah Bella, masih dengan tatapan tajam.

"Bella ini ada arum-manis, dimakan di dalam, ya?"

Bella lantas menerima arumanis itu dan masuk ke rumah.

"Jadi, mama mau bicara apa?"

"Kamu pilih mama atau anak sialan itu!"

Tentu saja hal itu berhasil membuat Gibran kaget. Memang, sejak mamanya membaik, dia terlihat tidak suka dengan kehadiran Bella. Namun, apa dia tega memilih diantara keduanya, yang jelas-jelas berarti dalam hidupnya.

"Kalau kamu pilih mama, kamu usir dia! Mama nggak mau lihat wajahnya lagi di rumah ini, tapi kalau kamu pilih dia! Mama yang akan pergi dari sini!" Elsa memegangi dadanya yang terasa sesak. 

"Mama kenapa bicara seperti itu? Memang Bella salah apa sama mama?"

"Dengan dia di sini, mama masih terbayang-bayang sama almarhum papa kamu. Kamu mau mama terpu—"

Tiba-tiba saja Elsa pingsan begitu saja, dan dengan sigap Gibran membawanya ke kamar. Hal itu tak luput dari pandangan Bella, dia mengintip dari balik jendela, dan menitikkan air matanya.

Ini semua salah Bella. Kayaknya Bella harus pergi dari di sini secepatnya. Dalam hatinya Bella berujar seperti itu.

.
.

Jangan lupa Vote dan Coment ya 😍

Sekian dan Terima Kasih

Sampai ketemu di BAB 15

✎﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏

Salam sayang
Azka.

Formal Boy (END) Where stories live. Discover now