slowmotion | 37. Surat Surat Bunda

537 112 14
                                    

•••

•••

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

•••

Ini dengan Choi Hyo Ri,  01 Oktober 2011.

     Tuhanku, aku berani bertaruh bahwa aku adalah wanita yang paling bahagia di dunia saat ini. Aku hampir menyerah, namun melihat putri kecilku selalu membuatku yakin aku dapat melakukannya. Apapun untuknya, bahkan jika harus kupertaruhkan nyawa dan kebahagiaanku. Hari ini, aku umumkan pada semua orang, sebentar lagi Yena akan memiliki seorang adik, ya, tiap malam dia selalu memohon padaMu, mencurahkan isi hatinya melihat teman-teman membawa adik mereka ke acara ulang tahun di sekolah membuat ia merasa iri. Suara tengilnya membuatku tak mampu mengatakan tidak, aku ingin menangis karena aku tak dapat memberikan seorang anak lagi untuk suamiku dan adik bagi Yena. Aku bisa menebak bagaimana rasa kecewa yang akan ia rasakan jika mengetahui hal itu. Namun sudah kukatakan, apapun akan kulakukan sekalipun harus kupertaruhkan nyawa dan kebahagiaan ku. Sudah kukatakan, Kau pasti akan mendengar doaku, dan menjawabnya dengan tulus membuatku kuat akan keyakinanku padaMu. Terimakasih Tuhan, kali ini aku tidak akan mengecewakan Yena ku. Jika aku sampai mengecewakan dirinya, maka aku tak akan memaafkan diriku sendiri.

Yena tersenyum, menatap lamat surat pertama yang ia baca, ingat betapa bahagianya dia saat Bunda mengatakan bahwa dirinya akan memiliki seorang adik. Kemudian ia menaruh surat tersebut di lantai, berlanjut ke surat berikutnya.

Ini dengan Choi Hyo Ri,  22 Mei 2012.

     Aku membeli sebuah villa di desa Hahoe, sebuah villa tradisional yang memiliki kenangan istimewa dalam hidupku. Itu adalah villa dimana dulu saat aku masih kuliah menginap disana, melakukan penelitian untuk skripsiku. Dan di waktu yang sama, aku bertemu dengan ayah Yena, cinta pertamaku, pangeranku, yang membuat ku jatuh pada pesonanya hanya dalam satu malam. Sangat indah. Namun mungkin ia tak ingat saat itu, aku melihatnya nampak biasa saja saat kami tiba di villa ini. Sangat disayangkan. Padahal itu akan jadi cerita yang menarik untuk Yena kenang saat besar nanti. Tak lama lagi juga anak keduaku akan lahir, aku ingin ia juga mengetahui kisah bahagiaku ini, untuk dikenang oleh mereka. Namun sepertinya sulit, karna sebuah tembok tebal yang menghalangi kebahagiaan keluarga ku telah dibangun tanpa aku sadari.



Ini dengan Choi Hyo Ri,  24 Januari 2013.

     Tuhanku, melihat Yena menimang Si kembar sangatlah membuatku ingin menangis, raut wajah bahagianya membuat perasaan tersendiri dalam benakku, menimbulkan kelegaan di hati kecilku, berharap akan melihatnya bahagia seperti ini setiap saat. Yena sudah berjanji padaku apapun yang terjadi, ia tidak akan pernah menangis lagi setelah upacara kelulusannya dulu. Bahkan bisa bisanya anak itu bercanda, akan membunuh dirinya sendiri jika melanggar janji. Menakutkan untuk anak remaja kecil seperti dirinya, namun aku paham itu adalah bentuk suatu peyakinan untukku. Putriku tidak akan melanggar janji. Jangan pernah menangis. Bahkan jika aku yang telah membuatnya menangis maka aku adalah ibu yang terkutuk. Jalani saja kehidupanku dengan normal, asalkan Yena bahagia, aku tak peduli dengan sekitarku, asalkan Yena tersenyum, aku tak peduli bagaimana sakitnya diriku, asalkan Yena bahagia, aku tak peduli betapa jahatnya orang orang yang ku percayai telah berkhianat. Tak apa, Yena selamanya tidak akan tahu. Cukup aku saja yang tersakiti, jangan putriku. Semuanya akan baik baik saja selagi Yena tersenyum dan tidak akan pernah tahu.

"Bunda ngomong apaan sih?" Yena mengerutkan dahi agak risih, sadar sedari tadi ada yang aneh dengan kalimat kalimat Bunda. Mengapa Bunda tersakiti? Bagaimana? Apa yang Yena tidak ketahui?


Ini dengan Choi Hyo Ri,  30 Juli 2016.

     Maaf. Maaf. Maaf.

Maafkan aku, Tuhan. Maaf. Aku tak pantas hidup, tak pantas bahagia, aku tak pantas menjadi seorang ibu.

     Segalanya kulakukan, agar putriku bahagia. Itu saja. Aku ingin hidup putriku tak seberat hidupku. Aku tak ingin dia menjadi seperti diriku saat sudah menjadi seorang ibu nanti. Cukup aku dan jangan Yena. Yena harus bahagia. Yena tidak boleh sengsara sepertiku.

     Aku memberinya dua orang adik. Sangat lega melihat ia begitu senang bersama dengan kedua adiknya. Hatiku tenang melihatnya. Satu yang kuingin, agar Yena menurut padaku. Tentu saja aku berikan peraturan padanya yang sudah memasuki sekolah menengah atas, pasti akan banyak lika liku yang akan ia lewati. Aku sebagai seorang ibu hanya ingin ia berada di jalan yang tepat. Belajar sebagaimana seharusnya yang dikerjakan seorang pelajar di sekolah. Namun bukannya menurut, anak itu malah berpacaran. Aku merasa gagal. Jika terus seperti itu, maka jika saja nanti Yena tersesat, siapa yang akan membantunya menemukan jalan pulang? Bagaimana jika aku tiada? Siapa yang akan membahagiakan putriku? Ayahnya? Ayahnya bahkan terlalu sibuk menafkahi keluarga. Keluarga yang sangat ia sayangi. Namun bukannya patuh, anak gadisku justru juga pergi meninggalkanku seperti yang lain. Aku sangat kecewa. Tapi harus bagaimana? Aku menyayangi putriku melebihi diriku sendiri. Hanya dia yang kumiliki. Bahkan jika aku mati, aku akan tetap melindunginya dari apapun hal buruk yang terjadi.

Yena semakin mengernyit tak paham. Sembari menatap kotak berisikan puluhan kertas surat yang ia baca, gadis itu mengulum bibirnya gundah. Ada yang tak beres.


Sepertinya hal yang telah terjadi selama ini, ada sebagian yang Yena tak ketahui.

Yena harus membaca suratnya secara urut untuk mengerti.


•••

•••

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

•••


SLOWMOTION - Choi Yena [✓]Where stories live. Discover now