25. Dio

771 97 0
                                    

Saat di tengah-tengah perjalanan, tiba-tiba mobil Dhea kembali berhenti. Namun, kali ini berhentinya di depan salah satu masjid yang ada di Bandung.

"Kenapa berhenti lagi sih?" tanya Dhea dengan kesal.

"Lo nggak liat sekarang jam berapa? Udah masuk waktunya salat Zuhur. Jadi, kita salat dulu yuk!" ajak Tama.

"Gue nggak mau salat," tolak Dhea dengan sewot.

"Lo muslim kan? Salat itu wajib, Dhe. WAJIB!" Tama mengucapkan kata wajib dengan penuh penekanan.

"Gue tau," ucap Dhea.

"Terus kenapa nggak mau salat?" tanya Tama.

"Karena gue ngerasa salat itu percuma. Dulu gue pernah salat dan gue minta sama Tuhan buat nyembuhin penyakit leukimianya Dio, sahabat kecil gue. Tapi kenyataannya, Dio malah meninggal. Sejak saat itu, gue udah nggak mau salat lagi."

Dhea mengenang masa lalunya yang sangat miris. Di mana ia harus merasakan kehilangan seorang sahabat saat usianya masih kecil.

"Dheandra Apriliana, lo salah besar kalau berpikir kayak gitu. Lo ninggalin salat cuma karena sahabat lo meninggal? Itu konyol, Dhe."

"Lo nggak ngerti. Dio itu sahabat terbaik gue. Dari kecil kita selalu bareng-bareng. Dio selalu belain gue kalau ada yang ngejailin gue dan dia yang nemenin gue main saat orang tua gue sibuk ngurusin kerjaan. Dio selalu ada di saat gue lagi seneng maupun sedih, Tam. Tapi sekarang? Hikshikshiks.. Dio udah pergi."

Tama yang melihat Dhea menangis menjadi iba. Ia langsung membawa Dhea ke dalam dekapannya bermaksud memberikan ketenangan padanya.

Tama merasakan kemeja yang dikenakannnya mulai basah akibat air mata Dhea yang terus mengalir.

"Gue kangen Dio, Tam. Hikshikshiks," ucap Dhea.

"Gue ngerti. Tapi lo nggak bisa selamanya kayak gini, Dhe. Mungkin emang udah waktunya Dio pergi. Tuhan lebih sayang sama Dio makanya Tuhan ngambil Dio lebih dulu. Dan bukan berarti Tuhan nggak mau ngabulin doa lo. Tapi Tuhan jauh lebih tau apa yang terbaik buat hamba-hamba-Nya. Coba deh lo bayangin. Kemungkinan seseorang sembuh dari penyakit leukimia itu cuma sedikit. Kalaupun Dio masih hidup, belum tentu dia bener-bener sembuh 100%. Bisa aja Dio tambah ngerasa kesakitan dengan penyakitnya itu. Dan dengan Tuhan ngambil Dio, itu berarti Tuhan mau mengakhiri penderitaan Dio. Emangnya lo tega kalau ngeliat Dio ngeluh kesakitan? Enggak kan. Ikhlasin Dio, Dhe. Dia udah tenang di sana. Yang perlu lo lakuin sekarang cuma doain Dio. Semoga dia ditempatkan di tempat yang terbaik di sisi Tuhan." Tama berkata dengah lembut membuat hati Dhea tersentuh. Dhea pun melepaskan pelukan dan menatap mata Tama dengan lekat.

"Sekarang kita salat ya. Terus kita doain Dio biar dia bahagia di sana," ucap Tama.

"Makasih banyak ya, Tam," ucap Dhea.

"Iya, sama-sama. Udah dong jangan nangis lagi!" Tama mengusap air mata Dhea dan Dheapun langsung tersenyum.

Dhea dan Tama segera turun dari mobil dan masuk ke dalam masjid.

Akhirnya untuk pertama kalinya, setelah kejadian Dio meninggal, Dhea kembali mendirikan salatnya yang sudah lama ia tinggalkan.

Selesai salat, Dhea dan Tama melanjutkan perjalanan menuju ke rumah Tama.

♡♡♡

Setelah menempuh perjalanan sekitar dua jam, kini Dhea dan Tama tiba di depan rumah keluarga Mahendra.

Rumah tersebut hanya terdiri dari 2 lantai, tapi terlihat begitu besar dan mewah.

"Lo nggak mau masuk dulu?" tanya Tama yang masih berada di dalam mobil.

"Nggak deh, Tam. Next time aja ya," jawab Dhea.

"Yaudah. Makasih ya udah repot-repot nganterin gue."

"Hahaha ... yang ada gue kali yang makasih. Lo udah bayarin semua belanjaan gue. Makasih banyak ya."

"Sama-sama. Gue masuk dulu ya."

"Iya. Titip salam buat tante sama om ya."

"Oke. Lo hati-hati bawa mobilnya! Terus salat jangan sampe lupa!" pesan Tama yang diangguki oleh Dhea.

Tama keluar dari mobil. Tapi sebelum itu, ia sempat mengusap kepala Dhea dengan lembut.

Dhea yang mendapat perlakuan seperti itu merasa hatinya menghangat.

Dhea segera pindah ke kursi pengemudi. Lalu ia melajukan mobilnya meninggalkan rumah Tama.

♡♡♡

Saat di perjalanan, Dhea kembali mengingat perlakuan Tama kepada dirinya.

Namun, saat tengah asik memikirkan Tama, tiba-tiba bayangan Arka melintas begitu saja membuat ekspresi Dhea seketika berubah.

"Arka cuma pacar sementara gue. Tapi kenapa gue ngerasa bersalah? Apa karena dia terlalu baik sama gue. Atau jangan-jangan gue udah ... nggak-nggak. Nggak mungkin! Terus Tama, kenapa dia juga baik banget sih sama gue? Dia udah bikin gue mau salat lagi. Haduh! Ada apa sih sama gue? Kenapa jadi kayak gini? Gue nggak mau suka sama dua cowok dalam waktu yang bersamaan. Gue nggak mau!"

CUPS (COMPLETED) Where stories live. Discover now