Waktu berjalan begitu cepat, sekarang sudah menunjukkan pukul 6 sore. Telepon singkat dari Genta masuk, ia memberitahu bahwa sudah parkir di basement. Hari ini Genta menjemput Ane dari kantor. Ane sedang bersiap untuk pulang saat Arga datang mengetuk dinding pembatas kubikelnya. Pria itu terlihat sudah siap pulang dengan tas ranselnya yang ia cangklong pada satu bahu sembari menenteng plastik dari kedai kopi di lobby Next.

"Mau pulang?" tanya Arga disertai senyum menawannya.

"As you see," singkat Ane.

"Kata Bagas kamu besok sidang promosi ya? Sayang posisi saya belum cukup tinggi jadi nggak bisa nonton sidang kamu," ujarnya. Kemudian pria itu melangkah mendekat meja Ane dan menaruh plastik yang ia bawa.

"Tadi saya sudah di bawah pas ingat kamu besok mau sidang. Jadi saya beli pastry buat kamu. Kata orang-orang, makan yang manis-manis bisa mengurangi nervous. Ya walaupun saya yakin orang hebat seperti kamu mudah mengendalikan nervous sih. Sama ini satu lagi," jedanya. Arga kemudian mengambil satu barang dari dalam tasnya. "Saya nggak tau sih kamu sudah punya atau enggak. For you," lanjutnya sembari menyodorkan kotak putih.

"Waduh, nggak perlu repot-repot, Ga. Thank you, loh, but you don't need to give it to me."

Arga mengedikkan bahunya. "Sama sekali nggak repot kok. Kamu buka deh," kata Arga yang dituruti Ane. Sebuah wireless presentation remote control mini yang tak pernah Ane miliki sebelumnya. Ia bahkan tak berpikir untuk membeli itu lantaran jarang sekali ia presentasi selama bekerja di Next selain saat promosi menjadi department head lalu.

"Arga, terima kasih loh. Saya nggak pernah kepikiran beli alat kecil ini yang sebenarnya penting banget buat presentasi," ujar Ane senang.

"Yap. Dipakai ya besok."

"Pasti. By the way, untuk tawaran tadi saya belum tahu datang sama siapa. Nanti saya kabarin ya," kata Ane dengan senyuman manisnya.

"Mau pulang sekarang?" tanya Arga yang diangguki Ane. "Naik MRT?" tanyanya lagi.

"Saya dijemput," jawab Ane sembari menenteng tasnya.

"Mau bareng ke bawah?" tawar Arga yang diiyakan Ane. Mereka berjalan bersisian membelah ruang HR yang terbentang luas. Sudah biasa menjadi pemandangan karyawan HR bahwa atasan mereka itu kerap berjalan dengan karyawan divisi lain, terlebih karyawan posisi manajerial yang belum lama bergabung. Sejak dulu, Ane menjadi mentor bagi petinggi yang baru bergabung di Next. Hal tersebut membuat Ane sering dicari dan dihampiri oleh mereka yang membutuhkan arahan mengenai hak-hak dan kewajiban di Next karena rasanya kurang apik bila seorang atasan bertanya pada bawahannya tentang hak dan kewajibannya.

"Kecengan baru?" tanya Genta tanpa basa-basi saat Ane baru saja duduk di kursi penumpang. Mata Genta masih terus mengamati mobil hitam yang baru saja melaju dari ujung sana.

"Sayangnya bukan," singkat Ane yang dibalas Genta dengan mengedikkan bahu. "Besok gue sidang promosi," ujar Ane sesaat Genta mulai melajukan mobilnya.

"Besok banget? Kecil lah kalau buat lo," komentar Genta.

"Lolos nggak ya kira-kira? Gue tuh nggak takut sama topik yang gue bawa, karena semua udah mateng dan emang permasalahan sehari-hari di HR, jadi gue paham banget. Tapi gue takut kalau direktur-direktur, terutama yang tua-tua itu itu pada meremehkan usia gue. Mana gue di Next baru 6 tahun," ujar Ane sambil menggulir layar ponselnya.

"Bukannya kata lo banyak bos-bos di Next yang masih muda ya?"

"Iya, tapi mereka kan level department head sama division head. Untuk position director belum ada. Sementara GM ini posisi baru dengan grade setara director. Tetua-tetua di Next tuh masih banyak yang kolot, Ta. Bahwaan dari Mahendra Group, perusahaan bapaknya Mas Bagas. Nggak percayaan sama yang muda-muda," keluh Ane.

The Only Exception [END]Where stories live. Discover now