39. Yang ditakuti

7.3K 1.7K 806
                                    

Hari-hari pas kita ngelakuin trip rahasia waktu itu rasanya menyenangkaaaaaan banget! Sayang cuman dilalui dalam sehari.

Setelah itu, sekolah berjalan seperti biasa. Gua dan temen-temen ngabisin banyak waktu sama-sama. Kita ketawa-ketawa, ngobrol pas pelajaran, contekan pas ulangan harian, pokoknya, nggak ada masalah lagi diantara kita.

Tapi, hari-hari terakhir di kelas sepuluh nggak berjalan selancar yang gua selalu harapkan.

Beberapa hari setelah libur tiga hari karena kakak kelas 12 try out persiapan ujian nasional, gua sakit.

Papa bilang, jam setengah 7 pagi itu gua belum juga keluar kamar. Dikiranya gua bangun kesiangan. Tapi, setelah ditunggu sedikit lebih lama, gua belum juga bangun. Papa ngetuk pintu kamar dengan penuh rasa takut dan sama sekali nggak ada tanggapan dari gua.

Pintu kemudian dibuka. Kebetulan nggak gua kunci. Papa nyamperin gua dan nyoba bangunin gua tapi... gua nggak bangun. Tubuh gua berwarna sedikit kekuningan dan bibir berwarna pucat kebiruan.

Papa langsung panggil ambulance sambil nangis katanya. Haha, Papa emang penakut dan sedikit cengeng kadang-kadang tuh.

Dua hari kemudianㅡhari ini, gua udah sadar. Tapi nggak bisa kemana-mana karena perut gua membesar. Kata dokter, ini adalah asites. Pembengkakan perut akibat cairan. Gua nggak begitu paham dengan keadaan ini. Tapi, setelah ini gua harus menjalani banyak tes kesehatan untuk mendiagnosa sakit gua.

Karena kebiasaan main sama temen-temen, di rumah sakit sebentar aja rasanya jadi super kesepian. Apalagi sekarang nggak boleh kemana-mana. Bahkan duduk pun dibatasi waktunya.

Gua nggak bisa makan, karena selalu muntah setiap dimasuki makananㅡbahkan bubur sekalipun. Karena itu jadi lemes banget dan nggak bisa banyak bergerak.

"Natasha haus?" Tanya Mba Anna yang gua bales dengan gelengan karena leher gua rasanya tercekat. Susah dan berat buat bicara.

"Mau apa kamu? Baca buku? Main HP?" Tawar Mba Anna.

Gua lagi-lagi geleng. Saat saat kayak gini, gua nggak mau melakukan apapun. Gua di fase udah capek istirahat, tapi gua nggak berdaya juga mau beraktivitas.

"Papa pu lang kap an Mba?"

"Kenapa? Mau ditelfonin?"

Gua gelang lagi. Kemudian menutup kedua mata. Mencoba tidur supaya waktu kerasa berjalan lebih cepat.

Nyatanya begitu. Gua bangun lagi jam setengah enam petang karena suster menyuntikkan obat ke lengan gua dan ganti infusnya karena udah mau habis.

"Perutnya masih sakit?" Tanya suster Eunbi. Gua ngangguk. Karena emang senyeri itu. Kalau dirasain bener-bener mau nangis saking sakitnya. Tapi gua nggak mau nangis karena orang-orang disekitar gua pasti sedih dan makin khawatir.

"Kata Dokter besok jadwalin skiring buat Natasha. Nanti bilangin Papanya ya, sus." Suster Eunbi bicara ke suster lainnya yang mencatat tekanan darah gua.

"Iya, Sus." Jawab suster itu.

"Istirahat yang banyak ya, Natasha. Kalau ada keluhan cepet bilang suster." Kata Suster Eunbi. Gua ngangguk. Suster Eunbi kemudiam pamit ke Mba Anna buat kembali bekerja.

"Sus." Suara serak gua bikin dua suster dengan seragam warna ungu pastel itu berhenti.

Suster Eunbi senyum. "Kenapa, Nata?"

Dengan susah payah gua mulai berbicara dengan jelas. Mengutarakan apa yang ada di benak gua. "Sus, k, kal, kalau nggak da pat d, donor, kemung kin nan buruk nya apa?"

When I Hate You | Jaemin [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang