15. Sebagai Manusia.

8K 1.9K 1.3K
                                    

Hidup pasti terasa nggak adil bagi setiap manusia, siapapun itu. Karena selalu ada keterbatasan dalam setiap hal yang paling ingin di lakukan.

Dan Tuhan cukup kejam buat gua karena udah ngambil Mama tepat disaat gua lahir di dunia ini, ngasi gua kecacatan yang sangat mustahil untuk di sembuhkan, dan tega menyingkat waktu gua yang bahkan udah sangat singkat.

Gua gak suka perasaan ini. Perasaan dimana gua bangun dari tidur yang cukup panjang. Melihat ke sekitar dengan bingung dan berusaha mengingat apa yang terakhir kali terjadi. Dan yang paling bikin sedih adalah, gua selalu bangun dengan Papa yang matanya kelihatan sembab.

Papa mengangkat kepalanya yang dari tadi tertunduk begitu denger suara dari tempat tidur yang disebabkan oleh pergerakan gua. Hal yang saat itu juga beliau lakukan adalah lari ke arah gua.

"Papa." Gumam gua tanpa suara. Masih canggung rasanya buat memulai pembicaraan.

Tenggorokan gua rasanya tercekat. Mungkin efek gua nggak berbicara selama beberapa waktu. selain itu gua juga sedikit takut sekarang. Gua ada disini karena kesalahan gua kali ini, Papa pasti marah besar.

"Natasha! Ya Tuhan..." Papa menghembuskan napas lega sambil meloloskan air matanya yang mungkin dari tadi tertahan. Kelemahan gua adalah ngeliat orang yang gua sayangi sedih sampai nangis. Apalagi Papa. Sesedih-sesihnya Papa, Papa gak pernah nangis. Tapi Papa selalu nangis setiap ngeliat gua sadar dari tidur yang lama. Gua jadi merasa bersalah.

Papa ngelus kepala gua pelan. Kelihatan jelas dari sorot matanya kalau ada banyak hal yang mau beliau sampaikan tapi mungkin beliau belum bisa ngucapin semua itu sekarang.

Ngeliat papa yang kacau kayak gini gua merasa makin sedih dan bersalah. "Maaf, Pa."

Papa ngangguk. Gua nggak pernah ngabayangin Papa cuman bereaksi seperti itu. Bibir Papa jelas keliatan bergetar, tapi akhirnya papa buka suara juga. "Nggak apa-apa selama kamu bangun." Mendengar itu gua nangis. Takut kalau suatu hari gua bikin papa makin sedih karena gua tidur tanpa bangun lagi.

"Sebentar Papa bilang perawat dulu. Kamu diem disini."

Gua menegakkan punggung. Ngutak-atik remot yang fungsinya ngontrol posisi ranjang besi yang gua tiduri supaya agak duduk posisinya. Entah gimana, gua baru sadar kalau di nakas dan meja tamu ada banyak bingkisan dan bucket bunga.

Sementara di meja kecil dekat besi penyangga infus gua, ada keranjang buah dengan sticky notes.

Gua ambil dan nangis sambil ketawa begitu baca kalau sticky notes itu dari Minhee.

"Anya, lo kapan bangun? Udah dua hari lo tidur terus nih. Gua kangen ngerjain lo. Cepet sembuh ya bro. Kita nunggu lo masuk sekolah lagi."

Gua belum pernah merasakan perasaan ini sebelumnya. Rasanya dipedulikan sama banyak orang itu bener-bener hangat dalam hati. Gua janji bakal makan semua bingkisan dari temen-temen gua tanpa sisa.

Pintu ruangan gua terbuka. Dokter Mino dan suster Eunbi kelihatan jalan tergesa. Begitu melihat mereka gua ngusap air mata dan senyum seperti biasa.

"Bener kamu keluar rumah tanpa ijin sampe lewat jam sembilan malem? Sejak kapan Natasha jadi anak yang kayak gitu?" Tanya Dokter Mino sambil ngawasin Suster Eunbi meriksa gua.

"Aku cuman ada sedikit urusan. Tapi lain kali pasti nggak akan kayak gini lagi. Janji."

"Kami selalu mengupayakan yang terbaik buat kamu. Kalau kamu nggak melakukan hal yang sama, apa yang sama-sama kita harapkan gak pernah terwujud. Percuma dokter berusaha yang terbaik untuk jaga kamu tetep sehat kalau kamu nggak berusaha juga?!"

When I Hate You | Jaemin [✓]Where stories live. Discover now