27. Apa itu menyenangkan?

6.4K 1.7K 884
                                    

Jam sembilan lebih sepuluh menit, gua me-log-out komputer gua. Pekan ujian susulan yang juga merupakan pekan remedial berakhir hari ini.

Lusa udah saatnya pembagian raport dan liburan pertama gua sebagai siswa di mulai.

Selama ini tempat gua melangsungkan ujian akhir semester 1 nggak menentu. Kadang di laboratorium komputer. Kadang di perpustakaan. Kadang di laboratorium bahasa. Terserah apa kata pengawasnya aja. Tapi untuk ujian susulan terakhir hari ini alias ujian Sejarah dan Pendidikan kewarganegaraan, dilaksanakan di perpustakaan lagi.

"Pak, saya udah selesai."

Senyum Pak Jindra mengembang. Mengangguk pelan, beliau kemudian menatap gua dengan sorot bersahabat "Kamu nggak usah terlalu berusaha. Belajar emang penting, tapi jangan sampe kamu stress dan sakit. Bagaimanapun kesehatan lebih penting. Hasil ujian cuman angka, belajar bisa setiap waktu. Soal bisa masuk atau enggaknya suatu materi, tergantung niat orang itu sendiri. Kalau dengan tulus dan ikhlas melakukannya, nggak perlu setiap hari asal konsisten, pasti bisa."

"Saya nggak pernah stress karena belajar kok, Pak. Malahan mood saya selalu jadi lebih baik pas udah belajar. Kata nenek saya, Mama saya juga dulu gitu pas sekolah. Mama cuman ngerti belajar dan selalu dapet peringkat satu. Oh iya, Natasha ada cerita menarik soal Mama. Bapak tau, suatu hari setelah pembagian rapot, Mama Natasha pernah nangis ke Nenek."

"Kenapa? Karena nilainya tiba-tiba turun?"

"Bukan. Karena Mama peringkat satu lagi. Pak wali kelas ganteng tau kenapa mama sedih? Soalnya Mama capek banget selalu ditawarin olimpiade. Nenek saya padahal nggak pinter. Apalagi kakek. Tapi saya juga nggak tau kenapa Mama pinter? Mungkin... itu udah nasib. Setelah saya pikir-pikir lagi, Mama nggak hanya pinter belajar aja karena Mama juga pinter cari suami. Sekedar informasi dan bukannya mau pamer, tapi, suami Mama saya itu adalah Papa saya."

"...... saya juga tau itu."

Pak Jindra memang berpengetahuan luas. Merasa cocok ngobrol sama beliau, gua menarik salah satu kursi dan duduk di hadapannya. "Rasanya umur empat puluhan itu seperti apa sih, Pak?"

Pak Jindra menghela napas. "Berat mungkin?" Laki-laki itu terkekeh. "Karena diumur segini, yang kita pikirkan bukan diri sendiri. Di usia ini, manusia harus sibuk mencari uang. Uang buat anak sekolah, uang buat tabungan masa tua, uang buat pernikahan anak suatu hari nanti, dan yang terpenting uang buat cadangan kalau sewaktu-waktu ada kejadian yang nggak berjalan sesuai rencana. Di usia ini, manusia hanya bergantung pada dirinya sendiri. Di usia empat puluhan, kita sama sekali nggak bisa bergantung sama orang tua lagi. Kita juga belum bisa bergantung sama anak karena mereka masih dalam masa pertumbuhan. Di usia ini, kita sering dibenci sama anak sendiri karena kita terlalu sering mengomel. Padahal niat orang tua cuman mau anaknya lebih dari mereka."

"Natasha pernah kesel sama Papa kamu?"

"Pernah. Saya biasanya kalo ngambek suka nyenyenyein Papa setiap ngomong. Saya juga suka tiba-tiba ngejabut bulu kaki Papa pas nonton TV dan saya marah sama Papa. Saya kok jadi merasa berdosa ya, Pak."

"Wajar anak merasa gitu ke orang tuanya. Mereka cuman nggak tau aja gimana masa depan yang dipusingkan orang tua mereka. Mereka belum pernah jadi orang tua. Tapi orang tua mereka pernah seumuran mereka. Hmmm... mungkin sedikit rumit untuk diceritakan. Pokoknya, kamu rasain aja sendiri nanti usia empat puluh tahun itu seperti apa rasanya."

"Saya aja mungkin nggak tau gimana rasanya umur dua puluh tahunan, Pak." Gua ketawa kecil. "Terakhir kali saya dengar... obat udah nggak begitu ngaruh buat saya. Hehe. Ini rahasia diantara kita ya, Pak! Saya nggak mau orang-orang tau dan kasian sama saya. Terus terang..... itu bikin saya sedih."

When I Hate You | Jaemin [✓]Where stories live. Discover now