16. Luka

8.6K 1.9K 1.3K
                                    

Sore ini gua ada janji main layang layang sama Chenle di halaman belakang rumah sakit.

Chenle bilang dia yang beli layangan. Jadi setelah cuci muka dan di seka Mba Anna, gua ijin jalan-jalan keluar.

Ini jam tiga sore. Lantai dimana gue di rawat selalu sepi karena seperti yang pernah gua ceritakan, sangat jarang ada orang biasa yang mau di rawat di kamar VIP kelas pertama di rumah sakit ini. Gua tau biayanya nggak main-main. Beberapa hari nginep aja gua pernah denger Papa menghabiskan hampir 75 juta. Tapi emang obat-obatan buat gua Papa maunya yang paling baik.

Belum lagi Papa juga udah menyiapkan uang buat transplantasi hati. cuman dari dulu belum menemukan pendonor yang pas.

Dulu pernah Papa liat ada yang bikin status di facebook dengan tulisan 'Pengen jual organ tubuh aja gua rasanya buat nonton konser.' Setelah di hubungi Papa, katanya dia cuman bercanda. Huh, orang kayak gitu jahat banget sih. Kan di dunia ini ada yang benar-benar membutuhkan hal itu.

Jujur gua mau nggak mau juga menjalani operasi transplantasi hati. Mau nya, gua pengen hidup lebih lama. Tapi nggak maunya, gua takut. Itu operasi besar yang mana resikonya juga pasti besar juga.

Sampai lantai bawah dan melewati poli anak, gua dipanggil beberapa anak pasien tetap rumah sakit ini. Kita bernasib sama. Lahir dengan kekurangan dalam diri kita. Masa kecil kita habis untuk berobat. Jadinya terkadang orang nganggep gua aneh karena terlalu bersemangat. Gua cuman mau memberi kesan yang baik ke semua orang padahal.

"Kak Anyaaaaaaa. Kak Anya sakit lagi?" Lucy, anak perempuan yang sepuluh tahun lebih muda dari gua manggil. Cewek itu lagi baca komik di kursi yang disediakan di depan poli anak dengan Mba Mba penjaganya yang nemenin.

"Iya. Lucy kenapa masuk rumah sakit lagi, Mba?" Tanya gua. Berhenti di depan mereka.

"Waktunya cuci darah Kak Anya." Jawab Mba pengasuh Lucy. Gua kemudian ngeliat ke arah Lucy yang lagi ketawa baca komik dari iPadnya. Anak ini ceria dan selalu senyum walau sakitnya nggak main-main parahnya. Gua tau dari suster Eunbi kalau dari usia 3 bulan, Lucy udah rutin cuci darah.

Anak yang terlahir nggak beruntung seperti gua dan Lucy ada banyak. Itulah kenapa bagi kita kehidupan sangat berarti.

Gua dan Lucy adalah anak dari orang tua yang menanti kematian orang lain yang bersedia mendonorkan organ tubuhnya. Terdengar jahat, tapi kalau gua adalah orang tua dan punya anak yang sakit juga, gua akan melakukan hal yang sama.

Hp gua bergetar. Chenle yang telfon. Gua permisi ke Mba pengasuh Lucy untuk mengangkat telepon Chenle. "Halo?"

"Gua udah di taman belakang nih. Lo dimana?"

"Iya iya!! Aku jalan cepet kesana."

"Gak usah buru-buru. Gua gak apa-apa nunggu sebentar."

Tanpa menjawab Chenle, gua matiin HP. Masukin benda itu ke saku baju gua dan menarik besi penyangga infus untuk segera menemui Chenle.

"Leleeeeee." Teriak gua begitu liat Chenle duduk sambil scroll HP di dekat air mancur. Chenle hari ini dandan rapi banget.

Pakai smartwatch dengan strap coklat, kaos putih polos dengan logo adidas kecil di bagian dada kanan sama pakai celana Jeans selutut warna moca. sepatu dari Fendi yang dia pakai bikin penampilan casualnya kelihatan semi formal.

"Udah baikan?" Chenle nyentuh kening gua pakai telapak tangannya.

"Kata dokter besok atau lusa bisa pulang. Mana layangannya. Mau main."

"Ini." Chenle mengeluarkan suatu kardus dari paper bag yang dia bawa. Ini apa? kok besar?

"Gua nggak tau beli layang-layang dimana. Jadi gua beli drone. Nggak apa-apa kan?"

When I Hate You | Jaemin [✓]Where stories live. Discover now