33

1.8K 168 2
                                    

Happy reading......




Yang kutahu, Tae itu orang yang kuat. Bahkan saat dia kecil dan terjatuh dari belajar bersepeda dia bahkan tak menangis.  Padahal darah keluar deras dilututnya. Aku yang melihatnya justru panik dan menangis kencang tapi dia masih bisa terkekeh lucu.

Saat dia tahu kenyataan soal sang ibu. Saat dia tahu kenyataan jika kaki nya sudah tak normal lagi. Dan saat dia tahu jika impiannya hilang dengan mudahnya, dia bahkan masih sanggup tersenyum dan menanggapinya dengan pikiran dewasa.

Tae itu tubuh dengan mandiri. Aku tahu. Meski Ibu tak menyukainya, Tae tetap menyayangi Ibu layaknya Ibu kandung. Ayah memang selalu adil dalam memberi kami berdua kasih sayang. Tapi tetap saja, yang kutahu ayah itu penggila kerja dan ibu juga.

Bisa dihitung dengan jari mereka pulang dalam setahun. Uang memang selalu mengalir dalam kartu kami. Tapi aku sadar mereka tak punya cukup waktu untuk mengalirkan kasih sayang yang cukup bagi kami.

Aku tak mencoba untuk menyalahkan ayah dan ibu, toh akhirnya semua yang mereka lakukan selalu berakhir dengan alasan 'untuk kami'.

Membangun bisnis di negeri orang memang mau tak mau harus siap menyorbankan segala hal. Seperti yang ayah lakukan. Mengorbankan waktu dan juga tenaganya. Mengorbankan anak-anaknya.

...

Ingatan hari ini seolah terekam jelas dikepalaku. Aku yang seenaknya mengatur Tae. Kookie yang memintaku membelikan Tae kesemek kering. Teriakan Tae yang terdengar. Kookie yang ketakutan. Pertengkaran ku dengan Tae dan berakhir dengan Tae jatuh dari tangga.

Ingatan itu berputar terus menerus dalam kepalaku. Aku kembali takut dengan keadaan nya. Terjatuh dari tangga dan mendapatkan kepalanya terantuk lantai dengan keras dan berakhir berdarah.

Semua itu membuatku takut. Kakinya bahkan belum sembuh total tapi mengapa seolah musibah menimpanya lagi. Seandainya saja aku tak mendesaknya menjawab pertanyaanku. Seandainya saja aku menuruti kata Kookie untuk membiarkan Tae dengan waktu yang dia miliki. Seandainya saja.

Tapi percuma aku menyesalinya. Semua sudah terjadi dan berakhirlah disini. Dirumah sakit. Untuk kesekian kalinya kami mengunjungi tempat yang bau antiseptik itu.

...

"Tae! "

Chim terkejut bukan main. Saudaranya terjatuh dari tangga. Darah dikepalanya sudah bercecer dilantai. Dilihatnya Kookie dengan segera menangkup tubuh ringkih itu. Chim berlari menuruni tangga. Terlalu panik untuk melakukan apa.

" Panggil ambulans kak, cepat! " Kookie meneriakinya. Dengan tangan yang masih gemetar menekan nomor dial itu. Membuang nafas sejenak untuk melepas rasa panik nya. Nomor itu tersambung, berkatakan dengan seksama untuk membawakan ambulan ke rumah segera lalu tertutup telfon itu sepihak.

...

*Cklek

Pintu rawat itu terbuka. Kulihat paman keluar dari ruangan itu menampilkan wajar lelahnya yang kentara dibalik senyumnya. Aku berdiri menghampirinya. Sedangkan Kookie masih setia dengan duduknya memandang paman.

"Jadi bagaimana keadaan Tae paman?"

Paman tersenyum lembut padaku. Namun bisa kulihat mata penuh sendu nya.

" Tak ada masalah pada kepalanya Chim. Syukurlah kepalanya hanya butuh beberapa jahitan". Ucapan itu membuatku sedikit lega.

"Tapi, maaf Chim...  Kau tau kan kaki Tae itu sudah parah. Dan kurasa penyebab dia terjatuh dari tangga karena kakinya tiba-tiba lemas seketika. Kami mencoba mengusahakan nya Chim tapi kau juga harus tahu. Kami bukanlah Tuhan"

Ah. Kakinya ya. Ternyata sudah diambang batas. Tae sudah menyerah ternyata. Aku terkekeh pelan dengan nada yang menyakitkan untuk didengar.

"Jadi begitu rupanya. Padahal besok aku akan mengajaknya untuk kemo. Dan pastinya paman juga sudah tau kalau Tae meminta ijin untuk tak melakukannya minggu ini. Itu penyebab pertengkaran kami dan berakhir disini"

Aku menunduk diam setelahnya, ku rasakan tepukan pelan dibahuku. Kookie tersenyum padaku seolah mengatakan jika semua akan baik-baik saja. Paman masih diam dihadapanku ikut mengelus ujung kepalaku dan memberitahuku untuk segera masuk menemani Tae.

Kuanggukan kepalaku lalu masuk ke ruang rawat bersama Kookie yang sebelumnya kuucapkan terimakasih pada paman.

Kulihat wajah pucat itu terbaring di ranjang pesakitannya lagi. Rasa bersalah memenuhi kepalaku. Seharusnya aku yg harus selalu ada disampingnya untuk masa-masa sulit dan senangnya. Tapi  nyatanya aku justru menambah bebannya lebih banyak. Hah. Kakak macam apa aku ini.

"Aku beli makanan di kantin rumah sakit dulu ya, kak. Kau harus makan agar tidak sakit juga"

Kookie benar, ini sudah petang. Waktunya makan malam. Mau tak mau aku menyetujui perkataannya. Kudengar suara pintu terbuka dan kurasa Kookie sudah pergi. Aku masih terus terfokus pada kepala Tae yang terperban itu.

"Maafkan aku Tae, aku kakak yang tak becus merawatmu. Maafkan aku"

.

.

.

.

So? (The END)Where stories live. Discover now