˚。⋆03. oh, it's too late⋆。

84 23 4
                                    

Annyeonghaseyo
Gimana kabarnya?
Ada yang nunggu Rafa?
Voment, yuk!

Happy Reading


Ceklek ....

Sepi, hening, dan sunyi. Sudah biasa di rumah ini.

"As-"

"Dari mana kamu?" Salam Lunna terpotong ketika Ayahnya tiba-tiba muncul dari dalam kamar.

"Lunna abis ikut lomba lagi, Yah, " jawab Lunna gemetaran sambil menunjukkan piala hasil lombanya tadi. "Lunna menang lagi, Ayah pasti seneng, kan?"

Baskara membuang muka dan tersenyum smirk. "Cih! Menang gitu aja bangga kamu? Hahaha, Lunna ... Lunna. Zaman sekarang, bakat kayak gitu tuh nggak bisa dibanggakan. Karena apa? Karena nggak bisa kamu pake nyari kerja. Kembangin aja prestasi akademik kamu. Hobi kok coret-coret nggak jelas. Mau jadi apa kamu di masa depan? Tukang cat?" Baskara meninggalkan Lunna yang masih berdiri mematung di depan pintu. Ia benar-benar tak memikirkan perasaan anak tunggalnya itu.

Sebisa mungkin, Lunna menahan air matanya supaya tidak menetes. Ia tak mau terlihat cengeng. Karena jika Baskara melihatnya menangis, pasti akan keluar kata-kata yang menjatuhkan mentalnya lagi.

Lunna berlari ke kamarnya. Mengunci pintu, bersembunyi di dalam kamar mandi, dan menangis sejadi-jadinya di sana.

"Kapan Ayah bisa apresiasi karyaku? Kapan aku bisa dibanggakan kayak anak-anak di luar sana?" Tubuh Lunna melemas. Tangannya gemetaran. Ia melihat wajahnya di cermin. Sangat memprihatinkan.

Lunna membasuh wajahnya dengan air mengalir. Berharap bekas menangis itu hilang. Lalu ia keluar dari kamar mandi. Ia mengambil piala juara pertama yang tadi ia lempar ke atas tempat tidur.

Lunna menatap lekat piala itu. "Bakat aku ngga berguna, ya?"

Lunna menyimpan pialanya ke dalam lemari khusus yang di dalamnya terdapat banyak sekali penghargaan mulai dari sertifikat, piagam, medali, dan juga piala lain dari lomba melukisnya sejak kecil.

Lunna sering berkompetisi di berbagai daerah. Tak heran jika ia kini telah memiliki segudang prestasi dunia art dan telah dikenal di kalangan anak seni seluruh Indonesia.

***
Seorang remaja laki-laki berlari dan melebarkan senyumannya sambil membawa sebuah piala berukuran cukup besar. "Mamaa! Papaaa!" teriaknya.

Ia menghampiri kedua orang tuanya yang sedang menonton televisi di ruang keluarga. Ia menyembuhkan piala itu di belakang punggungnya.

"Apaan tuh?" tanya Mamanya.

"Lah iya tumben kamu? Gimana hasil lomba melukisnya tadi?"

Remaja laki-laki itu menunjukkan pialanya. "AKU JUARA PERTAMA! MAMAAA, PAPAA, ANAK KALIAN DAPET JUARAAA!" Senyumannya melebar dan melompat kegirangan.

Orang tuanya pun ikut merasa bangga dengan pencapaian anak tunggal mereka. Pasalnya, ini kali pertama putra mereka mendapatkan juara setelah sekian kali mengikuti kompetisi melukis di kota Medan.

Keluarga kecil itu berpelukan, menangis terharu, dan tak henti-hentinya mengucap syukur.

"Ma, Pa."

"Kenapa, sayang?"

"Piala ini ...."

"Kenapa dengan pialanya? Kamu belum puas?"

Remaja itu menundukkan kepalanya. "Bukan begitu, Pa."

"Lalu? Ada apa denganmu?" tanya Mamanya.

Remaja laki-laki itu kembali tersenyum, mengangkat kepala, dan menatap lekat pialanya.

Rafaelluna's Diary (silent love) Where stories live. Discover now