˚。⋆07. i miss you⋆。

58 21 0
                                    

haii, kalian pernah kangen berat ngga, sih?
sini kangen bareng sama Lunna

Happy Reading 💐

Hujan deras tiba-tiba turun mengguyur kota Tasikmalaya sore itu. Lunna yang sehari-harinya berangkat dan pulang sekolah dengan kendaraan umum, hari ini terpaksa harus berjalan kaki karena sudah terlalu sore, tak ada kendaraan yang masih beroperasi.

Karena hujan, ia berteduh di sebuah emperan toko yang sedang tutup. Gadis itu berdiri memeluk tubuhnya sendiri yang menggigil kedinginan.

Ia melirik jam tangannya yang saat ini menunjukkan pukul 17.20 WIB.
"Udah petang. Setengah jam lagi maghrib."

Ia melangkahkan kakinya ke depan dan mengulurkan tangannya untuk melihat apakah hujan ini akan membuatnya basah kuyup atau sekedar basah ketika sampai di rumah nanti.

"Masih deres, tapi nggak sederes tadi. Apa aku pulang sekarang aja, ya?"

Lunna melepas cardigan dan tas punggungnya. Lalu ia memeluk tas punggung tersebut dan menutupinya dengan cardigan supaya sedikit terlindungi dari hujan.

Setelah itu, ia nekat berlari menerobos hujan yang padahal jika terkena hujan, ia akan sakit.

Membutuhkan waktu kurang lebih 10 menit untuk Lunna sampai di rumahnya. Dengan tubuh yang masih menggigil kedinginan, ia memencet bel rumahnya sambil memanggil sang Ayah.

"Assalamu'alaikum, Ayah. Ini Lunna."

Tak lama setelahnya, Baskara membuka pintu sambil membawa secangkir kopi.

"Bagus, baru pulang jam segini. "

Lunna menunduk. "Maaf, Ayah."

"Darimana aja kamu? Nongkrong sampai lupa waktu? "

"Enggak, Yah. Tadi Lunna bantu teman organisasi-"

"Halah." Baskara memotong ucapan Lunna. "Teman organisasi, kan? Sudah pasti kamu nongkrong sampai lupa waktu. Nongkrong dari mana kamu? Atau abis caper sama cowok di club?"

"Bukan, Lunna daritadi di sekolah, kok. Bikin propo-"

"Gak usah kebanyakan alesan, Lunna." Baskara kembali memotong ucapan Lunna.

"Kamu pikir Ayah tidak pernah merasakan masa muda? Ayah tau kalau anak muda pulang jam segini pasti ngelakuin hal-hal yang nggak bener."

Pria itu menyeruput kopinya. "Abis jual diri di mana kamu?" tanyanya.

"Ayah!" Lunna yang sedari tadi menahan emosinya, kini ia lepaskan karena tidak tahan. Bagaimana tidak? Ayahnya sendiri menjatuhkan harga dirinya sebagai seorang perempuan.

"Kenapa? Bener, kan yang Ayah omongin? Sekarang dapet uang berapa kamu?"

"Ayah! Jaga mulut Ayah. Kenapa Ayah bisa menuduh Lunna sekotor itu tanpa bukti? Ayah bahkan tidak pernah peduli soal kehidupan Lunna selama ini. Tapi kenapa tiba-tiba Ayah menyimpulkan bahwa Lunna adalah gadis yang sangat kotor."

Baskara tersenyum tanpa dosa. "Kamu dan Bunda kamu itu sama saja. Sifatmu sejak kecil 100 persen menurun dari Bundamu. Dulu dia pernah melakukan tindakan keji itu, kan? Bundamu pernah jual diri. Jadi, bukan tidak mungkin kamu akan mengikuti jejaknya."

Brak ....

Lunna yang sudah tidak tahan itu menendang kursi teras dengan cukup keras.

"Apa-apaan kamu, Lunna? Sudah mulai berani dengan Ayah?"

"Cukup, Ayah. Lunna cape. Ayah pikir selama ini Lunna nggak sakit hati setiap kali Ayah merendahkan Lunna? Menjatuhkan impian dan harga diri Lunna? Ayah pikir Lunna tidak punya hati? Di mana hati nurani Ayah sebagai seorang kepala keluarga?" Lunna menjeda kalimatnya. Ia menangis.

Rafaelluna's Diary (silent love) Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz