EMPATPULUH DELAPAN

8.4K 561 21
                                    

🔹🔹🔹





"Van lo mau ke mana?" tanya Langit melihat Kevan yang sedari tadi gusar, sekarang malah menuju pintu keluar ruangan khusus ini.

"Pulang Bang." Kevan menoleh sebentar menjawab pertanyaan Langit, lalu benar-benar keluar dari ruangan itu.

Teman-temannya yang di ruang tamu pun tidak dia gubris, dia langsung menuju mobil yang berada di pekarangan markas.

Tidak tahu kenapa firasat hati Kevan tidak nyaman, sekarang dia sedang perjalanan menuju rumah Eca.
Di sepanjang jalan Kevan selalu gusar, Ecanya tadi sangat terpukul di rumah sakit, setelah mendapatkan kabar Caca tidak ada perkembangan sama sekali.

"BANGSAT." Dia memukul stir di depannya, untuk menghilangkan kecemasan yang berkecamuk di pikirannya.

Setelah melewati hujan deras yang jatuh di kota ini, dengan berlomba-lomba menjatuhkn dirinya ke bumi yang sudah lama tidak disentuh mereka, seakan-akan mereka bersorak kegirangan.

Sesampainya Kevan di rumah Eca kakinya melangkah menuju pintu utama, tetapi ada hal yang janggal di penglihatannya.

"Kaki?" Mata Kevan menyipit karena terhalang dahan pohon. Setelah penglihatannya jelas dia menjatuhkan payung yang sedari tadi dia genggam untuk berlari menuju ke sana.

"ECA." teriak Kevan jantungnya hampir terlepas, dia sungguh takut melihat kejadian di depan matanya. Dalam sekejap Eca menjatuhkan dirinya dari atas balkon lantai 3. Mereka berdua tergeletak di tanah terkena genangan air.

"ECA LO GILA! KENAPA LO BUNUH DIRI, BANGUN LO." Kevan menggoyangkan tubuh Eca yang tadi berhasil ditangkap kedekapannya.

Eca sempat tertegun, lalu menatap wajah Kevan di hadapannya. "Kevan gue ga mau mati, gue takut, tapi gue lebih takut hidup di sini, semuanya ga adil buat gue," raungnya di dekapan Kevan dengan tangan bergetar mencengkam baju Kevan. Dia menumpahkan semua rasa sakit di sana.

Kevan membawa Eca kedekapannya, hatinya sangat sakit melihat kejadian tadi. "Lo jangan kegini Ca, gue takut lo pergi, j--angan pergi Ca, gue gak mau kehilangan lo, lo harus bahagia seperti takdir kita."

Kevan juga menumpahkan tangisnya, lututnya terasa lemas melihat kejadian yang tidak pernah terbanyangkan olehnya.

"Gue bakal marah ke diri gue sendiri, kalau tadi gue sedetik aja, gua telat nangkap lo." Kevan ikutan menangis bersama derasnya hujan mengguyur dua insan yang sedang meresapi rasa takut bersama.

Akhirnya tanpa berlama-lama di sana, Kevan membopong tubuh Eca untuk kembali ke kamarnya. Sesampainya di kamar Kevan membawa Eca menuju ke sofa single, lalu mendudukan Eca di sana, dia berjongkok menggenggam kedua tangan Eca yang dingin.

"Jangan pernah lakuin hal seperti tadi lagi! Gue marah Ca, gue benar-benar marah kali ini!" Kevan mentap Eca dengan mata memerah, menahan emosi yang membuncang.

"Maaf." Eca menunduk dalam, takut melihat mata tajam Kevan.

"Apa lo udah lega?" Kevan menangkup wajah Eca agar melihat dirinya. Eca mengangguk kecil, lalu Kevan berdiri berjalan ke toilet mencari handuk untuk menutupi tubuh Eca yang menggigil.

Setelah kembali dengan beberapa handuk, Kevan dengan telaten menutupi tubuh Eca, lalu dengan senantiasa dia mengeringkan rambut basah Eca di hadapannya dengan membungkuk. Eca yang diperlakukan seperti itu hanya diam mematung.

"Ayo, lo sekarang mandi nanti sakit." Kevan membangunkan Eca dari sofa, Eca hanya menuruti semua kelakuan Kevan, tetapi Eca tidak bergerak sama sekali tatapan dia masih kosong.

"Kenapa, hm?" tanya Kevan melihat wajah sendu Eca, dia menghela nafas pelan.

Lalu Kevan yang tidak tega kembali menarik Eca kedekapannya. Eca di dekapan Kevan hanya diam menghirup aroma parfum maskulin cowok di depannya ini. Merasakan kehangatan yang menjalar ke hatinya.

ANTAGONIS URAKAN [END]Where stories live. Discover now