EMPATPULUH LIMA

8.7K 475 30
                                    

💧💧💧






Hari minggu berikutnya, seorang gadis tengah berdebat dengan penjaga toko, panasnya cuaca hari ini mengalahkan panasnya perdebatan antara mereka.

"Gak ada Neng," ulang si Bapak kesekian kalinya.

"Ada, ada ih,"

"Gak ada!" Mata Bapak itu sudah membuntang, melayani pembeli aneh di depan kasirnya ini.

"Ga mau, ga mau! Maunya beli di sini!" rengeknya.

"Di sana ada, Neng." Tunjuknya keluar toko dengan sabar seluas perutnya yang buncit.

"Ada, ada ih." Ia mengentak-entakan kakinya.

Datang seseorang dari belakang yang sudah jenuh dengan perdebatan tidak berfaedah itu. "Pergi ga lo Ca! Lo cari bunga pepaya, di toko bunga buat apa?!"

Caca melirik Eca seklias. "Caca benar, kok, sama- sama bunga," tandasnya tak mau kalah.

"Hadeh, pergi aja yuk cari di tempat lain," bujuk Eca sekali lagi menarik pergelangan tangan Caca agar mengikutinya.

"Dari tadi, kek Neng, ajak pergi temannya!" kesal Bapak itu.

"Maaf, ya, Pak." Eca menunduk sopan lalu menggeret Caca keluar toko, lalu mengajaknya memasuki pasar yang berada di seberang jalan.

Di sinilah Eca sekarang, di pasar karena ditarik paksa Caca untuk mengikutinya hari ini, pagi-pagi buta sekali tepatnya jam 9, dia mengajak Eca kepasar—awalnya dia tidak mau, tetapi karena dengan alasan maminya Caca ngidam, mau tidak, mau dia menuruti kemauan Caca hari ini.

Mereka melangkahkan kakinya memasuki kios toko pasar tradisional, di sini banyak sekali para pedagang yang menawarkan dagangannya, walaupun tradisional—di sini sangat bersih. Setelah lama mencari ke sana kemari kios yang menjual bunga pepaya, akhirnya mereka menemukannya juga walaupun di depan jalan keluar. Mereka lalu membeli sebungkus plastik bunga itu.

"Mana duitnya, Ca?" tanya Eca menadah kearah Caca, setelah menerima plastik belanjaannya.

"Lho, bukanya Eca yang mau bayarin?"

"Dih, gue ga bawa duit Caca kan tadi lo yang buru-buruin gue mana sempat gue bawa dompet," omelnya meremas baju Caca di samping dan sesekali melirik pedagang di depan.

"Terus gimana ini Eca?" Caca berbisik ke Eca.

Eca menghela nafas kasar, lalu menaruh kembali plastik di tangannya ke depan meja pedangan itu kembali. "Pak kita ga jadi beli, kita lupa bawa duitnya, nanti kita balik lagi deh Pak," ucapnya malu-malu kucing.

"Emang bunga pepayanya buat apa Neng?" tanya Bapak pemilik kios.

"Mami Caca lagi ngidam Pak, dia dari semalam ngerengek minta dibeliin itu terus sama Caca," katanya sambil mengeluarkan jurus kasihan.

Bapaknya berpikir sejenak memperhatikan kedua gadis di depannya ini memandang dirinya dengan tampang memelas. "Kalau gini aja gimana? Kamu jagain sebentar dagangan jualan Bapak, kebetulan Bapak mau pulang sebentar, nanti Bapak balik lagi bunga pepayanya gratis deh, buat Neng berdua saja gimana?" tawar Bapaknya.

"Yipi ... gratis!" Caca bersorak gembira, lalu menoleh ke arah Eca di samping dengan pipi mengembang dan memperlihatkan giginya yang rapi.

"Setan, bukan itu masalahnya Caca, kita disuruh dagang, lo emang mau?" Menoyor kepala Caca di sampingnya.

"Gapapa Caca siap, kok, demi Adik baru Caca, daripada pulang lagi nanti di amuk Mami, dia sensitif banget sekarang," bebernya cemberut mengingat Maminya.

ANTAGONIS URAKAN [END]Where stories live. Discover now