16 || Alegori Mawar Hitam

52.5K 5.8K 2.2K
                                    

Selamat siang, sore, malam, pagi👋

Kapan kalian baca ini?

Absen dulu yang udah hadir dengan menyebutkan tokoh favorit kalian di cerita ini.

Udah follow 👉

Typo-nya tolong ditandai, ya.

Kalo bisa komen di setiap paragraf biar kelihatan rame gitu, walau nyatanya sepi😭

.
.
.

"Na," panggil Akifah. Putrinya yang lagi memotong sayur itu langsung menoleh.

"Iya, Bu?"

"Mau masak apa?"

"Hmm, malam ini Ibu maunya apa? Biar Zaina masakin," jawab Zaina tersenyum. Tangannya dengan lihai mengiris wortel membentuk persegi panjang kecil-kecil.

"Masakin capcay, tumis kangkung kesukaan kakak kamu aja," jawab Akifah tersenyum.

"Siap, Ibu," jawab Zaina dengan tangan hormat kepada sang ibu. Akifah hanya tersenyum melihat itu.

"Sambel terasinya jangan lupa," tambah Akifah. Zaina langsung terkekeh. Gus Arfa memang sangat menyukai sambal khas Indonesia itu. Bahkan dulu saat ia masih menjalani study-nya di Istambul, tak segan-segan laki-laki itu meminta untuk dikirimkan sambal terasi.

Di sela-sela pekerjannya, sesekali Zaina mencuri pandang ke arah ibunya yang lagi duduk di meja makan. Wanita yang melahirkannya itu sedari tadi memperhatikannya.

"Bu, kenapa liatin Zaina kayak gitu?" tanya Zaina akhirnya memutuskan untuk bertanya.

"Sebenarnya ibu mau nanya,"jawab Akifah.

"Soal apa itu? Hmmm, yang tadi siang, ya?" tebak Zaina.

"Iya, Na. Gimana?"

"Maaf, ya, Bu. Zaina ketemu sebelum waktunya," jawab Zaina menunduk. Gerakan memotong wortel terhenti.

Akifah berdiri, lalu berjalan mendekat ke arah putrinya. Tangan wanita itu terangkat untuk mengusap bahu anaknya.

"Enggak apa-apa, ibu nggak mempersalahkan itu. Kalian bertemu pun nggak akan berdosa, justru ibu khawatir kalian berjauhan. Kalian suami istri ...."

"Ibu nggak usah khawatir," ucap Zaina. Gadis itu kembali mengerjakan pekerjaannya.

"Besok pagi ibu sama kakak mau ke rumah mertua kamu. Mau ikut?"

"Emang boleh?"

☕☕☕

Sedari tadi mata Zayden sulit sekali untuk diajak tidur. Jam sudah menunjukkan pukul setengah satu malam. Namun, ia masih berguling-guling di kasurnya seperti anak kecil.

[Malam atau udah pagi, sih, jam 1 gitu?]

"Aarrggh, menyebalkan," rutuknya. Karena kesal, Zayden akhirnya duduk.

"Untung udah nikah, kalo nggak udah dapat dosa bertubi-tubi gue bayangin wajah gadis itu," gerutunya.

"Gadis istri," lanjutnya.

Sejak tadi ia memikirkan Zaina, rumah tangganya, pekerjaan, tabungannya yang baru setengah dan masih banyak lagi. Di saat seperti ini ia jadi teringat mendiang sahabatnya.

"Biasanya gue cerita ke lo, Lan. Terus lo bakal maki gue karena nelpon malam-malam," gumam Zayden mengusap kasar wajahnya.

Menyadari seberapa pentingnya seseorang terkadang memang saat orang itu telah tiada.

𝐙𝐈𝐍𝐍𝐈𝐀 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang