Wilayah Para Ular

5.3K 498 228
                                    

Mixed story idea with my bestie, Sindy. Thank you so much for inspiring me!

◇◇◇◆◆◆◇◇◇◆◆◆◇◇◇

-Blu-

Aku duduk di pinggir kantin sendirian, kebingungan dengan tangan kiri yang baru saja kuturunkan dari mulutku. Aneh, kedua ujung bibirku rasanya melengkung naik tadi.

Apa kalian pernah lupa sama sekali sehabis melakukan sesuatu?

Belakangan ini aku sering linglung. Melakukan sesuatu tetapi tak tahu mengapa. Dan pergi ke suatu tempat tanpa menyadarinya. Seperti kemarin, sepulang sekolah saat aku berjalan menuju gerbang. Hanya dengan satu kedipan singkat tahu-tahu aku sudah terhimpit diantara rak buku perpustakaan. Aku syok, tentu saja. Perpustakaannya sudah tutup dan hampir dikunci penjaganya. Beruntung aku belum terlambat keluar. Si penjaga perpus terlompat kaget saat aku melesat keluar pintu perpustakaan. Sama syoknya denganku, ia bertanya-tanya mengapa aku masih di dalam. Aku tak bisa menjelaskan apapun padanya karena aku pun tak mengerti.

Apa ini efek ilusi hantu Jane?

Aku menghela napas panjang sebelum meminum figshake-ku yang tinggal setengah. Aku melirik ke gelas jus itu dan terkejut melihat cairan kekuningan yang menjijikkan di dalamnya. Aku pun segera memuntahkan jus dalam mulutku. Yah, selain berpindah-pindah tempat tak jelas, penglihatanku juga terganggu.

Kubuka tutup minumanku dengan terbatuk-batuk kuendus baunya. Bau buah ara dengan bentuk dan warna nanah. Yeiks. Padahal saat kubeli jus itu normal-normal saja.

Kulap sisa jus di bibirku, lantas celingukan mencari pengunjung kantin yang lain. Aku menghela napas dengan berat. Hanya hamparan kursi kosong dan meja bersih yang kulihat. 

Keheningan menginspirasiku untuk kembali ke kelas. Namun, aku sempat berpikir dua kali sebelum bangun dari kursi. Shai atau Ave tidak mungkin datang sepagi ini. Mungkin lebih baik jika aku menetap di sini paling tidak sampai bel masuk.

Hampir tak ada yang menarik perhatianku kecuali bibi kantin yang sedang mengupasi buah jualannya. Setengah melamun dan sadar, aku memperhatikan kulit-kulit buah berjatuhan dengan tempo yang stabil. Kulit buah apa itu?

Mataku beralih ke buah yang dipegangnya dan demi sneakers, bukan buah yang dikupasi bibi itu, melainkan kepala manusia! Darah menetes dari hidung mayat yang telah dikupas tipis-tipis itu. Suaranya sangat menjijikkan ketika irisan hidung itu terjatuh ke lantai. Aku merasa cairan asam dalam lambungku bergejolak naik ke kerongkongan seketika. Belum lagi aku muntah, tiba-tiba saja kepala buntung itu membuka mulut dan megap-megap meminta tolong, membuatku merinding sampai ke tulang punggung.

BRUK!

"Aduh, jangan menghalangi jalan!" desis seseorang.

Orang yang kutabrak itu menghantamkan pundaknya padaku lalu pergi. Aku menjatuhkan gelas figshake yang kupegang karena kaget. Lebih kaget lagi ketika melihat pintu dan jendela bernuansa terakota dengan dinding berbatu di depanku. Mata dan mulutku pun terbuka lebar.

Kalian tahu apa artinya itu? Itu artinya, aku berada di gedung kelas tiga. Gedung terjauh dari kantin. Ini satu-satunya gedung bertema terakota di sekolah.

Setelah memungut gelas kosong yang kujatuhkan, aku pun meremasnya dengan emosi lalu melemparnya ke tempat sampah. Aku merasa dipermainkan. Semua omong kosong ini membuatku muak.

Segera aku berlari, tanpa memedulikan siapapun yang kutabrak, aku terus berlari ke kelas miss Louisa. Tak peduli lagi dengan ilusi hantu Jane maupun dengusan marah orang-orang. Yang terpenting saat ini aku harus berada di kelas. Nasihat Beliau dua minggu yang lalu terngiang-ngiang dengan horor dalam benakku.

The Last BlueWhere stories live. Discover now