Teror Toilet Sekolah

5.6K 539 256
                                    

Mulutku berhenti melumat makanan di dalamnya, mataku beralih ke Ave dengan ekspresi kaget namun setengah menutupinya. Kalau hantu tukang bohong, apa Lavina masuk hitungan?

Pikiranku melayang kemana-mana. Ke segenap kisah yang pernah diceritakan Lavina. Tentang koleksi teddy bear-nya yang lengkap, kekesalan terhadap pengasuh pribadi istananya, air matanya yang berlinangan ketika menceritakan betapa sayangnya ia dengan seorang pemarip kerajaan, dan tentang ingatan cacat yang membuatnya terjebak di dunia. Aku pasti sangat terpukul dan kecewa jika semua itu bohong. Lavina tak mungkin menipuku. Dia menyayangiku dan aku pun menyayanginya lebih dari apapun, dia adikku yang tercinta.

Aku menarik bangkuku sedikit lebih maju dan meyakinkan diriku sendiri. Lavina bukan pembohong. Aku tahu itu. Dan aku bersumpah aku akan selalu memaafkannya. Apapun faktanya.

Mataku beralih ke sketsa gadis tanpa lengan bergaun lolita yang sedang Ave gambar. Dia sangat berbakat. Proporsi gambarnya sesuai dan ia pandai membuat detail. Andai aku juga pandai menggambar, aku pasti akan menggambar orang-orang kesukaanku. Orang tuaku, nenek, teman-teman, dan mungkin.. orang yang kutaksir. Haha, itu takkan pernah terjadi.

"Ave, boleh aku lihat bukumu?" tanyaku menyela aktivitasnya. "Tentu." Ia tak merasa keberatan dan meniup ampas-ampas penghapus yang tersisa di atas gambarnya sebelum mengulurkan buku itu padaku.

Aku meletakkan peralatan makanku dan memasukkan kotak bekalku ke kolong meja. Kusambut uluran buku itu lalu kuletakkan tepat di depanku. "Ini, adikmu?" tunjukku ke lukisan gadis berambut coklat tua dan mata biru terang di halaman pertama.

Ave mendongak dan tergelak kecil. "Itu aku. Tidak mirip ya?"

"Mirip, serius. Makanya kukira adikmu."

Ia tertawa lagi, "Lalu mengapa tak mengira itu aku?"

Kuangkat buku itu setinggi kepala Ave. Lalu aku membandingkan keduanya. "Hmm.." aku melirik lukisan dan wajah bergantian. "Apa ya yang beda, kalian mirip sekali," gumamku.

Ave memiringkan kepalanya dan memandangku bingung. "Sudah ketemu?"

"Itu dia!" Akhirnya aku menemukan penyebabnya. Buku itu kutaruh lagi di meja. "Ave, boleh pinjam kuas?"

"Apa yang mau kau lakukan?"

"Aku akan melakukan vandalisme*," ucapku menyeringai sambil menaikkan satu alis.

"Apa!?" Pekik Ave, ia mengamankan kuas beserta catnya dengan cepat dan memarahiku.

"Pinjam kuaas! Sungguh! Aku tak akan merusak lukisanmu!" Aku mencondongkan badanku ke depan berusaha meraih kuas paling kecil di genggaman tangannya.

"Baiklah, kalau sampai kau melakukan vandalisme..." ia memberikan kuasnya kepadaku. "Aku tak akan memaafkanmu," tegasnya.

"Percaya padaku. Kau hanya perlu duduk di situ dan jadi model lukisan ini. Aku akan membuatnya mirip 95%."

"Apa? Bukannya itu mengurangi kemiripannya?" selanya.

"No no. Berikan catnya padaku."

Akhirnya, aku bisa memakai kuas Ave! Hihihi. Aku penasaran bagaimana rasanya.

Aku menekan tube cat berwarna coklat tua dan memberinya sedikit air. Aku tak tahu banyak tentang melukis, yang kutahu pokoknya warna cat akan semakin pudar jika diberi air. Kucelupkan ujung kuas ke dalam secuil cat yang sudah cair itu dengan hati-hati. Semoga ini berhasil. Aku mendekatkan ujung kuas ke buku dengan ragu. Kuas itu tidak kusapukan, melainkan hanya kutitikkan sedikit-sedikit ke bagian pipi lukisan Ave untuk membuat bercak freckles.

The Last BlueWhere stories live. Discover now