Potongan yang Diawetkan

6.7K 650 152
                                    

-Blu-

APA?! Golongan biru!?

Betapa kagetnya aku. Mataku membelalak menatap Shai dan potongan-potongan tubuh pucat di atasku. Tanpa kusadari mulutku menganga dari tadi membayangkan mutilasi dan pembunuhan sadis. Bayangan itu berputar di otakku bagai film jagal* yang mengerikan. Aku ingin sekali kabur sekarang juga, tapi kakiku begitu kaku dan tidak sinkron* dengan otakku.

Dadaku sesak. Napasku ikut kaku tersendat, didesak oleh situasi membingungkan saat ini. Apa yang akan terjadi seterusnya? Haruskah aku kabur? Aku melirik ke arah pintu. Pintunya terbuka kan? Aku harus bagaimana?

GREP!

Aku melirik cepat ke tangannya. Ia menggenggam lenganku. Kini bukan hanya kakiku yang kaku, tanganku juga ikut kaku tak bisa digerakkan. Tempo detak jantungku semakin cepat dibuatnya. Ia kini seperti predator yang sedang mencengkram mangsa. Dan sepertinya aku terpilih menjadi salah satunya. Dadaku semakin sesak, terasa sempit mau meledak. Apa yang dia inginkan?

"Jangan pergi," ucapnya menatapku dengan serius. Aku membalas dengan memelototinya tanpa mengedip sama sekali. Tatapan macam apa itu? Apa dia sedang mencoba menghipnotisku? Ia lalu menggenggam lenganku dengan kedua tangannya kuat-kuat. Seperti memborgol tahanan supaya tak kabur.

"Hhah.. Dengar, biarkan aku melanjutkan ucapanku," Ia menghela napas panjang serta menghindari tatapanku. "Kau menyeramkan. Jangan pelototi aku seperti itu," ucapnya pelan.

Menyeramkan? Justru aku yang sedang ketakutan saat ini!

Ia kembali menatapku, lalu sedikit melonggarkan genggamannya di tanganku. "Blu, ini memang potongan tubuh golongan biru. Tapi, yang sudah mati. Percayalah!" ia mengguncang badanku, menatapku penuh harapan.

Aku hanya diam. Masih terlalu takut dan belum bisa membuka mulut. "Kau.. percaya padaku, kan?" ucapnya dengan mata yang berkaca-kaca. Aku tak mau menatapnya yang seperti itu, sehingga aku melihat ke arah lain.

"A-Aku.. aku.." ucapku tergagap. Aku tak bisa bicara!

Shai terus menatapku dan tak melepaskan pandangannya sama sekali. "Blu, sumpah.. kami tidak membunuh!" suaranya gemetar seperti akan menangis. "Percayalah!"

Aku tidak tahu harus bilang apa. Aku terlalu bingung untuk mengutarakan isi kepalaku. Setiap kali ingin bicara, mulutku selalu tertutup. Terbuka sedikit, tertutup lagi. Terbuka lalu tertutup lagi. Sungguh.. Aku percaya padamu Shai! Apa susahnya mulut ini untuk bilang-

"Aku percaya padamu!!"

A-Apa aku baru saja mengatakannya?

Shai menatapku seakan tak percaya. Ini untuk yang pertama kalinya dalam hidupku aku memercayai orang lain selain orangtuaku. Padahal ia sangat mencurigakan, memutilasi golongan biru, dan mengawetkannya. Tapi, entah mengapa aku percaya dengannya. Itu terjadi begitu saja.

Shai menutup seluruh wajahnya. Aku tahu dia sedang menahan tangis. Suasana hening mengitari kami, hingga beberapa kali isakkannya terdengar di sela keheningan. Kami pun terdiam cukup lama.

"Terima.. kasih.." sahutnya dari balik tangannya. "Golongan kita sudah berjanji hiks.. untuk tidak membunuh satu sama lain," ucapnya masih terisak. Ucapan itu seakan menjadi penghapus dari coretan-coretan asal di kepalaku. Pikiran-pikiran dan bayangan buruk dalam kepalaku terhapus begitu saja. Memang tidak pantas aku menilai langsung tanpa tahu ceritanya. Tapi, siapa yang tak kaget jika tahu keluargamu dijadikan bahan untuk membuat cermin?

"Hik.. Jadi.. bagaimana?" tanyanya masih dengan wajah ditutup. Aku hanya menatapnya dengan bingung.

"Cerminnya," ucapnya lalu memperlihatkan muka. "Blu, jika memang kau tidak apa-apa, jawablah aku!" ucapnya dengan nada yang agak tinggi. Aku tidak apa-apa, jawabku dalam hati.

The Last BlueWhere stories live. Discover now