Lubang di Pohon

8.4K 673 96
                                    

-Blu-

SREK, SREK, SRAA..

Aku mendengar suara gorden dibuka. Tapi, itu takkan mempan untukku sekarang. Cahaya yang masuk takkan bisa melelehkan lem yang merekatkan kelopak mataku. Bahkan jika atap ini bolong sekalipun, aku akan tetap berada di zona tidur. Tak ada lagi cahaya yang bisa menggangguku selama aku di sini.

"Dasar tukang molor," omel seseorang.

Aku bisa mendengar suara-suara yang ada di sekitarku, meski sedang dalam mode tidur. Ia melanjutkan, "Katanya mau membantukuu?" ucapnya memanjangkan huruf u dengan kesal.

Hening seketika seperti tak terjadi apa-apa. Ia lantas bersungut-sungut* tak jelas. Tak lama kemudian, suara-suara itu berubah menjadi dengusan. "Dunia tidak adil!" teriaknya tiba-tiba. "Kenapa aku terbangun dengan wujud ini? Memangnya aku sudah mati?" Begitu seterusnya, ia terus-terusan mengomel.

Langkah kakinya senyap. Namun, aku bisa merasakan dia duduk di tepi kasurku. "Hhah.. jangan beri aku harapan palsu, dong," ia menghela napas panjang.

"Aku bukan orang yang seperti itu," balasku tiba-tiba, sesaat bangkit dari tidur.

"Eh, kak Blu sudah bangun," ia bergeser sedikit dari duduknya dan menatapku dengan wajah 'lho-kok-begini'.

"Aku dengar," ucapku lalu ikut duduk di sampingnya sambil meregangkan sendi-sendiku yang kaku sebelum lanjut bicara. Hitung-hitung, melancarkan peredaran darah, "Aku butuh waktu untuk memecahkannya, Lavina," tukasku. Ia hanya mengangguk.

Muncullah kerutan-kerutan tipis di antara alisnya, ia sedang berpikir keras. Bibirnya sedang mencoba mengukir senyum yang tidak nyata. Dan juga pandangannya sebisa mungkin menghindariku. "Kalau tidak bisa dipecahkan tak apa kak Blu," sahutnya dengan tampang melas tanpa disadarinya.

Oh, ayolah, mana mungkin semua itu bisa menipuku?

Kutepuk punggungnya karena gemas. "Hahaha, jangan sedih begitu, dong. Aku pasti memecahkannya, jangan sedih," aku hendak merangkulnya namun gagal. Ia sedang dalam mode tembus dan itu membuatku jatuh ke lantai ketika merangkulnya.

"Aduh!" ringisku tepat saat sikutku menghantam lantai.

Waktu itu jidat, kemarin hidung, hari ini sikut, nanti apa lagi? Batinku sambil mengelus-elus sikutku yang malang.

Lavina bukannya membantuku malah lebih memilih loncat-loncat kegirangan di atas kasur. Dasar bocah. Ia memekik senang, "Kakak baik sekali deh! Tolong ya, kak Blu! Aku lelah sekali dan ingin tidur pulas seperti kakak!" Ia menyengir lalu menarikku serta ke atas kasur untuk lompat-lompatan. "Hey, jangan tarik aku, sikutku sakit tahu!" protesku walau akhirnya aku ikut-ikutan terseyum dan tertawa girang.

Lavina.. kau bisa menyembunyikan sesuatu dariku. Tapi, sayangnya aku pandai membaca ekspresi wajah, dear. Meskipun demikian, ada satu rahasia di balik senyum dan tawaku barusan. Ya, sangat disayangkan kenyataannya aku juga pandai menyembunyikan ekspresi.

Semuanya akan berakhir ketika aku selesai memecahkannya.

DEG!

Detak jantungku berdegup kencang. Aku sungguh merasa terbebani. Tapi kenapa? Kenapa aku harus merasa terbebani? Ini kan tidak ada sangkut pautnya denganku. Lagi pula kami baru bertemu 5 hari yang lalu. Harusnya satu-satunya yang terbebani adalah Lavina, bukan aku. Aku tak yakin apakah dia memang menginginkannya atau dia memang tak tahu. Keduanya membuatku dilema.

Dilema antara haruskah aku menolongnya atau tidak?

Aku tetap terseyum dan melompat bersamanya. Entahlah, kuharap aku akan menemukan jawabannya segera. Dan kuharap, itu adalah pilihan yang tepat.

The Last BlueWhere stories live. Discover now