Malam Pertama di Rumah Baru

8.9K 856 29
                                    

-Blu-

Apa kau percaya hantu?

"Hhah... hhah... tidak... tidak ada yang namanya hantu... tidak..." Aku terdiam membeku dalam selimutku. Kata-kata itu terus menghantui kepalaku, "Tolong... pergi dari hadapanku, kumohon..." Bayangan-bayangan hitam itu terus mengitari kasurku. "Pergi!"

Apa kau percaya hantu?

"Tidak... TIDAK!!" Kututupi tubuhku dengan selimut serekat mungkin. Aku hampir menangis. Sungguh ini malam terburuk yang pernah kualami. Malam pertama di rumah baruku.

Ke..na..pa... Blu... Kenapa kau tak percaya hantu?

Bayangan-bayangan itu terus mengusikku. Aku ingin pergi dari kamar ini. Aku tidak tahan lagi! Tapi aku takut, sungguh, tubuhku membeku gemetaran saking tidak mau melihat siapa yang sedang berbicara di hadapanku. Andai aku bisa menggapai lampu tidur dan berharap mereka akan pergi kalau ruangannya terang. "Kumohon... jangan ganggu aku... huhuhu..." aku mulai menangis.

Hihihihihiiihiiiiiihiiiiiii...

Bulu kudukku berdiri, tubuhku bergetar hebat mendengar suara tawa mengerikan yang semakin menjadi-jadi yang menggema dalam ruanganku. Ada suara lain yang tidak terdengar jelas, lalu suara-suara itu menghilang, "Kak Blu! Mereka sudah pergi," seseorang menggoyang-goyangkan tubuhku. Kudapati Lavina memandangku dengan penuh kekhawatiran. "Huhu.. hu... Lavi.. na.. kau penguntit sialan," aku memeluknya sambil terisak. Entah apa jadinya diriku kalau ia tidak datang. Aku menyeka air mataku dan berusaha untuk berhenti terisak, "Ba.. gaimana kau.. ma.. suk..? Hiks.". "Mudah, aku masuk ke pintu depan lalu langsung ke sini." Namun, aku masih belum mengerti, "Pintu depan kami selalu terkunci, bagaimana kau membobolnya?" Lavina hanya memutar bola matanya, "Aku ini bisa menembus tembok, tahu. Kau lupa?"

Apa yang kulupa? Memangnya dia pernah memberitahuku apa? "Apa?" Tanyaku. Dia menyilangkan kedua lengannya di depan dada, "Aku ini makhluk yang bisa menembus benda, hihihi," mata besarnya semakin melebar memelototiku. APA!? Apa maksudnya? Bulu kudukku kembali berdiri, aku mundur perlahan-lahan menjauhinya. Dia terlihat mengerikan dengan pandangan kosongnya dan matanya yang melotot ke arahku, "Kau bohong! Kau bisa menyentuhku, kau bukan hantu!".

"Kau harus percaya kepadaku," ia muncul di hadapanku tiba-tiba. Aku menutup mataku rapat-rapat. Jantungku serasa mau copot. Sial, aku benar-benar ketakutan saat ini sampai tidak mampu bergerak. Matanya, sungguh seperti akan lepas dari tempatnya!

Hening, tidak ada suara apapun.

"HAHAHAHA...... ya ampun Kak Blu, kakak ini benar-benar penakut! Maaf-maaf, aku hanya bercanda tadi," ia menjauh dariku dan tertawa lepas. Aku masih syok dan hampir mati dibuatnya dan dia malah tertawa. Ia berjalan mendekatiku, "Sudah dong,  jangan marah lagi, aku benar-benar minta maaf, sudah lama sekali aku tidak berbuat iseng." Aku segera menghindar dan berlari untuk menghidupkan lampu. Namun, ia tidak menghilang. Amarahku sudah tak tertahan, darahku naik seketika ke ubun-ubun, dan mengubah wajahku menjadi merah padam, "Sudah lama, hah? Kemarin itu bukan iseng?! Kau sudah mengacak sepatuku, memata-mataiku, kau bilang itu bukan suatu keisengan?! KAU!!! Kau baru saja hampir membuatku mati kena serangan jantung!"

Ia diam membatu, tak kusangka perkataanku mungkin terlalu kasar dan menyakiti hatinya, "M-maaf... aku-aku-aku hanya..." air mata menitik dari wajahnya. Aku yakin ini hanyalah tipu dayanya untuk kembali menakut-nakutiku. Oleh karena itu, aku masih tetap dengan pendirianku untuk tidak mengasihinya, "Jangan menipuku, Lavina.". "Aku hanya... kesepian," ucapnya.

Aku menyerah, "Baiklah, Lavina. Dengar, kau boleh main ke tempatku, membobol rumahku, dan masuk kamarku kapanpun kau kesepian. Tapi, dengan syarat. Satu, jangan menakut-nakuti aku maupun keluargaku. Dua, jangan bawa teman atau siapapun kemari. Tiga, dilarang mengagetkan siapapun, paham?"

"Kau tidak memercayaiku!"

"Apa?!"

"Aku tidak membobol rumahmu Kak Blu, aku masuk dengan menembus tembok rumahmu dan aku bisa melakukan teleportasi meski dengan jarak terbatas."

"Maksudmu kau seorang penemu alat penembus dinding dan teleportasi?"

"Tidak!" Ia menarik lenganku dan membawaku ke depan cermin besar dalam kamarku.

Aku terperanjat kaget dengan apa yang kulihat. Hanya ada bayanganku di cermin. Tidak ada milik Lavina. "Pembuktian terakhir. Lihat! Hanya benda konkrit yang bisa dipantulkan oleh cermin, apakah kau melihatku di sana?" Tanyanya. Aku hanya menggeleng.

"J-jadi.. kau.." aku memutar badanku menghadap Lavina. "Kau, sudah mati?" Tanyaku. Lavina hanya menganggukkan kepalanya.

Air mataku mengalir tak henti-hentinya membayangkan bagaimana jika aku yang berada di posisinya. Meninggal di usia muda dan hilang ingatan. Bagaimana aku tidak akan jadi arwah gentayangan? Tentu aku akan menjadi arwah gentayangan yang menderita. Dan yang terburuk adalah, bagaimana jika aku melupakan kedua orang tuaku untuk selama-lamanya sampai aku menjadi arwah gentayangan yang tidak dapat pergi ke surga maupun neraka.

"Jangan khawatir, Lavina.. Aku akan membantumu," aku menepuk kepalanya dan tersenyum.

"Terima kasih, Kak Blu."

◇◇◇◆◆◆◇◇◇◆◆◆◇◇◇

Cerita memendek? Maafkan author hari ini sangat sibuk jadi updatenya kemaleman dan chapternya pendek T_T

Penasaran lanjutannya? Ikutin terus yuk cerita The Last Blue!

Jangan lupa *-*

★VOTE & COMMENT★

6 Votes & 6 Comments for Next Chapter
See You on Next Chapter!

Gracias
-Arasther◆

The Last BlueWhere stories live. Discover now