Be My Miracle Love [End] āœ”

By senoadhi97

55.8K 9.9K 15.3K

Wajah berjerawat, berotak biasa saja dan tidak memiliki kelebihan apa pun selain gemar mengoleksi uang receh... More

Eps.1 - Prince Charming
Eps.2 - My Enemy Brother
Eps.3 - Siap Bertemu Kembali
Eps.4 - Who Is Him?
Eps.5 - My Teacher Is Handsome
Eps.6 - Me vs Cowok Trouble Maker
Eps.7 - Awal Dekat Dengannya
Eps.8 - Ribuan Detik Bersamamu
Eps.9 - My Annoying Father
Eps.10 - Crazy Boy
Eps.11 - Hari Balas Dendam
Eps.12 - Janjian
Eps.13 - Dibully Geng Syantik
Eps.14 - Orion : Mianhae
Eps.15 - Aku dan Dewi Fortuna
Eps.16 - Heartbeat
Eps.17 - Sahabat Bikin Kecewa
Eps.18 - Orion Pansos?
Eps.19 - FUTSAL
Eps.20 - Teman Baru
Eps.21 - Live Drama
Eps.22 - Surat Untuk Dia
Eps.23 - Broken Heart
Eps.25 - Night Together
Eps.26 - He Is Shoot Me Now
Eps.27 - Bertengkar di Toilet
Eps.28 - Momen Manis
Eps.29 - After 'I Love You'
Eps.30 - Permen In Love
Eps.31 - Benci Untuk Mencinta
Eps.32 - Be Mine
Eps.33 - It This Love
Eps.34 - Dia dan Langit Senja
Eps.35 - Good Bye
Eps.36 - Romeo Juliet
Eps.37 - Thank You, Dear
Eps.Special - Break Story
Eps.38 - Berpisah
Eps.39 - Sebuah Syarat
Eps.40 - Tunangan Pak Arnold
Eps.41 - Harusnya Memang Bukan Aku
Eps.42 - Buket Bunga
Eps.43 - Pengagum Rahasia
Eps.44 - Sama-Sama Jealous
Eps.45 - Penculikan
Eps.46 - Fake Boy
Eps.47 - Titik Terang Kala Hujan
Eps.48 - Karma Pasti Berlaku
Eps.49 - Hasrat
Eps.50 - Tarik Ulur
Eps.51 - Memilikimu Seutuhnya
Eps.52 - Panggung Pelaminan (Epilog)
Episode Special Valentine - 14 Februari
Cuplikan dan Promo Sekuel

Eps.24 - Hangout

984 159 396
By senoadhi97

Di antara aku, Decha, Vinny dan Erin, tidak ada yang memiliki kendaraan pribadi seperti motor ataupun mobil. Jangankan punya, menyetir saja kami masih belum bisa. Ya, selama kami masih belum memiliki Surat Ijin Mengemudi, kami dilarang oleh orangtua masing-masing untuk memiliki dan mengendarainya ke sekolah maupun ke tempat-tempat lain. Tak bisa dipungkiri, hal itulah kadang membuat kami dicap sebagai anak-anak manja dan tidak gaul. Pasalnya, di era milenial seperti sekarang ini, hampir semua manusia berbagai usia sudah memiliki minimal motor untuk keperluan mereka sehari-hari.

Dan di saat-saat kami akan hangout bareng, kami selalu mengandalkan jasa ojek online maupun taksi online. Seperti malam ini tentu saja. Malam cerah yang dipenuhi berjuta planet bersinar yang disebut bintang. Membuat cahayanya terang dalam kegelapan, seolah menyempurnakan orang-orang yang hendak bermalam mingguan.

Seperti biasa, aku turun dari boncengan motor Mbak Jenny yang sudah menjadi ojek langgananku. Sky Kafe tampak ramai oleh pengunjung yang pastinya kebanyakan adalah para muda-mudi yang sedang menghabiskan waktu.

"Ngomong-ngomong, Mbak Ayya mau kencan ya sama pacar barunya?" Percakapan basa-basi sebelum kami berpisah terlontar dari mulut Mbak Jenny.

Mendengar kata 'kencan', mendadak mengingatkanku akan cinta yang tertolak. Tapi sudahlah, aku sudah berjanji pada diri sendiri untuk tidak patah hati terlalu dalam.

Aku mengulas senyum sebelum menjawab, "Enggak kok, Mbak. Aku mau hangout aja sama temen-temen."

Mbak Jenny mengerutkan kening. Selanjutnya, dia mengembangkan senyum samar. "Menghabiskan waktu bareng teman-teman emang lebih asik, Mbak."

"Ya," balasku singkat. Lalu mengambil dompet untuk membayar biaya ojek ke Mbak Jenny.

"Ya sudah deh, have fun."

Aku bersyukur Mbak Jenny tidak mencurigai perubahan wajahku yang mendadak sendu, tapi aku bisa melihat raut keingintahuan di wajahnya, namun dia sadar diri bahwa setiap orang memiliki privasi yang tak sembarangan dikulik, sehingga Mbak Jenny memilih untuk diam.

Setelah menyerahkan uang kepada Mbak Jenny dan dia sudah berterima kasih banyak, aku hendak berbalik badan ketika mataku menangkap Decha yang juga sedang turun dari ojek. Aku berjalan menghampirinya seraya menepis pikiran-pikiran galau yang menyergapku.

"Cha, hei ... syukur deh gue nggak perlu nunggu sendirian di dalam kafe."

Decha tersenyum sopan kepada driver ojek, sebelum pandangannya beralih ke arahku. "Ay, kayaknya gue deh yang mesti ngomong gitu." Decha menyeringai.

"Loh ... kenapa?"

Decha tertawa. "Biasanya kan kalau kita kumpul gini lo yang paling sering telat."

Benar juga. Astaga, aku jadi bertanya-tanya sudah berapa lama kami tak menghabiskan waktu bareng di luar sekolah. Sampai-sampai aku lupa bahwa kadang aku selalu telat datang dengan alasan kendaraan yang sulit didapat.

"Ya elah, Cha. Gue yang ngajak masa gue juga yang telat?" tukasku, sengaja menekuk wajah. Decha tertawa lebar, wajahnya putih bersih. "Ya sudah yuk, kita ke dalam aja, Cha." Aku cepat-cepat menggandeng lengan Decha sebelum diriku merasa terlalu iri berlebihan kepada sahabat sendiri.

Tak menunggu waktu lama, akhirnya Vinny dan Erin gabung bersama kami, di sebuah meja dengan empat kursi. Aku lupa, aku kan mengajak Miko juga. Dan akhirnya aku meminta salah satu orang pramusaji untuk menambah satu kursi di meja kami. Namun alih-alih menurutiku, si pramusaji justru menyarankan kami untuk pindah tempat duduk di ruangan VIP yang tersedia beberapa formasi bangku. Setelah kami bersepakat, akhirnya kami setuju dan memilih bangku empat kursi berhadapan dengan empat kursi.

Ruangan bersuhu dingin cukup membuatku tak menyesal mengenakan jaket hoodie kebesaran milik Ravenza yang kuambil secara diam-diam di kamarnya. Aku tak perlu dandan mewah, toh siapa sih yang bakal melirik cewek cupu sepertiku di sini? Lagi pula tujuanku mengajak mereka kumpul bukan untuk berburu cowok, akan tetapi untuk mengenalkan Miko si teman baruku kepada ketiga teman akrabku.

"Oh iya, Ay, gimana mengenai surat lo?" tanya Erin, membuka percakapan lagi, kini aku tahu, dia membahas soal cita-citaku yang kandas di tengah jalan.

Aku berhenti mengetik di layar ponsel. Lalu menatap Erin dengan raut heran. Sengaja. "Surat apaan?"

Ketiga temanku itu seketika mencibir bebarengan. "Duh nggak usah sok polos deh. Ya surat pernyataan, lah," sahut Decha dengan nada menggoda.

"Surat pernyataan cinta," lanjut Erin dan Vinny serentak. Sialan, kenapa mereka bisa kompak banget?

Aku mengembuskan napas lelah, tenggorokan terasa kering, namun minuman yang kami pesan belum diantar. "Ya, kalian udah pada tahu dari awal kan jawabannya apa?" sahutku, sambil fokus ke depan layar ponsel untuk menghubungi Miko melalui pesan chat.

Sejenak tidak ada respons dari mereka bertiga, menyisakan suara lalu-lalang orang-orang di sekitar serta musik latar belakang kafe yang mengalun. Aku memutuskan untuk menatap ketiga temanku satu per satu.

"Ay, lo jangan sedih ya." Vinny meraih tanganku, dan menggenggam erat.

"Iya, Ay. Gue yakin suatu saat bakal ada keajaiban cinta yang datang. Bukan cuma buat lo, tapi buat gue juga," timpal Decha menghiburku.

"Betul." Erin menjentikkan jari.

"Udahlah nggak apa-apa kok. Gue tetep ceria. Buat apa galau-galauan? Masih banyak hal yang harus gue lakuin ke depannya daripada sekadar sedih gara-gara tertolak cinta." Aku mengatakan kalimat tersebut dengan ekspresi yang dibuat sehepi mungkin. Aku tidak mau terlihat membohongi teman-temanku.

"Lagian nih ya, ternyata Pak Arnold tuh udah punya tunangan, tau. Sad banget emang, tapi mau nggak mau gue harus cepet-cepet membuang rasa ini jauh-jauh. Gue nggak mau juga dicap sebagai perusak hubungan orang."

"Triple O em ji ... seriusan kalau Pak Arnold dah punya tunangan?" tanya Vinny ingin tahu.

"Serius, Vin. Yakali gue bohong. Apa faedahnya coba gue ngarang begituan. Itu Pak Arnold sendiri yang bilang. Dan gue percaya. Mana ada sih pangeran ganteng kayak dia jomblo?"

"Gue udah duga sih dari awal kalau Pak Arnold itu udah punya selir." Erin menimpali.

"Tapi ngomong-ngomong, gue penasaran juga sih siapa cewek yang udah berhasil mengambil hatinya Pak Arnold itu." Aku menerawang, membayangkan tunangan Pak Arnold yang pasti cantik banget dengan rambut panjang lurus, bodi oke, dan berwajah mulus.

"Hmm ... bener juga, Ay. Gue jadi ikutan kepo deh. Pasti ceweknya setipe kayak Ariana Grande." Vinny menyahut.

Memikirkan hal tersebut mendadak membuat perasaanku kembali diselimuti ketidaknyamanan. Setelahnya, aku berupaya maksimal untuk tak memikirkan itu lagi.

"Tau ah ... udah ya jangan bahas ini lagi. Yakin kok gue nggak apa-apa. Sakit hatinya sebentar doang." Aku nyengir lebar sebagai pembuktian bahwa kata-kataku bukan bualan semata.

"Nah ... gue suka nih Ayya yang kayak gini." Erin tersenyum lebar.

"Setuju. Lo harus tetep semangat, Ay." Decha merangkulku.

Aku mengangguk senang. "Thanks ya kalian." Rasanya aku kepingin memeluk mereka semua. Tetapi untuk saat ini hal tersebut bisa kutahan, sebab akan dipastikan jika itu terjadi, para pengunjung yang lain akan mengira bahwa kami segerombolan cewek titisan Teletubbies yang lama tak jumpa. Kan tidak lucu!

Pesanan pun diantar, minuman kami masing-masing dibagikan oleh pramusaji yang berwajah ramah, tanpa akting. Tidak seperti para pramusaji di Waroeng Sandaran yang berhasil menyulut emosi. Sepertinya aku tak bakalan sudi mengunjungi kafe bertema cinta-cintaan tersebut lagi.

"By the way, gue penasaran deh, teman baru lo yang mau dikenalin ke kita siapa, Ay?" tanya Erin, sesekali melirik pintu masuk.

Sebelumnya aku memang sudah berterus terang kepada mereka mengenai alasanku mengajak mereka ke kafe, bukan sekadar hangout biasa, akan tetapi mereka akan kukenalkan dengan Miko. Atas nama sahabat, akhirnya mereka setuju.

"Benar, Ay. Dia cowok apa cewek. Hati-hati loh sama kenalan baru," kata Decha, mulai berpikir aneh-aneh.

Aku mengaduk-aduk Soda Gembira sebelum menyeruput sedikit. "Ih jangan berprasangka buruk ah. Dia cowok, anak SMK Taruna Jaya. Dia lucu banget tahu, nggak? Anaknya tuh unik, terus ...."

"Ay, jangan bilang lo naksir ya sama dia." Vinny bertanya sembari memasang wajah khawatir. Sontak, Erin dan Decha mengangguk setuju.

"Guys, apa gue terlihat banget mudah jatuh cinta?" tanyaku kemudian. Menyadari topik kembali menjadi sensitif, aku berupaya mengalihkan dengan cepat. "Eh lupakan aja deh. Kalian tenang aja, gue nggak naksir kok sama cowok itu. Se.ri.us. Gue tekenin ya biar kalian percaya."

"Baiklah, untuk sekarang gue pegang kata-kata lo," kata Decha, menatapku sangsi.

"Baiklah, semoga cowok ini emang cowok baik-baik. Bukan tipikal cowok barbar yang-"

"Miko!" Aku melambai ke arah cowok berkacamata, yang sontak menghentikan ucapan dari mulut Erin.

Cowok berkacamata dengan setelan kemeja garis-garis hitam cokelat itu membalas singkat lambaianku. Terlihat kikuk saat matanya menemukanku bersama ketiga pasang mata lainnya. Miko berjalan pelan ke arah meja kami, lalu mengambil tempat duduk kosong di sebelah kananku.

"Hai," ujarnya terdengar sedikit kaku. Mungkin Miko merasa grogi. Ya Tuhan, aku jadi merasa bersalah kepadanya. Buru-buru aku mengambil alih situasi, apalagi melihat ketiga temanku yang hanya menatap dengan raut yang seolah-olah tak percaya dengan apa yang mereka lihat. Namun aku tidak tahu apa yang melintas di pikiran mereka begitu melihat Miko, sahabat baruku itu.

"Hei, Mik. Sori ya ganggu waktu lo. Lo ke sini naik apa?" tanyaku dengan ramah.

"Gue ke sini diantar sama sopir Papa," jawab Miko, pandangannya tertunduk.

"Hai kamu ...." Vinny yang duduk di hadapan Miko menyapa ramah.

"Oh iya ya ampun kalian kenalan dong." Serta merta aku menyuruh ketiga temanku untuk berkenalan dengan Miko. Miko tersenyum samar, menjabat tangan ketiga temanku dengan perasaan panas dingin. Dan sepertinya tangan Miko sedikit bergetar.

"Enjoy aja, Mik. Kita temenan sama Ayya dah lama," kata Decha, mulai terlihat ramah.

"Kalau lo temannya Ayya, berarti lo teman kita juga," timpal Erin.

"Makasih," sahut Miko pelan. Lalu kemudian cowok tersebut kusodorkan buku menu sebelum akhirnya hanya memesan Thai Tea saja.

Pesanan itu datang tak lama kemudian beserta makanan kami yang sebelumnya dipesan.

"Miko, lo ambil jurusan apa di SMK?" tanya Decha, memecah keheningan di antara kami yang sebelumnya mendominasi.

"Multimedia."

"Kenapa lo mutusin masuk SMK?" tanya Erin lagi, sembari mengunyah kentang goreng.

"Aku, eh, gue sebenarnya pengin langsung kerja begitu lulus. Gue ...." Miko tak melanjutkan kalimatnya.

"Nggak apa-apa, Miko. Cerita aja sama kita-kita." Aku membujuknya.

Miko menelan ludah sebelum menjawab, "Gue ... nggak mau dianggap manja terus sama anak-anak. Gue nggak mau dibilang anak yang bisanya cuma menikmati kekayaan orangtua. Gue mau buktikan kalau semua itu salah."

Ya Tuhan, kelihatannya terdengar sedih. Apa teman-teman Miko di sekolah tidak pernah menghargainya?

"Apa itu alasan lo nggak ada teman?" tanya Vinny hati-hati.

"Nggak tahu. Mungkin karena gue cupu juga."

Sepertinya teman-temanku mulai merasa simpati terhadap Miko. Lama-lama mereka memberi kata-kata semangat untuk Miko, berbicara bahwa mereka bakal menjadi teman barunya.

Setelahnya, kami lebih banyak membicarakan hal-hal lain seperti film baru yang akan segera dirilis, juga tentang tantenya Vinny yang memutuskan hengkang dari perusahaan. Sementara Miko lebih banyak menyimak percakapan kami. Hingga akhirnya, sampai kehadiran seseorang yang tak terduga menghentikan obrolan kami.

"Orion?" Kadar kecupuanku semakin bertambah ketika melihat Orion yang begitu memukau di depan mata.

Cowok itu bersama kedua sohibnya tersenyum lebar mendapati kami di Sky Kafe yang ramai, lalu mereka berjalan serentak menuju meja kami.

"Wah ... nggak nyangka ketemu lo di sini."

Oke, bukannya aku ge-er, tetapi jelas banget perkataan Orion itu ditujukan hanya untukku.

"Eh iya ya." Aku menjawab canggung. Menoleh ke arah teman-temanku yang segera bungkam seribu bahasa.

"Kita boleh gabung di sini nggak?" tanya Yudis kemudian, menatap kami semua satu per satu.

Aku merasa yang harus memutuskan saat melihat teman-temanku hanya bergeming, bersikap acuh.

"Boleh kok, Dis. Kebetulan kursinya sisa tiga."

"Okee ...," ujar Yudis dan Agil bareng. Lantas mereka mengambil tempat duduk yang tersisa. Sementara Orion masih berdiri, menatap Miko yang duduk di sebelahku.

"Sori, Ayya ... dia siapa ya?" tanya Orion, menunjuk Miko.

"Dia Miko. Teman gue, dia anak SMK Taruna Jaya."

Sebelum Orion menjawab, Miko menyela dengan pelan. "Sebaiknya, gue pamit aja ya."

"Loh ... kok buru-buru. Santai aja, bro. Kita nggak jahat kok," kata Orion, lalu duduk di samping Miko yang kosong. Wajahnya seperti biasa menyiratkan keramahan.

Miko terdiam, ekspresinya sulit kutebak.

"Tapi ... gue nggak enak."

"Nggak enak kenapa?" Yudis bertanya. Detik berikutnya, Yudis segera mengalihkan tatapan. "Dan kalian cewek-cewek IPA, kenapa pada diam aja? Grogi disamperin cowok Bahasa?"

Aku bisa melihat Erin yang memutar bola mata dengan malas.

"Bukan gitu, Dis," jawabku merasa tidak enak.

Kenapa sih teman-temanku seakan-akan tidak menyukai kehadiran Orion, Yudis dan Agil? Padahal sikap mereka cukup bersahabat kok.

"Gini ya, kita emang bukan teman sekelas kalian. Kita juga nggak bisa disebut sohib kalian. Tapi guys, kita kan teman satu sekolah."

"Maksudnya apa sih ngomong kayak gitu?" Decha menimpali perkataan Agil.

"Maksud Agil, meskipun kita nggak pernah dekat, tapi kalau ketemu di suatu tempat, tetap aja kita keluarga. Harusnya kalian nerima keluarga dengan senang hati." Orion menjelaskan dengan santai.

Yudis merentangkan kedua tangan lebar-lebar. "Jadi intinya adalah ... kalian harus menerima kita dengan senang hati dong. Kita kan satu server, cuy."

"Nah betul tuh. Dilihat dari raut muka kalian nih ya, kecuali Ayya, kelihatan bete banget. Emang ada apa sih sama kita?" Agil kembali bersuara.

"Eh sori, kita kan emang nggak deket, dan gue aja nggak kenal siapa lo. Apa iya gue langsung sok ramah sama lo?" sahut Erin ketus. Ya Tuhan, kenapa situasinya jadi seperti ini.

Agil segera memasang muka paling nelangsa di muka bumi. "Parah, nggak kenal siapa kita. Padahal kita-kita aja tahu dan kenal siapa kalian. Apa perlu kita kenalan secara resmi?"

"Aduh guys, jangan pada ribut gini dong." Aku berusaha melerai, sebelum Erin atau Decha angkat suara.

"Temen lo tuh, Ay." Orion menjawab, sembari memainkan kunci motornya di telunjuk tangan.

"Ya sudah deh, Yon. Kalau mereka merasa terganggu hangout-nya, kita pindah aja yuk. " Yudis hendak berdiri, namun buru-buru ditahan oleh suara Miko. Aku sendiri tak percaya melihat itu.

"Jangan! Gue yakin mereka bukan nggak suka kalian di sini. Mungkin, mereka cuma nggak terbiasa dengan kehadiran cowok di tongkrongan mereka." Aku takjub mendengar Miko berbicara seperti itu, seolah bisa membaca pikiran kami. Pasalnya, itu memang alasan yang benar. "Soalnya ... waktu gue baru datang tadi, mereka juga bersikap sama kok," tambahnya.

Sejenak, Orion dan kedua temannya menatap Miko seperti sedang menilai cowok tersebut.

"Ya sudah deh, kalian lanjutkan. Gue pamit pulang aja ya. Pesan Papa gue, gue nggak boleh pulang larut malam." Tanpa menunggu persetujuan dari kami, Miko beranjak berdiri. Dan aku bisa melihat Orion, Yudis dan Agil melirik jam tangan mereka masing-masing. "Sampai jumpa, Ayya. Sampai jumpa kalian!" Miko melambai singkat, lalu melangkah cepat meninggalkan ruangan.

Aku menatap kepergian Miko dengan raut sedih. Belum sempat aku memperkenalkannya kepada Orion. Sementara Decha, Erin dan Vinny membalas lambaian Miko dan menatap kepergiannya sebelum menghilang di balik sebuah pintu.

"Dasar anak manja." Agil mendengus, membuatku melirik tajam ke arahnya. Rasanya tak terima kalau Miko dikatai seperti itu.

"Jangan gitu lah, Gil. Setiap orang punya karakternya masing-masing." Aku tidak menyangka kalau Orion membela Miko, dan aku juga tak sadar bahwa dia sudah beralih duduk di sebelahku, tempat Miko duduk tadi.

"Tapi kayaknya tuh anak-"

Ucapan Agil terputus saat kedatangan pramusaji ke meja kami seraya membawa buku menu. Setelah mereka memesan, dengan suasana cukup canggung, kami sibuk masing-masing.

"Ay, makalahnya udah tinggal cetak aja nih. Gimana? Mau lo print kapan enaknya?" Orion bertanya, memecah kecanggungan.

"Ehm kalau menurut gue sih, lebih cepat lebih baik, Yon."

Selama sekitar satu jam yang tak terasa, percakapan didominasi Orion, Yudis dan Agil. Sesekali Orion mengajak bicara aku dan teman-temanku. Tetapi rupanya mereka bertiga justru sibuk dengan gawai masing-masing.

Akhirnya kami memutuskan untuk pulang menyudahi hangout saja. Saat kami menuju meja kasir untuk membayar pesanan, ternyata tanpa kami duga pesanan sudah dibayar semua.

"Orderan meja nomor 17 di ruang VIP sudah dibayar semua, Kak," kata mbak kasir. Sontak, kami semua saling berpandangan heran. Siapa yang membayar? Ini jelas bukan jumlah yang sedikit mengingat pesanan kami cukup banyak.

"Jadi tadi Mas-Mas yang pakai kacamata udah bayarin semuanya. Katanya traktir sebagai ucapan terima kasih. Sebenarnya saya disuruh tutup mulut sih, Kak. Tapi daripada kakak-kakaknya bingung ya sudah saya bocorin aja."

Miko. Ya ampun, kenapa cowok itu rela melakukan ini? Sebagai ucapan terima kasih dalam hal apa? Bahkan di dalam kafe tadi kami tak melakukan apa pun untuknya. Aku janji setelah ini akan lebih perhatian dan lebih ramah lagi kepada Miko.

"Cowok itu ... namanya siapa, Ay?" tanya Orion, merangkul bahuku. Ya Tuhan, kembali lagi jantungku berdetak kencang. Mana Orion melakukan ini di depan teman-temanku dan teman-temannya.

"Ehm, namanya Miko," tukasku, nyaris tak mengenali suara sendiri.

"Teman kakak-kakak yang pakai kacamata tadi kayaknya tajir banget ya. Tadi aja pulangnya naik Lamborghini loh. So happy banget punya teman tajir tapi nggak pelit kayak dia. Mana orangnya sederhana pula." Mbak kasir bercuap-cuap dengan wajah berseri. Tanpa bertanya pun, kami tahu bahwa orang yang dimaksud adalah Miko.

"Wow." Aku bisa mendengar Orion bergumam.

"Gue jadi nyesel tadi udah ngatain dia anak manja. Duh, kapan-kapan gue harus traktir dia deh." Terdengar suara Agil. "Ayya, tolong ingatin gue ya buat minta maaf sama temen lo." Raut wajah Agil dibuat menyesal.

Aku hanya membalas dengan anggukan ringan.

Setelah itu, kami mengucapkan terima kasih ke mbak kasir lalu segera berjalan ke luar kafe.

"Kalian pada pulang naik apa?"

Pertanyaan Yudis membuat kami semua saling lempar pandang satu sama lain. Pertanyaan itu jelas-jelas ditujukkan untuk kami berempat.

Sebelum salah satu di antara kami buka suara, Orion menyahut. "Kalau bingung, kalian bisa bareng Yudis dan Agil aja naik mobil. Terus biar Ayya sama gue naik motor."

Orion mengusulkan, lagi-lagi dengan nada santai.

***
Bersambung...

28 November 2020

Continue Reading

You'll Also Like

7.1K 332 45
CINTA PERTAMA Semua berawal dari rasa aneh. Rasa yang sebelumnya belum pernah seorang Aurelia Putri rasakan. Rasa yang membuat Aurel harus bisa berta...
1.2K 207 43
Nggak balance? Nggak pulang! Salah jurusan hampir semua orang mengalami hal tersebut termasuk Clara yang awalnya berniat masuk SMK agar langsung kerj...
938K 50.2K 34
-Baik buruknya seseorang terlihat dari cara seseorang memandang- EarlyCetta_2015
3.7K 133 36
"Dulu aku ingin menjadi seseorang yang spesial dalam hidupmu, tetapi saat aku tahu kamu menjauhiku aku hanya ingin menjadi temanmu.." ~Dita Ra...